Puisi
Puisi Saefudin Muhamad

Puisi Saefudin Muhamad

Menghapal Tubuhmu

/1/

telah mengalir airmataku di sudut matamu. kutarik gores bibir dari orange pucat, dari bercak nasib yang cacat.

/2/

diam-diam akupun telah menghapal keseimbangan tubuhmu yang goyah: semisal tekstur hidung mancung yang selalu mendesah napas berat dalam demam, atau tahi lalat yang melumut keriput di pipi kanan, atau pelipis yang merembes keringat dalam bimbang.

sementara aroma rempah bumbu dapur yang kau olah sabar di sela jari-jarimu, kataku, kucium bekasnya seperti bau wangi kemangi yang melekat di setiap lengan langsat: seperti kenangan yang menanggalkan setiap asam urat, pusing kepala, atau betis pegal-pegal pada catatan kaki yang sering kesemutan sebelah.

/3/

tapi ketika komposisi tubuhku kau leburkan, kau leburkan dalam ritus penyatuan: aku menyelipkan puisi putih di setiap detak nadimu dengan rapi, dengan perhitungan waktu, tepat ketika kakimu bergerak lebih kuat daripada maut.

2020-2021

Yang Mengarat di Besi,
Yang Tersirat di Dinding Puisi

/1/

bu, di pucuk cahaya ketika matahari meredup, tubuhku pulang dengan sangsi. tapi ketika kulihat kau berbaring di atas ranjang, aku malah ingin menengok tuhan barangkali masih sedia menyisir sisa-sisa rambutmu yang rontok dan memutih. sebab kau selalu terlihat kemarau, matamu hening, dadamu kembang-kempis, harapanmu sepi, dan keriput kulitmu senantiasa menyesap angin yang menjadikan telapakmu dingin.

di latar pekarangan nasib, kulihat kau duduk senang memperhatikan pelepah pisang yang mengayun lemah, kau bayangkan itu seperti dayung yang mengayuh, seperti kerapuhan yang berlayar menjajaki gigir musim.

/2/

tapi itukah tuhan yang gemar memeluk tubuhmu? atau hanya kesunyian yang menjelma selimut menyelimuti malam ketika terbit padam. itukah tuhan yang memandikan harapanmu; yang menggosok gigi, yang melumuri sabun, yang membelai kepalamu dengan sampo yang berbusa usia?

adakah kematian yang lebih melengking daripada suara senapan kenangan?

kini embusan dalam napasmu semakin melambat. tapi meski begitu, tiga jarimu masih saja lihai mengurai benang merah dari waktu ke waktu, kata per kata, yang merambat dan mengendap kusut di setiap tiang-tiang rumah yang mengarat di besi, yang tersirat di dinding puisi.

2021


Di Ruang Petilasan: Dapur

di ruang petilasan dapur itu, retakan-retakan dinding yang cokelat dilekat asap, menjadi sephia bagi retina mata yang rabun. di pelataran yang meriap sepi, perempuan tua, memetakan goresan doa pada telenan yang menciptakan garis-garis waktu.

detak-detik pun memeras angan di halaman berasap: seketika menyeruak harum daun kemangi, getir buah ranti, dan irisan bawang merah yang meluruhkan darah airmata.

kini di tengah keremangan ruangan itu, ada bekas tekstur tua yang abadi, melumatkan keterasingan yang tanggal di atas telenan, menyisakan bekas nama dan usia.

duka itu, melepaslah.

2020


Katarsis: Ketika Ibu Menemukan Sosok Tuhan

/1/

ketika malam melamun suntuk, di kursi goyang ibu sedang mengeja nasib melalui sebuah kitab. ia pernah bertanya padaku, di mana letak kitab sucimu? tiba-tiba aku merasa kikuk dan lupa di mana letak kitab suciku.               

aku bertanya pada diriku sendiri, apakah aku juga lupa (atau malah tidak tahu) di mana letak agamaku?

ketika ibu sedang memperhatikan setetes embun yang menguap, ia berkata kembali, ibu menyimpan agama di setiap tetes airmata, sehingga ibu tak pernah padam sebagai manusia.

/2/

saat usiaku tergila-gila dengan ponsel, aku seperti teringat sebuah berita yang menjelma wangsit dan berbisik di telingaku, seperti bisikan sosok tuhan yang dipaksa esa dalam perhitungan satu oleh negara. dan aku heran, padahal tuhan dalam ponsel selalu plural, begitupun agamanya.

tapi di era ponsel yang tak mengenal tubuh, aku semakin bingung memikirkan tuhan, dan ibu pernah bercerita padaku, bahwa ia pernah menemukan sosok tuhan di dapur pada suatu sepi. katanya, sosok itu memandang dengan kelam merapat ke setiap sisi doa. menurutnya, sosok itu sedang duduk di samping tungku sambil meniup harapan, dan kekalahan-kekalahan yang masih terjaga, dan asap pun mengepul mengisi perut kecil yang terpencil, kemudian tuhan melangit dan menunggal.

2021


Sembahyang Pelepasan

kini kaupun semakin menyusut. di lorong pawon yang berkobar, sepotong kayu lembap menepikan diri dari api.

tapi adakah yang pamrih ketika gerak tubuhku tak sampai pada tirakatmu?

ketika tengkuk menunduk menjadi penyerahan yang terkatung dan digantung doa-doa. bukankah kita pun tahu, di hadapan maut, sembahyang adalah pelepasan suara tubuh yang berbisik ramah, yang sangsi tawar-menawar nasib.

2020

Negara dalam Tubuh Ibu

di dalam tubuh ibu
ada lukisan negara
yang sedang tak sehat:

di kakinya
ada angan-angan negara
yang terlunta-lunta
hingga betis ibu
mengidap asam urat.

di kepalanya
ada demam negara
yang pusingnya
tidak juga mereda
hingga dahi ibu
berkeringat dingin
dan meriang angan-ingin.

di kulit pipinya
ada kerutan negara
yang direnggut
sejarah dan usia
hingga hati ibu
membekas trauma

dan jeritan perempuan-
perempuan lain
yang menjahit
kesepian luar biasa.

tapi di matanya
tak ada airmata negara,
sebab negara menjelma
sosok yang maskulin.

dan tangisan ibu
menjadi airmata
yang mendidih dan menua
yang prihatin kepada negara.

2021


Penulis:

Saefudin Muhamad, Lahir di Cirebon. Lulusan FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Kuningan. Bergiat di Komunitas Tjirebon Book Club. Saat ini menjadi Editor di penerbit Pustaka Al-Bahjah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *