Resensi Buku
Ibu yang Menanak Puisi

Ibu yang Menanak Puisi

Judul : Ibu Menanak Nasi hingga Matang Usia Kami
Penulis : Emi Suy
Penerbit : TareBooks
Terbit : Cetakan I, Januari 2022
Tebal : xii + 78 hlm
ISBN : 978-623-6265-29-1

Ibu sebagai objek puisi, rupanya tak luput dari bidikan senior saya, Emi Suy. Bunda Emi (begitulah saya memanggil), lebih dulu dikenal sebagai penyair sunyi. Hal tersebut tak terlepas dari trilogi sunyi yang ia terbitkan: Alarm Sunyi (2017), Ayat Sunyi (2018), dan Api Sunyi (2020). Sunyi seolah-olah menjadi personalitas Bunda Emi—selayaknya “hujan” milik alm. Eyang Sapardi atau “celana” yang melekat dalam puisi-puisi Jokpin. Uniknya, kali ini Bunda Emi tidak lagi menyoal kesunyian, melainkan ibu.

Sebagaimana yang kita tahu, kelahiran sebuah puisi didasari oleh momen puitik. Atau suatu peristiwa yang mengetuk batin, lalu menjadikannya puisi. Dalam buku Ibu Menanak Nasi hingga Matang Usia Kami (barangkali) momen puitik itu lahir karena adanya bentang jarak antara Bunda Emi—yang menetap di Jakarta—dengan ibunya di Magetan.

Bentangan jarak tersebut tampak terasa dalam puisi “Belati Melati.” Larik-lariknya berbunyi seperti ini: jarak pun belati/ menikam berkali-kali// tapi kita/ tak juga mati// malah bermekaran/ bunga melati. (hlm. 27). Dalam puisi itu, Bunda Emi mengasosiasikan jarak dengan belati. Belati yang menikam batinnya lantaran tidak dapat berjumpa dengan ibu. Meski demikian, seberapa luas jarak itu, seberapa lama dimensi ruang-waktu memisahkan mereka, hal tersebut tak akan dapat membinasakan kerinduan Bunda Emi dengan ibunya. Justru sebaliknya: bentangan ruang-waktu semakin mengeratkan cinta mereka.

Harapan untuk segera pulang dan lekas memeluk ibu tercinta agaknya sedikit pupus ketika pandemi Covid-19 tengah menjangkit Indonesia. Adanya aturan soal larangan mudik atau bepergian membuat para perantau mesti menelan ludah. Bagi Bunda Emi, kenyataan tersebut seakan-akan menjadi belati kedua setelah jarak. Kekecewaan atas ketidakpastian pandemi terpancar dalam Mantra Pandemi. Dalam puisi tersebut, Bunda Emi menulis: dua tahun/ cukuplah// kepada Patah/ beri kami sudah/ kepada Luruh/ beri kami tumbuh/ kepada Hilang/ beri kami sayang/ kepada Malang/ beri kami senang… (hlm. 37).

Rindu tercipta memang beralasan. Bila saya amati lebih jauh, selain bentangan jarak antara anak dengan ibundanya—pula ketidakpastian pandemi, kerinduan Bunda Emi juga tercipta karena rutinitasnya yang padat. Apalagi ia tinggal di Jakarta—kota besar dengan segala hiruk-pikuknya. Saya sendiri tidak dapat membayangkan jika harus menetap di Ibu Kota. Tiap pagi, mungkin saja saya akan berhadapan dengan kemacetan lalu lintas, derum kendaraan yang bikin pekak telinga, banjir yang sewaktu-waktu dapat meluap. Ditambah pula dengan biaya hidup yang melonjak, juga tingkat kriminalitas yang tinggi.

Padatnya rutinitas hidup di Jakarta kadang kala membikin penduduknya merindukan ruang untuk menyendiri, ruang untuk sejenak mendengarkan diri sendiri. Manusia memang butuh jeda dalam sela kesibukannya. Jeda di sini dapat saya maknai sebagai selang waktu untuk melakukan kontemplasi, perenungan, maupun permenungan. Manusia membutuhkan itu sebelum kembali bertarung dengan kerasnya hidup.

Pada Jarum-Jarum Hujan tampaklah Bunda Emi ingin sejenak membersihkan diri (yang diasosiasikan dengan “mandi”, sebelum ia kembali pada rutinitasnya). Cobalah kita baca larik-larik puisinya: di halaman rumah ibu/ aku mandi// agar jarum-jarum hujan/ menjahit luka kepalaku// yang lama terbentur/ tembok-tembok kota. (hlm. 17).

Nuansa urbanisasi di Jakarta kian terasa dalam puisi-puisi berikut ini: Siang/ aku rela jadi gudang dan jalan-jalan// Malam/ aku rela jadi rumah dan ayunan// tetapi di antara Siang dan Malam/ biarkan Aku jadi puisi dan alam raya. (Tetapi, hlm. 45). Larik-larik di atas dapat saya interpretasikan bahwa aku-lirik memimpikan suatu ketenangan di tengah problematika dan kompleksitas hidup di Jakarta. Tengoklah bagaimana aku-lirik (yang tak lain ialah Bunda Emi sendiri) jadi gudang yang menampung segala urusan hidup, sedangkan di malam hari, ia menjelma jadi rumah dan ayunan (tempat di mana keluarga berkumpul dan bermain). Dan di antara peran ganda tersebut, aku-lirik ingin menjadi galaksi maha luas, di mana seluruh hal dapat tertampung tanpa perlu merasakan beban yang berat.

Puisi yang Lahir dari, dan, untuk Ibu
Jokpin—dalam epilognya—menuliskan bahwa bahasa Indonesia memperlakukan kata “ibu” dengan amat istimewa, contohnya: Tanah Air disebut Ibu Pertiwi, pusat pemerintahan dinamai ibu kota, dan bahasa pertama yang dipelajari manusia dikenal sebagai bahasa ibu. Saya pikir, “ibu” menjadi simbol yang multiguna. Kata “ibu” tak sekadar dimaknai sebagai seseorang (atau sesuatu) yang melahirkan semata. Ia juga dapat ditafsirkan sebagai yang mendidik, yang menaungi dan melindungi, serta yang mengasihi atau mencintai. Multiguna inilah yang dimanfaatkan penyair sebagai perangkat puitiknya. Jika saya berada di posisi Bunda Emi, barangkali, menulis puisi tentang ibu serupa memutar keran penuh air.

Hasan Aspahani (akrab disapa Bang HAH) pernah menulis esai yang ia beri judul Puisi: Pemikiran dan Perasaan. Pada tulisan itu, ia memaparkan bahwa puisi terlahir dari kepekaan penyair dalam menangkap peristiwa-peristiwa emosional di sekelilingnya. Bunda Emi—yang mempunyai ikatan batin dengan ibunya—jelas lebih gampang melakukannya. Bunda Emi lebih leluasa menguras perasaannya, lantas menjadikan ibu sebagai objek puisi yang sarat emosi. Maka, manakala Bunda Emi menulis puisi tentang ibu, sejatinya ia tengah memeras perasaannya, sekuat-kuatnya, sedalam-dalamnya.

Saya percaya, bahwa ibu merupakan makhluk Tuhan yang berasal dari cinta. Charley Benetto pernah berkata begini: “Saat kamu melihat ibu, kamu sedang melihat cinta paling murni yang pernah kamu tahu.” Kutipan tersebut tidak ditulis secara asal-asalan. Ibu (atau, perempuan) adalah sumber dari segala cinta dan belas kasih. Hal tersebut juga diamini oleh Bunda Emi dalam salah satu puisi yang ia beri judul nama ibunya: Pamudji. Puisi tersebut hanya berisi tiga larik. Namun, estetika puitiknya sangat kuat. sumur di musim kemarau/ airnya kutimba/ tak habis-habis! (Pamudji, hlm. 15).

Selain puisi-puisi yang telah saya bahas di atas, terdapat satu puisi yang cukup mencuri perhatian saya. Puisi ini menjadi kredo bagi judul buku. Saya merasakan hasil perasan dari emosi. Juga imbuhan unsur lokalitas. Barangkali, ini menjadi puisi paling pamungkas dalam buku ini. Bunyi larik-lariknya begini: di kukusan bambu, menghitam/ dibakar bara dan doa, begitu tenang/ ibu menanak usia kami, hingga matang// di malam mendidih/ di siang perih/ ibu pelan-pelan menua, bagai kukusan/ menampung segala, ringkih dan perkasa// sesekali meneguk/ air matanya/ sendiri. (Kukusan, hlm. 11).

Ibu, bagi Emi Suy, bukanlah sosok yang lemah, manja, atau rentan. Justru sebaliknya. Ialah seseorang yang mengajari Emi bagaimana caranya bangkit setelah dibirulebamkan kehidupan. Kealpaan sosok ayah membikin Ibu Pamudji tampak tangguh dan kuat, bukan hanya sebagai pemberi air susu bagi anak-anaknya, namun juga sebagai tulang punggung.

Bunda Emi pernah bercerita pada saya, bahwa keterharuannya adalah saat ibundanya membacakan Ibu Menanak Nasi hingga Matang Usia Kami di hadapannya. Bahkan, senior saya itu sempat meneteskan air mata. Dari situlah, saya mulai sadar, bahwa tanpa didikan dan kasih sayang Bu Pamudji, Bunda Emi tidak akan bisa menjadi seperti yang kita kenal selama ini. Lihatlah, dari kulit tangan Bu Pamudji yang penuh lekuk-keriput, beliau menanak puisi hingga matanglah Emi Suy! []


Penulis:

Hendy Pratama, lahir dan bermukim di Madiun. Pegiat komunitas sastra Langit Malam. Karya-karyanya tepercik di sejumlah koran seperti: Media Indonesia,Suara Merdeka, Minggu Pagi, dan lain-lain. Buku terbarunya, Heliofilia (2021).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *