Resensi Buku
Di Tengah Kemelaratan dan Upaya Memerangi Uang

Di Tengah Kemelaratan dan Upaya Memerangi Uang

Judul           : Keep the Aspidistra Flying
Penulis         : George Orwell
Penerjemah  : Anton Kurnia
Penerbit       : Bentang Pustaka
Terbit           : Oktober 2021
Tebal           :viii + 304 halaman
ISBN           : 978-602-291-855-4

Idealisme memerangi uang dan kapitalisme menjadi jalan yang dipilih pria bernama Gordon Comstock. Kita menelisik kehidupannya sekitar tahun 1930-an. Melarat di sudut apartemen kumuh di kota London, ia berusaha hidup dengan bayangan jumlah uang di kantongnya, menghitung kepingan Corn dan beberapa Pound Sterling demi menyambung hidup esok hari atau demi sekotak rokok dan segelas bir murah. Ia melarat, tentu saja. Pekerjaanya hanya seorang penjaga toko buku sekaligus pustakawan yang gajinya kelewat sadis. Tapi, itu pilihannya. Ia minggir dari kehidupan cukup gemerlap dengan punya pekerjaan bagus di sebuah perusahaan iklan, sebab merasa jati dirinya dikendalikan oleh sistem kapitalisme, dan ia juga tak tahan, atau lebih tepatnya ketakutan, sewaktu-waktu tumpukan uang bisa mengendalikan dirinya. Namun, hei, siapa yang bisa hidup tanpa uang dan tanpa menyangkut-pautkan segala hal dengan uang?

Pertanyaan itu yang agaknya kerap dilupakan pria itu. Sosoknya yang keras kepala, sok menolak pesona uang dan kegemerlapan, tapi juga tak bisa menahan diri saat mendapatkan uang. Dan itu bisa menjadi muasal dari parade rasa jengkel yang bakal pembaca dapati dalam novel ini. Ya, pria bernama Gordon itu tokoh rekaan yang digubah pengarang modern Inggris, George Orwell, dalam salah satu novelnya, Keep the Aspidistra Flying (Bentang Pustaka, 2021). Kali pertama terbit  tahun 1936, kita patut curiga kalau cerita dalam novel ini menyitir babakan dari hidup Orwell sendiri. Kita bisa menemukan hal yang menguatkan dugaan, bahwa Gordon, selain menjadi penjaga toko buku juga menjadi seorang penyair yang miskin, persis seperti yang pernah dialami Orwell di awal kepengarangannya.

Namun, pesona dari novel ini tidak saja berkaitan dengan hubungan apakah kisah di dalamnya merupakan biografi si penulis atau tidak. Kita mencermati paragraf pembuka dan barangkali akan sadar, kisah novel ini membabarkan kemanusiaan kita yang acap rapuh. Gordon, digambarkan menjadi sosok yang sampai pada titik itu. Ia memiliki idealisme untuk memerangi uang dan menjauhi kapitalisme, ia bahkan sampai keluar dari sebuah tempat kerja yang bagus demi prinsip hidupnya itu. Padahal, kendati berangkat dari keluarga gagal sebab kemiskinan dan kemelaratan, dengan orang tua yang meninggal dengan miskin dan menderita sakit, dan dengan sosok kakak perempuan yang melajang seumur hidupnya, Gordon menjadi yang paling beruntung.

Sejak bangku sekolah, Gordon memiliki kesempatan mengenyam pendidikan yang cukup layak untuk standar keluarganya. Ia pun bisa melanjutkan pendidikan itu ke tingkat yang lumayan, yang bisa mengantarkannya ke dalam kesempatan memperoleh pekerjaan yang bagus. Tapi Gordon, tak peduli akan hal itu, ia mengabaikan kekecewaan kakak,  orangtua, dan paman serta bibinya saat tahu kalau ia keluar dari tempat kerja yang menempatkannya dalam posisi bagus. Ia mengabaikan semua hal itu demi prinsip dan idealismenya, bahwa kalau kita bisa menjalani kehidupan sejauh mungkin dari gemerlap uang dan sistem kapitalisme, hidup kita bisa lebih tenang dan bebas.

Sialnya, apa yang terjadi justru sebaliknya. Gordon kali pertama merasakan kalau perang melawan uang di tengah kemelaratan tidaklah mudah. Kehidupan yang didambakannya, yaitu tidak terikat dengan sebuah perusahaan yang menjadi corong kapitalisme, dan menjalani hari dengan melakukan apa yang ia sukai—menulis—dan mengandalkan hidup atasnya, ternyata tidak seindah yang dibayangkannya. Gambaran itulah yang bisa kita lihat dari petikan narasi berikut ini: “Efek pertama dari kemiskinan adalah membunuh pikiran. Dia memahami, seolah-olah itu penemuan baru, bahwa kau tidak bisa melarikan diri dari uang dengan tidak memiliki uang. Sebaliknya, kau budak yang yang putus asa sampai kau memiliki cukup uang untuk hidup—sebuah “kompetensi”, seperti uangkan kelas menengah yang kejam.” (Hal. 59)

Situasi melarat itu sampai membuatnya tidak mampu membayar sewa kamar dan membuatnya diusir oleh induk semangnya. Dan Gordon, yang luntang-lantung, lantas menumpang di rumah pamannya. Ia tinggal di sana selama beberapa waktu dan tetap tidak bisa menghasilkan apa-apa, malah terkesan membebani mereka. Atas situasi tersebut, pamannya pun ikut membantu mencarikan Gordon pekerjaan lain dan, untungnya, ia mendapatkan satu informasi bahwa ada satu perusahaan iklan, The New Albion, sedang membutuhkan seorang akuntan. Gordon melamar di perusahaan itu dan diterima di sana. Hari-hari Gordon pun berubah, ia sekali lagi menjadi bagian dari sistem kapitalisme dan dekat dengan dewa uang. Bahkan, posisinya tidak dinyana berubah setelah tanpa sengaja bakat menulisnya ketahuan dan ia menjadi copywriter di perusahaan tersebut.

Kehidupan Gordon tampak membaik, sebab ia tidak lagi memiliki masalah keuangan yang berarti. Di tempat itu pula, ia bertemu dengan calon pacarnya, yaitu Rosemary, yang membuat jantungnya senantiasa berdegup kencang saat melihat gadis itu. Tapi, lagi-lagi, Gordon tidak merasa tenang bekerja di sana dan menginginkan tempat kerja lain yang, dalam istilah Gordon, “tidak menyedot jiwanya untuk masuk dalam pusaran uang”. Gordon kemudian menghubungi salah seorang temannya bernama Ravelston, bertanya pekerjaan yang cocok untuknya, tetapi tidak seperti yang ia punyai saat itu. Seminggu setelahnya, temannya pun menghubungi Gordon, berkata ada satu pekerjaan yang kemungkinan cocok untuknya, yaitu menjadi penjaga di sebuah toko buku bekas di sudut kota London.

Praktis, sekali lagi, Gordon keluar dari pekerjaannya dan lebih memilih pekerjaan lain yang, menurutnya, tidak begitu terikat dengan uang. Namun, apa yang terjadi dengannya? Kita pantas gemas dengan sikap Gordon ini. Sebab, ia menampilkan karakter sok menjauh uang, tetapi sebenarnya membutuhkan uang dan tidak mungkin bisa terlepas dari benda itu. Idealisme Gordon yang kelewat konyol, yaitu menjauhi sistem kapitalisme, justru kerap ia langgar dengan sikapnya sendiri. Saat kemiskinan menjeratnya, kita mendapati penggambaran orang yang senantiasa mengutuk uang dan kapitalisme. Tapi saat ia sedang memiliki uang, seperti ketika puisinya dimuat oleh salah satu surat kabar atau majalah dan ia mendapatkan honorarium sebagai ganjarannya, ia akan menghabiskannya dengan berfoya-foya, seolah-olah uang bukan sesuatu yang mesti ia benci dan tindakannya berbanding terbalik dengan apa yang diyakininya.

Maka, kita bisa menduga kalau maksud Orwell dalam menggambarkan figur Gordon ini senyata-nyatanya sindiran bagi kecenderungan beberapa orang di abad modern itu sendiri. Bahwa terkadang, kita mengidealkan satu pilihan hidup kita tanpa melihat situasi dan kenyataan di sekitar kita. Orwell menyindir dengan telak bagi mereka yang menginginkan kehidupan bebas tanpa cengkraman uang, tetapi juga tidak memilih opsi lain, seperti tidak juga berpihak pada sosialisme seperti yang dilakukan Gordon. Selain itu, ia menampilkan betapa rapuhnya pengidealan yang dimiliki Gordon, yang bisa senantiasa runtuh saat situasi berbalik dan ia memegang uang hingga bisa melakukan apa saja. Sikap itu seperti membalas dendam masa-masa melaratnya, saat ia mesti menghitung keping demi keping uang, juga lembaran yang tidak seberapa, dengan idealisme menjauhi uang.

Namun, sebenarnya buat apa idealisme itu kalau kita secara diam-diam masih mendambakan uang dan bisa menikmatinya dengan kalap saat memilikinya? Kita sangsi mendapati sikap ini pada situasi sekarang. Orang-orang barangkali tidak ada yang segila dan seaneh Gordon Comstock. Uang masih dipandang hal penting yang diperjuangkan, dan hanya segelintir yang betul-betul menarik diri dari cengkramannya. Lalu, apakah dengan begitu novel ini tidak patut kita selami? Kita bisa mendebat hal tersebut, tapi yang pasti, menyimak kisah ini sama dengan menyimak parade sindiran yang dilampiaskan Orwell atas sisi lain dari kemanusiaan pada suatu masa.

Kita melihat diri Orwell dan Gordon berjalan bersisian, menampilkan kehidupan segelintir warga Inggris paruh awal abad ke-20. Ada kerapuhan yang coba ditutupi dengan mempertahankan satu idealisme. Juga keinginan dan mengkhayalkan satu kehidupan yang lebih baik, yang lebih membebaskan jiwa. Tapi tetap saja, kenyataan senantiasa memiliki caranya sendiri untuk membawa kita menikmati hidup tanpa dan dengan uang. Orwell seolah menyisipkan satu pesan pamungkas itu di akhir kisah, bahwa kendati uang tidak bisa membeli kebahagiaan kita, tapi bukankah dengan memiliki uang kita bisa memiliki lebih kesempatan untuk menciptakan kebahagiaan? []


Penulis:

Wahid Kurniawan, penikmat buku, mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *