Cerpen
Celia Sanchez dan Nayla

Celia Sanchez dan Nayla

Seharusnya Celia Sanchez masih hidup, meski tarian mambo dan rumba tak lagi dimainkannya. Kota Media Luna begitu kecil untuk mencatat riwayatnya, tetapi biarkanlah sejarah yang mencatatnya. Celia Sanchez tak pernah mengingkari takdir ketika dia harus hidup di lingkungan rakyat miskin, hidup itu memang sebuah pilihan. Baginya pilihan menjadi revolusioner untuk memerangi imperialisme adalah sebuah martabat tertinggi untuk negara.

“Mungkin rasa cinta akan mengalir ketika perang mematikan kemanusiaan.”

Havana, seperti kota-kota lain, dibangun di atas tanah-tanah diam hingga akhirnya terukir menjadi sebuah peradaban. Ini bukanlah sebuah puisi, yang menjadi keindahan tangisan seorang perempuan, kota selalu menjelma dengan tarian-tarian para perempuan sebagai pembakar semangat perjuangan. Perempuan yang menumbuhkan kota menjadi sebuah tradisi modern. Tarian Salsa, Mambo dan Rumba mengalir ke seluruh negeri, membangunkan semangat keluar dari penindasan.

Di ujung mata, antara desingan peluru dan darah yang berceceran, perempuan tetaplah perempuan yang juga butuh cinta. Revolusi juga harus dicatat dalam literasi bahasa yang bagus. Bukankah perasaan cinta itu tidak harus menyatukan dua sosok manusia? Dan kematianlah yang menyatukan kisah-kisah cinta sejati, tertuang dalam buku-buku, hingga Celia Sanchez terenggut nyawanya akibat penyakit kanker.

Nueva Cancion, perjalanan indah dalam balada kebebasan yang mewujudkan sebagian harapan Celia Sanchez ketika musim harus berganti. Entah apa bedanya sebuah sajak rindu yang mengalir menjadi sebuah alunan melodi. Meski tak ingin menyatukan esai dan puisi, tetapi Kuba telah menuangkan kisah Fidel Castro dalam fragmen antagonis dan protagonis. Di situlah mungkin padang tandus yang gersang, suatu saat akan tumbuh tanaman indah, meski tidak harus berbunga.

Entah mengapa ketika seorang prajurit perang Amerika pada jarak tembak yang tepat, dengan senjata laras panjang berteleskop mengarahkan ke Celia Sanchez, tiba-tiba saja mengurungkan niatnya untuk menghabisi nyawa perempuan itu. Perempuan itu terlalu cantik dan sempurna. Biarlah nanti di masa modern, Celia Sanches akan berperang dengan kematian. Wabah penyakit yang diterangkan oleh mata dan pikiran manusia sebagai pandemi.

Adios amigo.”

Sekian musim tak terdengar perang, Celia Sanchez telah merubah diri menjadi perempuan sempurna. Dia telah betul-betul menjadi seorang wanita. Seorang yang hidup di era modern, yang menjadi tempat peperangan teknologi. Era di mana tidak ada lagi keperkasaan laki-laki dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.

***

Kini kota ini tak lagi berantakan dan kuyup digenangi sampah-sampah kumuh. Peperangan telah membodohi keserakahan manusia. Catatan kisah perang memang tak mudah dihapus dari ingatan manusia. Tetapi, ini adalah kisah perjalanan yang menghiasi cerita-cerita panjang yang dimainkan sebagian orang demi tujuan politik. Sebuah negara tidak akan pernah ada kebebasan dan kemerdekaan tanpa andil penjajah. Dulu musuh, kini menjadi sahabat, begitupun sebaliknya.

Irama musik terdengar hampir di sebagian penjuru dan di sudut-sudut kota, menjadi denting kenangan sebagian kisah dari nukilan para pendongeng. Kisah memang tak ada yang abadi. Dan perempuan-perempuan serta secangkir kopi menjadi inspirasi saat melewati jejak-jejak kenangan hingga menjadi ritual waktu di sepanjang kedai atau warung. Ada percikan asmara yang memaksa dunia ini berdamai atau pun, sebaliknya, menjadi malapetaka perang.

“Biarkan pikiran kita yang berseteru.”

Ada masa di mana kita duduk bersama, bercengkerama sambil memainkan gelas dan cangkir di atas meja. Di sudut cafe, para pemusik mengiringi catatan kenangan untuk berbagi cerita masa lalu.

El-Puerto. Artifacts of The Black Rain.

Semasa perang Kuba seakan terkubur pada tumpukan lirik lagu. Syair yang berbaris rapi dirilis dan dinyanyikan grup band In Flame. Jejak perang itu yang menjadikan sebuah inspirasi. Riwayat sejarah sering hanya menjadi kisah tertulis yang tak jarang menjadi tumpukan buku tua yang memang sengaja memanipulasi fakta. Apalah arti sebuah lagu yang dianggap sebagai kontemplasi seni, bukan lirik yang menceritakan sebuah kisah?

Kapitalisme ningrat telah meruntuhkan idealisme kemerdekaan dan kebebasan. Jika fragmen pertempuran mengisak-tangis para jelata, itu sesungguhnya realita penindasan. Tanpa ketakutan, mewujudkan mimpi-mimpi seni. Perjuangan adalah cara terindah bagi frasa puisi untuk memerdekakan diri. Seperti mimpi berjalan dalam angan, perempuan kadang terkucilkan ketika perang dianggap simbolitas keperkasaan lelaki. Kaum perempuan dihadapkan pada kodrat tertutup.

Malam-malam panjang laksana tanpa penghujung, sudut-sudut bibir pun tanpa senyum menatap elok rembulan untuk bertahan mengempaskan selimut dingin. Suguhan bir hanya tersaji pada meja para pemurka untuk memerdekakan kekuasaan kapitalisme ningrat hingga dahaga para jelatah tak pernah terbasuh.

Hanyalah ampas-ampas kopi telah membakar cinta untuk merayakan kehidupan. Suara musang di keheningan malam bagai El-Puerto yang melagukan Perempuan Sempurna menyatukan serumpun rahim. Matahari membakar, memecah hening saat dada membara menggumpal luka. Ke mana harapan ini akan pergi?

“Seluruh penderitaan harus berakhir.”

Jejak waktu hanyalah penggalan sajak memendam kerinduan, menggetarkan kebebasan. Tak akan perlu lagi menyimpan kolong-kolong persembunyian. Saatnya menggemakan kidung cinta yang terkungkung di balik jeruji penjara. Rumah Opera hanyalah panggung mematikan revolusi.

Sejatinya sajak tidak hanya tertulis dalam balada tanpa makna. Menghapus semua kesedihan, nukilan syahdu bahwa cinta adalah rahim yang melahirkan kebebasan sejati. Saat purnama beranjak, pikiran pun bagai ruang melahirkan Nueva Cancion. Bukanlah hidup tidak menunda perjalanan?

Tak ada kekal. Hujan pun suatu saat membasahi tanah. Adalah syair seperti rerumputan di padang tandus. Memudar untuk memaknai hidup karena perjalanan sebuah pilihan. Apakah ada bedanya memilih mati sekarang atau menunggu waktu untuk memaknai diri atas perjuangan bangsa?

***

“Saya tertarik berangkat ke Wuhan, mungkin di sana masih ada sisa-sisa nuklir.”

Nayla, seorang dokter hewan yang bekerja di lembaga penelitian pemerintah tertarik untuk meneliti anti serum yang mungkin bisa dikombinasikan sebagai anti virus. Banyak berita yang beredar bahwa wabah penyakit yang menyebar ke seluruh dunia ini akibat perubahan fungsi metabolisme tubuh hewan yang dikembangkan dalam teknologi radio-aktif.

Nayla adalah generasi masa depan Celia Sanchez yang tak pernah tahu bagaimana perang militer berkecamuk. Medan perang yang dihadapinya di ruang tertutup. Tidak semua orang senang memasukinya. Dalam hidup Nayla, laboratorium menjadi pilihan untuk menghindari kebisingan konflik atau peperangan. Wanita ini begitu sempurna di dalam ruangan tertutup, seakan hatinya seperti itu. Hanya satu atau dua lelaki cukup dekat dengannya, tetapi itu hanya untuk kepentingan pekerjaan.

“Langit betul-betul panas.”

“Maaf, Nyonya. Hari ini ada larangan untuk semua maskapai penerbangan. Akan ada pemberitahuan lebih lanjut setelah pemerintah memberikan izin.”

Tidak ada yang mampu menjawab. Entah apa bedanya peperangan fisik dengan peperangan yang tak berwujud. Apakah harus menghidupkan kembali Celia Sanchez untuk bekerjasama dengan Nayla? Putaran masa ini terlalu jauh, tetapi pandemi yang subur mematikan apakah harus dibiarkan? Pemberlakuan pembatasan ruang gerak seakan memacu peperangan batin antara kebenaran dan samarnya kehidupan dalam pandangan kasat mata.

Nayla hanya bisa menanti jawaban tak pasti. Harapan Nayla seakan terkoyak. Musnah sudah harapannya untuk berangkat ke Wuhan. Ditinggalkannya bandara, mobil yang dikendarainya seperti tak mau menoleh sedikit pun, melaju kencang membawanya pulang. Langit tampak hitam, meski tidak ada awan yang melintas. Di atas sana seakan terlukis sebuah artefak. Lagu Artefacts of The Black Rain, lembut mengalun menidurkan Nayla. Artefak yang dibasahi hujan hitam.

Secarik kertas bermotif bunga tergeletak di meja kerja Nayla: Selamat Hari Perempuan Sedunia. Mungkin itu kiriman dari Celia Sanchez.

Perempuan yang menggulirkan makna perjuangan dan kebebasan berpikir, hanya menanti di balik pergeseran musim yang tiada henti. Kota Wuhan tak lagi menarik dikisahkan, seiring duka yang terus melanda dunia. Hanya saja Nayla tak pernah bisa menolak, kenapa negara seperti Kuba mengharuskan warganya untuk membaca buku setiap hari. Andai ini juga bisa ditiru di negerinya sendiri, bagaimana kaum perempuan menjadi kaum yang lebih berharga.

Saat Nayla kembali bersiap-siap berangkat kerja, pagi itu ada sebuah surat ucapan yang tergeletak di bawah pintu rumahnya: Selamat Hari Ibu. Nayla tersenyum, masih ada kemenangan bagi kaum perempuan.(*)


Penulis:

Vito Prasetyo, lahir di Makassar, 24 Februari 1964. Beragama Islam. Kini tinggal di Kab. Malang. Pernah kuliah di IKIP Makassar. Dia bergiat di penulisan sastra sejak 1983.tulisan-tulisannya telah dimuat di berbagai media, di antaranya Koran TEMPO, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Republika, Solopos, Rakyat Sultra, Suara Merdeka, Pedoman Rakyat, Suara Karya, Minggu Pagi, Bali Post, Radar Surabaya, Riau Pos, Sumut Pos, Lombok Post, Radar Cirebon, Majalah Puisi, LiniKini, Harian Waktu, dan lain-lain.

Buku antologi puisi karyanya adalah Jejak Kenangan (Rose Book, 2015), Tinta Langit (Rose Book, 2015), 2 September (Rose Book, 2015), Jurnal SM II 2015 (Sembilan Mutiara Publishing, 2016), Keindahan Alam (FAM Publishing, 2017), dan beberapa lainnya.

Vito juga memenangkan juara 1 Lomba Menulis Puisi Tema Patah Hati Tingkat Nasional Tahun 2020  oleh Writerpreneur Academy, Juara 3 Lomba Menulis Puisi Tema Asmara Tingkat Nasional tahun 2021 yang juga diselenggarakan Writerpreneur Academy. Yang ingin mengenalnya lebih dekat silakan E-mail: [email protected],

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *