Cerpen
Yang Paling Dekat dengan Manusia Hanyalah Kematian

Yang Paling Dekat dengan Manusia Hanyalah Kematian

Mataku mendadak terbuka. Terperanjat. Tergagap. Terbangun dari mimpi ketika sebutir batu seolah menghantam belakang kepala. Aku terbangun tepat ketika suara gagak tiba-tiba berkaok lantang di atas rumah. Tak lama, pengeras suara masjid terdengar mengabarkan berita duka. Mengumumkan kematian di pagi buta. Namun, aku masih berusaha terus mengingat apa yang baru saja terjadi.

            Iban meninggal sebelum pagi tadi. Jenazahnya ditemukan warga ketika hendak berangkat salat subuh. Berpakaian koko rapi, bersarung kotak-kotak hitam merah, dan berkopiah putih. Tertelungkup tepat di depan masjid di bawah pohon sawo kecik. Tubuhnya basah dan kaku didera deras hujan semalam. Ia banyak meninggalkan kenangan di benak kami, para sahabatnya.

“Jangan terlalu berharap pada manusia jika kau tak ingin tenggelam dalam kekecewaan.”

Bagiku, Iban sudah mirip motivator jika sedang menenggak minuman beralkohol. Di malam hari ia terbiasa mangkal bersamaku di gubuk sawah jauh dari permukiman warga. Ucapannya kadang ngelantur dan ngawur. Namun, dengan sengaja aku sering mencatat kalimat bagusnya dalam status WA.

“Jangan terlalu mencintai berlebihan. Nanti kau menderita. Toh, istriku akhirnya mati juga walau aku setia.”

Aku tahu dia sedang berceramah dalam kondisi pikiran labil dan tak terkendali. Terlihat frustrasi karena dalam dua tahun pernikahannya dan mereka belum punya anak, istri Iban meninggal dalam kecelakaan tragis ketika mengendarai sepedamotor. Padahal aku sangat tahu Iban cinta mati padanya.

Sebagai sahabat yang selalu dekat dan ingin mengingatkan kebaikan, aku berkata agar tidak terus minum-minuman keras. Kasihan lever dan ginjalnya. Ia malah bilang masih terlalu muda untuk mati. Beruntung ibuku selalu menasihati agar tak mengikuti jejak kegemarannya. Menitip pesan agar terus mengingatkannya.

“Entah marah, entah murka, pesan kita jika sampai ke dia, terhitung juga pahalanya,” begitu kata Ibu.

Namun, saat itu Iban malah tiba-tiba mencolek bahuku dengan telunjuknya sambil berbisik,          “Ssst, tiga malam yang lalu aku mimpi. Ada puluhan burung gagak beterbangan di atas rumahmu. Berusaha melempari rumahmu dengan batu. Salah satu dari yang terbesar turun tepat saat ibumu keluar pintu. Ia mematuk wajah ibumu. Yang aneh, kenapa ada burung gagak di rumahmu?”

Iban tersenyum sinis di depanku menceritakan semuanya. Mendadak kedua alisku mengerut. Mengingat apa yang telah dilakukan Ibu saat ini. Sejak perceraian itu dan Ibu hidup sendiri, ada banyak duka yang kami lalui bersama. Ayah kecantol perempuan lain yang lebih cantik dan mapan. Lupa pada kami.

Pekerjaan apa pun asal halal telah Ibu lakukan demi mencukupi kebutuhan kebutuhan keluarga. Dari tukang cuci dan gosok baju di tetangga sampai berjualan masker yang kami buat sendiri. Memanfaatkan situasi di tengah pandemi seperti ini. Belakangan atas saran-saran temannya ia berganti menjual kosmetik kecantikan wajah. Lalu, memintaku mengajari membuat akun Instagram.

Aku tahu maksud Ibu. Apa yang ia lakukan demi mendongkrak penjualan. Seperti saran-saran temannya, tetapi rasa ketakutanku muncul ketika dari hari ke hari Ibu jadi makin sering bersolek. Berdandan layaknya perempuan umur belasan. Bahkan, banyak pesan masuk ke ponselku dari pria-pria tak kukenal menanyakan perihal Ibu. Aku paham mereka hanyalah pria hidung belang yang memanfaatkan kesempatan. Aku tak mau jika Ibu nanti terperangkap dalam lingkaran pernikahan, jika itu hanya sebagai candaan. Bukan atas dasar keseriusan.

Ibu paham ketakutanku dan bilang untuk tidak larut dalam dramatisasi kehidupan. Jangan lebay, begitu katanya. Mendadak ibu jadi tahu kata lebay setelah aku memperkenalkan dia dengan media sosial. Entah aku salah atau benar, aku tak tahu.

“Sudahlah. Tanpa laki-laki pun aku bisa sukses.”

Seperti ucapan dendam yang bertunas dari kekesalan dan sakit hati, Ibu seperti tak sengaja mengucapkan itu di depanku. Di depan cermin, di dalam kamar, sambil terus memoles pipinya dengan kuas lembut, dia menoleh memberi senyum ke arahkku.

***

Berita meninggalnya Iban sudah sampai ke telinga Ibu. Begitu baiknya malaikat mencabut roh Iban dalam kondisi sedang berjalan menuju kebaikan. Semua warga tahu, setelah istrinya mati, seperti orang stres, dia jadi hobi mabuk-mabukan dan sering bicara ngawur. Warisan sawah dan pekarangan dari orang tuanya habis untuk makan dan berjudi.

Entah siapa yang mengingatkannya dalam kebenaran hingga ia bisa mati dalam kondisi baik seperti itu. Padahal, sebelumnya tak pernah sekali pun ia mau beribadah atau menjalankan kebenaran untuk bekal akhirat. Apalagi sampai menginjakkan kaki di halaman masjid.

Sehari sebelum mati, ia menunjukkan ponselnya di depanku. Melihat pengikut Ibu di Instagram melonjak drastis dari empat bulan sebelumnya. Entah ini musibah atau berkah aku tak tahu. Ibu memang meraup keuntungan lebih banyak dari biasanya. Bahkan beberapa pihak endorsement produk merek tertentu meminta jasa Ibu. Namun, bukan itu yang ingin Iban sampaikan. Ia menunjukkan satu unggahan tentang dompet amal kemanusiaan.

“Atas nama kemanusiaan, orang-orang akan mudah mengeluarkan hartanya. Mudah-mudahan atas dasar keikhlasan dan bukan yang lainnya. Jujur saja makin hari ibumu makin terlihat cantik dan awet muda. Kalau kau bukan sahabatku dan rumahmu tidak di depan rumahku, aku akan menikahi ibumu. Sayang, istriku tak akan pernah hilang di dalam lubuk hati serta rongga kepalaku. Lagi pula aku juga tak sudi jadi bapakmu. Hahaha.”

Iban terbahak tepat setelah kalimat terakhir itu ia ucapkan. Namun, satu hal yang mengganggu pikiranku adalah tentang dana kemanusiaan tadi. Ibu tak pernah bercerita tentang itu. Aku jadi ingat ketika aku pulang kerja kemarin sore dan Ibu tak di rumah, Ibu bilang sedang pergi ke dokter. Mengaku sedang demam. Walau setelah pulang aku tahu Ibu seperti tidak tampak sakit dan sehat-sehat saja.

Hari itu aku meminta Ibu berterus terang. Berusaha mengaitkan antara dana sosial kemanusiaan, wajah Ibu mendadak berubah. Setelah kudesak berkali-laki, ia menyerahkan kuitansi dan bukti dari mana ia pergi. Juga memperlihatkan di ponselnya jumlah dana yang terkumpul dari sumbangan untuk keperluan bantuan kemanusiaan. Melihat angka yang tertera di rekening begitu luar biasa. Benar sekali kata Iban. Atas nama kemanusian adalah jalan paling mudah mengumpulkan uang. Entah jujur entah berbohong, tanggung jawab urusan belakangan.

“Itu semua dari manusia dermawan. Ibu sudah kirim ke sana. Ibu baru menjajal operasi plastik juga dari dana endorsement iklan dan pihak produk kosmetik. Kau tenang saja. Tak ada yang tercampur. Terima kasih sudah mengingatkan Ibu.”

Di bagian kata “operasi plastik” tiba-tiba mulutku sedikit menganga. Bagaimana bisa Ibu melakukan itu, bahkan ia tahu selalu mengajariku kebenaran. Memintaku untuk menasihati Iban berulang-ulang agar sadar.

“Kau mungkin akan bilang bahwa mengubah wujud ciptaan Tuhan adalah dosa besar. Sudahlah. Kau belum paham sakitnya kecewa.”

Jawaban Ibu sudah mewakili akan ke mana bermuara. Walau sebenarnya aku tak ingin Ibu jadi senekat ini. Aku ingat beberapa waktu lalu Iban terus saja memuji-muji wajah ibuku. Baru paham apa yang Iban katakan. Jika sudah begini, aku tak akan bisa membuat Ibu sadar untuk kembali ke jalan yang benar dalam waktu singkat.

“Kau bisa berkata tidak setuju pada yang Ibu lakukan. Menurutmu hal pertama apa yang dilihat laki-laki jika bukan rupa? Kau mungkin belum begitu paham apa yang Ibu rasakan atau bilang dendam tak baik. Silakan saja. Dana kemanusiaan yang terkumpul sudah aku kirimkan ke sana. Ada satu lembaga meminta Ibu menjadi penanggungjawab dana itu. Mereka melihat pengikut Ibu di Instagram begitu banyak, lalu Ibu mendapat imbalan dari itu. Apa kau tak senang dengan apa yang kau miliki sekarang. Ibu juga tak ingin terus melihatmu menderita.”

Kukatakan jika keputusan Ibu ada yang tidak tepat. Tentang operasi itu yang seharusnya tidak dilakukan. Bukankah tumbuhnya uban dan kerutan di wajah memang peringatan Tuhan agar manusia selalu ingat mati agar kembali ke kehidupan abadi?

Aku menggeleng. Ingin Ibu kembali sadar bahwa dendam kadang lebih mematikan. Tak ada yang abadi di dunia ini, selain pemilik semesta. Mendadak pandanganku kabur. Sudut mataku berair. Aku gegas keluar pintu kamar tanpa pamit.

***

Tiga hari berlalu setelah perseteruan itu, seorang perempuan yang terluka hatinya masih setia menatap cermin. Entah kenapa dua hari ini banyak flek aneh di wajahnya. Bercak-bercak kehitaman seakan mulai menutupi pipi. Terkadang wajah yang sedikit menggembung itu malah terasa gatal dan perih. Ia sudah berkonsultasi dengan dokternya takut ada infeksi setelah operasi kemarin.

Sejatinya dokternya tahu jika kulitnya terkena semacam melanoma atau kanker kulit. Sentuhan kecil di pipinya terasa perih dan membuatnya mudah lecet dan terluka. Dokternya sengaja diam saja agar tak membuatnya khawatir dan bilang untuk terus meminum obat yang diberikannya, seolah operasi kemarin baik-baik saja dan tidak ada yang gagal.

Jujur saja, ia enggan mengaku pada anaknya jika setengah dana kemanusiaan itu ia pakai untuk operasi plastik. Semuanya berjalan tanpa alasan. Bertahun-tahun lalu ia memendam dendam dan kecewa pada suaminya. Ia merasa dendamnya telah terbalas dengan semua yang dimilikinya. Sekarang, sangat mudah baginya untuk membeli baju, sepatu, dan tas mewah.

Bola matanya mendadak membulat. Ia mencondongkan wajahnya yang dipenuhi bercak gelap kehitaman ke kaca. Sesuatu yang aneh tiba-tiba keluar dari pori-pori pipinya di bagian yang lecet dan terluka. Ia satukan telunjuk dan ibu jarinya. Berusaha memencetnya. Lalu melihat satu belatung di ujung jarinya yang lentik. Ia bergidik jijik. Berteriak ngeri. Degup jantungnya berdenyut cepat tak terkendali.

Terdengar jelas olehnya suara burung gagak berkaok lantang berulang-ulang di atap rumah. Belatung itu juga telah berhasil mengabarkan berita jika yang paling dekat dengan manusia hanyalah kematian.(*)


Penulis:

Dody Widianto, lahir di Surabaya. Hobi makan sayur kentang dan fotografi. Karya cerpennya banyak tersebar di berbagai antologi penerbit dan media massa nasional seperti koran Tempo, Suara Merdeka, Solo Pos, dll. Buku kumpulan cerpen terbarunya, “Daff, Ron, dan Seekor Capung yang Menyimpan Dialog Rindu Kita” (Airiz Publishing, Yogyakarta 2021). Silakan kunjungi akun IG: @pa_lurah untuk kenal lebih dekat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *