Cerpen
Mengubur Abu Ibu

Mengubur Abu Ibu

ADA hutang yang tak akan pernah terbayar bila aku mendengar tentang kematian seseorang. Aku tidak sempat memberikan penghormatan yang cukup kepada almarhum Bapak, lebih tepatnya bapak mertua, ketika beliau wafat. Aku dan istriku baru setahun di Arkansas. Dan lazimnya awal perantauan, dana masih cekak. Tak satu pun dari kami pulang saat Bapak wafat. Alhasil, aku selalu merasa berhutang kepada Bapak dan istriku. Kalau ingat, aku suka berdoa agar dapat membayar hutang itu dengan melakukan yang serupa itu kepada orang yang meninggal.

Beberapa bulan setelah kabar kematian Bapak, aku mendapat kesempatan memberikan penghormatan. Tetapi, lewat kematian orang lain. Tepatnya ketika aku bertemu Kyle yang sedang dalam perjalanan menebar abu ibunya di sepanjang jalur historis Rute 66. Aku bertemu dengan Kyle di lobi sebuah Motel 6 di Tulsa, Oklahoma.

Aku dan istriku menginap semalam di motel murah itu untuk menikmati sisa hari sewa mobil. Aku berkesempatan mengikuti sebuah konferensi di Oklahoma City dan mendapat bantuan dari kampus untuk sewa mobil dan menginap selama konferensi. Aku ajak istriku sedikit jalan-jalan selagi ada kesempatan. Sebelum balik ke Fayetteville, kami perpanjang sewa mobil Pontiac G6 dari Budget itu satu hari untuk sedikit jalan-jalan di Oklahoma.

Siang itu kami ke Museum Pribumi Cherokee dan malamnya kami ke akuarium Tulsa untuk melihat hiu-hiu. Besoknya kami berencana melanjutkan ke reservasi bangsa Osage And melihat suaka bison di sana. Motel 6 di Tulsa itu adalah tempat berhenti yang pas untuk istirahat sejenak.

Ketika kami tiba, waktu sudah cukup malam. Istriku sudah tidur, tapi aku masih butuh minum kopi sekali lagi. Aku ke lobi dengan harapan ada mesin kopi untuk tamu 24 jam. Sayangnya, di dispenser itu aku hanya mendapat seperempat gelas kopi, plus beberapa tetes sisa kopi.

Di satu sudut ruangan yang setengah gelap itu aku lihat seorang lelaki duduk sendiri memandang jalan raya yang ada di kejauhan sambil bermain dengan smartphone-nya. Dari pias cahaya lampu luar aku lihat gambar celeng di T-shirtnya: Razorback, maskot tim olahraga University of Arkansas. Sebagai mahasiswa di universitas tersebut, aku jadi begitu ahli mengenali gambar celeng, meskipun penerangan sangat minim.

“Halo, Bung,” sapaku. Lelaki itu menoleh, dan aku lanjutkan, “Go Hogs!” aku serukan yel-yel pendukung tim Razorback sambil mengangkat topiku, yang juga bergambar celeng merah.

“Halo, apa kabar?”

“Mestinya baik, kalau saja aku bisa dapat secangkir penuh kopi.”

“Turut prihatin, Bung,” katanya. “Tapi, di kamarmu pasti ada kopi dan coffee maker.”

“Iya sih, tapi aku tadi ke sini biar tidak perlu repot-repot menyeduh kopi di kamar. Lumayan dapat seperempat cangkir. Daripada tidak minum sama sekali.”

“Dari mana?”

“Dari Fayetteville,” jawabku. “Anda dari Fayetteville juga?”

“Bukan, aku dari Jonesboro,” katanya, dia menyebut nama sebuah kota kecil Arkansas yang berjarak lima jam perjalanan di sebelah timur Fayetteville. “Tapi, asalku juga dari Fayetteville. Eh, silakan duduk.”

Tidak biasanya orang langsung menawarkan ngobrol, tapi aku terima saja ajakannya. Toh, sama-sama orang Fayetteville. Maka, perbincangan pun berlanjut tentang Fayetteville dan Jonesboro, yang bisa dibilang merupakan dua kota ramai di ujung Arkansas yang berbeda. Di antara kedua kota itu terbentang hutan-hutan, pedesaan, dan kota-kota kecil Arkansas. Fayetteville di Barat dan Jonesboro di Timur (dan Tulsa ada di sebelah barat Fayeteville).

Hari itu, Kyle telah berkendara dari Jonesboro ke Fayetteville dan dari Fayetteville ke Tulsa—dia baru tiba di hotel satu jam yang lalu. Kyle harus mampir di Fayetteville untuk mengambil satu guci besi berisi abu jenazah dari lemari kamar almarhumah ibunya.

Sebelumnya dia sempat beradu mulut dengan saudara-saudaranya yang berencana menebarkan abu ibunya di Buffalo River—sementara Kyle besikeras ingin menebar abu ibunya di tempat-tempat penting di sepanjang Rute 66 mulai Oklahoma City sampai Los Angeles. Dia yakin hal itu akan membuat ibunya lebih bahagia. Rute 66, seperti dalam lagu Chuck Berry, adalah rute historis dari Chicago ke Los Angeles.

“Kalau boleh tahu, kenapa dikremasi?” aku akhirnya tidak tahan untuk menanyakannya, meskipun aku tahu tiap orang pasti punya alasan sendiri. Mungkin aku terbawa gayengnya perbincangan kami.

“Sederhana saja: lebih murah,” kata Kyle enteng, padahal aku pikir itu pertanyaan yang sulit dijawab. “Cukup lima ratus dolar dan sudah. Kita tidak perlu mengurusi pemakaman dan lain-lain. Biaya pemakaman bisa sangat mahal, Bung. Belum lagi sewa tanahnya.”

Aku mencoba menghubungkan kontrak beli putus antara penerjemah dan penerbit buku terjemahan. Aku mengutuk diriku sendiri yang sampai berpikir begitu. Aku mendengarkan saja dan mencoba untuk tidak menyimpul-nyimpulkan sendiri keadaannya bagaimana. Aku coba alihkan perhatianku dari kontrak beli putus—

“Apa mendiang ibumu penggemar Chuck Berry?” tanyaku tanpa bisa aku kontrol. “Maksudku, kenapa mau kamu sebar di Rute 66?” 

“Agak panjang sebenarnya, Bung,” kata Kyle sambil menghela nafas dan tampak siap melanjutkan ceritanya. “Sepanjang hidupnya ibuku tidak pernah jauh-jauh dari Arkansas. Tidak pernah sekali pun naik pesawat. Kalaupun pernah keluar Arkansas, paling-paling cuma ke Oklahoma atau Missouri. Itu pun aku tidak pernah tahu sendiri. Mungkin di masa mudanya. Begitulah. Aku tidak yakin.”

Di situlah aku tahu bahwa ibu Kyle—namanya Joanna—adalah anak petani yang tinggal di sebuah desa di Arkansas, mungkin salah desa antara Jonesboro dan Fayetteville. Baru pada akhir masa hidupnya ibu Kyle sempat punya cukup uang yang kemudian dia gunakan untuk membeli RV. Satu-satunya keinginan yang ingin dia lakukan adalah melakukan perjalanan dengan RV ke Barat, menyusuri Rute 66, jalan-jalan kota kecil yang eksotis dan historis. Dia sangat dekat dengan pacar Kyle. Dia ingin mengajak Kyle dan pacarnya untuk ikut dalam perjalanan itu kalau anak-anaknya yang lain terlalu sibuk.

Sayangnya, ibunya meninggal karena kecelakaan di tengah-tengah badai es yang terjadi enam tahun yang lalu. Aku tidak tahu pasti detil kecelakaan yang menimpa ibunya—gaya bicara Kyle cukup cepat dan ada bagian-bagian yang tidak bisa aku tangkap dengan pasti karena logat Arkansas-nya yang sesekali terasa kental. Aku ingat memang ada beberapa korban meninggal ketika itu. Yang aku tangkap jelas adalah bahwa Kyle yakin menebar abu ibunya di sepanjang Rute 66 pasti akan menyenangkan baginya. Dia sebutkan ikan paus biru di Oklahoma, Cadillac Ranch di Amarillo, di Grand Canyon, Kafe tempat Elvis syuting Viva, Las Vegas, dan, kalau bisa di kota-kota yang disebut Chuck Berry dalam lagu historisnya.

Kalau Anda pikir cerita ini terdengar seperti fiksi, aku tidak menyalahkan Anda. Aku sendiri mungkin berpikir begitu kalau tidak mengalami ini sendiri. Aku hanya jatuh hormat kepada Kyle dengan keteguhannya. Aku yakin di Indonesia banyak orang yang naik haji dengan membahagiakan orangtuanya yang tidak sempat naik haji.

Untuk tujuan menyebar abu ini, Kyle mengambil cuti dua minggu dari pekerjaannya. Dia bekerja sebagai pegawai sirkulasi di perpustakaan kampus Jonesboro. Karena sudah bertahun-tahun kerja di sana, pimpinannya sama sekali tidak keberatan membiarkan dia mengambil cuti dua minggu berturut-turut. Kyle sendiri ingin menyegerakan mengadakan road trip ini sebelum dia kawin musim panas nanti.

Aku kembali teringat bagaimana aku tidak bisa memberi penghormatan terakhir sepantasnya kepada bapak mertuaku ketika beliau meninggal dunia. Aku tahu tidak ada yang bisa menggantikan kesempatan yang terlewat. Mungkin karena pikiran itulah aku mengatakan sesuatu, lagi-lagi di luar kendaliku, yang intinya aku menawarkan membantu Kyle. Aku ingin ikut memberi penghormatan kepada mendiang ibunya. Aku ingin ikut mewujudkan keinginan ibunya untuk keluar dari Arkansas dan melihat-lihat apa yang biasanya dia lihat dari televisi.

Aku beritahukan kepada Kyle bahwa aku akan pergi ke Suaka Bison di Oklahoma Utara. Memang itu bukan bagian dari Rute 66, tapi itu adalah Amerika yang aku tidak yakin semua orang Amerika sendiri pernah melihatnya. Aku menawarkan diri membawa sedikit abu ibunya dan menyebarkannya di suaka bison di dekat reservasi bangsa Osage. Tentu saja itu ide yang tak biasa bagi Kyle. Tidak semudah itu melepaskan sesuatu yang sangat penting kepada orang lain, apalagi orang tidak jelas yang baru ketemu sekali di sebuah hotel.

Aku mencoba meyakinkan dia bahwa aku juga ingin membantunya karena beberapa tahun sebelumnya aku juga gagal memberikan penghormatan kepada orangtuaku. “Kalau aku bisa membantumu, itu artinya kau juga membantuku, Bung,” begitu kataku. Tapi aku juga menyebutkan juga bahwa aku tidak pernah berurusan dengan abu jenazah. Aku katakan bahwa di tempat asalku kremasi adalah untuk orang-orang beragama Hindu. Kyle sepertinya menganggap ceritaku tentang kremasi di Jawa itu sebagai bukti niatku yang tidak main-main.

“Baiklah,” kata Kyle sambil memandang mesin pembuat kopi yang pasrah di salah satu sudut ruangan.

Setelah itu Kyle bilang bahwa dia merasa kenal aku, meskipun jelas-jelas aku tidak mengenalnya. Dia bilang, di perpustakaan kampus tempatnya bekerja, dia bisa dibilang kenal beberapa mahasiswa yang suka minta dibukakan ruang-ruang yang tidak dipakai untuk berdoa. Dia tidak berani menebak-nebak dari mana asal mereka, tapi dia merasa aku mirip dengan orang-orang itu. Aku jadi semakin yakin ada alasan untuk membantunya. Dia mungkin sering membantu orang-orang seperti aku. 

Baru saat Kyle sudah setuju itulah aku terpikir bagaimana cara menyembunyikan itu dari istriku. Pasti istriku tidak bisa begitu saja menerima gagasan membawa abu jenazah di dalam mobil kami. Aku hanya berpegangan bahwa aku hanya berniat baik. Akhirnya, Kyle mengajakku ke mobilnya. Aku membayangkan Kyle menyimpan abu ibunya di dalam bagasi, tapi ternyata tidak. Abu jenazah itu disimpan di dalam guci yang menyerupai termos es. Guci itu didudukkan di kursi penumpang sebelah sopir dan ditahan dengan sabuk pengaman. Dia mengambil botol kopi gelas dari tempat gelas di dashbornya. Andai tidak gelap, pasti aku bisa melihat garis-garis kopi yang sudah mengering.

“Aku ambilkan segini saja ya,” katanya.

“Kamu pernah merasakan abu jenazah?” tanya Kyle.

Dan tentu saja jawabannya tidak.

Dia mempersilakan aku merasakan abu jenazah ibunya itu. Aku agak ragu-ragu juga dengan undangan itu. Ini manusia, pikirku. Tapi, karena aku sudah terlanjur menawarkan membantu, sepertinya aku tidak punya alasan menampik ajakannya merasakan abu ibunya. Aku pun memberanikan diri memegang abu jenazah itu.

 Bismillah, seruku dalam hati. Ternyata rasanya tidak seperti bayanganku. Abu jenazah itu bukan seperti pasir lembut. Tidak. Bentuknya mirip sereal corn flake yang agak kecil dan kekerasannya mengingatkan aku pada abu pabrik gula yang mirip dengan kuku-kuku hitam yang mudah remuk itu. Tapi, abu ini warnanya abu-abu, bukan hitam seperti karbon.

Kyle meraup abu jenazah itu dengan tangan dan memasukkan dengan lihai ke dalam botol kopi. Dia mengisi botol kopi itu hingga separuh penuh, dan menunjukkannya kepadaku. Aku mengangguk dan meraba sakuku—ada kunci mobil di sana. Aku segera membawa botol Starbucks itu ke mobil, agar istriku tidak tahu.

Sepertinya memang segala hal di alam ini berhubungan: bahwa aku ketemu Kyle, bahwa aku harus segera memasukkan abu jenazah itu ke mobil, bahwa aku punya kunci mobil, dan seterusnya.

Setelah menimbang-nimbang, akhirnya aku memutuskan menyimpan botol kopi berisi abu itu di glove compartment. Aku bayangkan besok pasti istriku ingin menyetir dan aku yang akan duduk di kursi penumpang. Glove compartment adalah tempat yang tidak akan dijangkau istriku. Sebetulnya aku sendiri agak-agak kurang nyaman dengan ini dan ingin menyimpan abu jenazah itu di belakang, tapi aku khawatir menyinggung perasaan Kyle.

Kami berpisah. Kyle menepuk-nepukkan tangan melepaskan sisa-sisa abu, sisa-sisa ibunya, dan kemudian menyalamiku. Ada ibunya di dalam genggaman tangan itu. Aku tak bisa melepaskan bayangan ibunya ikut bersalaman denganku. Aku seperti terikat kontrak.

“Terima kasih, Bung,” kata Kyle. “Kita bersaudara di bawah bendera Razorback.”

“Haha,” seruku.

“One Nation Under Hog,” katanya. “Hahaha…”

“Haha,” seruku.

“Aku pernah lihat itu di kaus mahasiswa Fayetteville,” jelasnya.

Mungkin dia pikir aku tidak tahu—tentu aku tahu.

Aku menyemangatinya untuk perjalanan ke Barat dan dia berterima kasih sekali lagi. Dalam hati aku mendoakannya, semoga perjalanannya lancar.

Keesokan harinya, setelah persiapan ini-itu, aku dan istriku siap meninggalkan hotel pukul Sembilan pagi, padahal kami berencana berangkat sepagi mungkin dengan harapan bisa menikmati banyak hal. Udara sejuk pagi ini, dan langit sangat cerah. Istriku meminta menyetir mobil dan menyuruhku memasang GPS. Kami janjian bahwa dalam perjalanan menuju Suaka Bison, dia yang menyetir dan aku bertugas mencari tempat beli sarapan. Dia ingin beli nachos dengan queso, atau kentang goreng, atau apa-apa yang enak dicamil sambil nyetir.

Dari Tulsa, kami mengambil ke arah utara. Setelah setengah di jalur Interstate, kami keluar untuk belok ke timur dengan jalan raya negara bagian. Tibalah kami di kota kecil yang menjadi pintu masuk ke kawasan reservasi bangsa Osage. Di situ kami berhenti sebentar untuk membeli kentang goreng. Istriku bilang dia ngantuk sekali dan ingin tidur sejenak. Akhirnya aku yang menyetir dan membiarkan dia tidur.

Di dalam hati aku berdoa agar istriku tidak membuka glove compartment dan melihat botol Starbucks yang berisi abu jenazah ibu Kyle itu. Dalam hati aku mengutuk diriku yang lupa menanyakan nama belakang Kyle. Aku hanya tahu kalau ibunya bernama Joanna.

Di jeda antar lagu-lagu country dari radio lokal yang aku dengarkan di mobil, aku bacakan Alfatihah. Aku terus menyetir ke utara, melewati kota-kota kecil dan di kanan kiri jalan masih terlihat sedikit-sedikit salju dari badai seminggu lalu. Bahkan, ada halaman yang masih becek karena badai tersebut. Di radio aku mendengar kabar bahwa seorang penyanyi country muda hilang seminggu lalu tidak jauh dari sini. Katanya dia sedang berburu bebek dengan saudaranya dan entah bagaimana ceritanya dia hilang. Ada yang bilang dia mati saat mancing dan kapalnya terbalik. Ada juga yang bilang dia berburu bebek dan meninggal karena hipotermia.

Lahan-lahan gembala sebagian masih tergenang air. Terlihat sapi-sapi di tengah gembalaan kering. Di satu bagian terlihat pompa angguk penyedot minyak bumi tidak jauh dari jalan raya. Sebelum memasuki kawasan Suaka Bison, terlihat lahan gembalaan dengan banyak sekali sapi. Aku bayangkan jumlah sapinya melebihi daya tampung lahan pertanian ini. Tapi, mungkin saja tidak, aku tidak tahu pasti.

Setelah satu jam berkendara sejak aku mulai menyetir, tibalah kami di Suaka Bison. Ternyata tempat ini hanya diberi pagar yang sangat tipis dengan kawasan gembalaan lainnya. Sekilas tidak terlihat ada batas antara suaka dan lahan gembalaan milik peternak setempat. Aku bayangkan orang-orang bisa terlonjak kalau di antaranya sapinya tiba-tiba ada bison.

Lahan sabana abu-abu dan berkilatan. Ilalang masih terbungkus es. Sepertinya akan sulit mencari tempat untuk menaruh botol Starbucks itu. Di beberapa bagian suaka kami sempat berhenti untuk memotret bison yang ada di pinggir jalan itu. Mereka terlihat santai sekali, seperti di rumahnya sendiri. Sebisa mungkin aku tidak keluar karena memang dilarang petugas. Kami berhenti cukup lama untuk makan dan foto-foto.

Di bagian yang agak jauh dari bison—tetapi masih terlihat bison—kami memutuskan berhenti dan berpotret. Istriku memotret kijang di kejauhan. Bilah-bilah ilalang terbungkus es seperti permen isi rumput. Istriku mencoba mematahkan es dan memainkannya. Ketika itulah aku mengambil botol Starbucks dan ke sisi lain mobil. Aku bilang kepada istriku bahwa aku ingin memasang tripod dan berfoto untuk profil picture di Facebook, agar semua orang tahu kami pernah rekreasi.

Dengan tatakan kamera di tujung tripod yang kasar itu aku menggali salju, di bawah salju ada seperti es serut, di bawah es serut ada ilalang, dan di bawah ilalang ada tanah berhumus. Karena waktu yang sangat mepet, akhirnya aku membuat lobang yang tidak terlalu besar. Di situlah aku tuang abu dari Kyle, ibu Kyle.

Kyle mungkin ingin aku menyebarkan abu itu seperti halnya menyebarkan pupuk yang dapat menyuburkan tanah. Tapi ada perasaan ganjil. Ganjil bagiku membiarkan jenazah di permukaan tanah. Maka, daripada ganjil dan mengganjal, aku putuskan untuk menguburkannya saja. Ingin sekali kuucapkan talkin untuk abu jenazah itu, tapi aku tidak hapal. Aku hanya ingat bahwa akan ada dua malaikat yang mendatangimu, mereka akan menanyakan ini itu. Aku bacakan Alfatihah cepat-cepat. Semoga selama hidup engkau manusia yang baik. Tuhan tidak tidur. Bismillah.

Istriku memanggil, dia sudah mulai kedinginan. Aku ajak mereka ke sisi lain mobil tempat aku memasang tripod. Sebelum mereka berkumpul, aku buka bagasi dan menyimpan botol Starbucks di sana.

“Tadi beli Starbucks ya waktu aku tidur?” tanya istriku.

“Tidak, kok. Kan nggak berhenti sama sekali,” jawabku. “Starbucks lama dari dalam mobil.”

Kami berfoto dan aku merasa longgar. Aku merasa tidak jujur kepada istriku, tapi aku tidak menyembunyikan apa-apa yang merugikannya. Memang aku tidak benar-benar telah membayar ketidakmampuan kami untuk pulang pada saat Bapak meninggal dunia. Tidak ada yang bisa menggantikan itu. Tapi, entah, aku senang telah membantu seseorang menjalankan wasiat orangtua. Entah apa kata teman-temanku kalau aku sampai ketahuan melakukan ini. Aku sendiri bingung banyak hal, apalagi banyak hal yang harus dikatakan kepada orang lain.

Hari itu kami pulang. Ketika kami mengumpulkan sampah dari mobil untuk dibuang, dengan sadar aku masukkan botol Starbucks itu ke tempat sampah daur ulang. Dan di satu kesempatan, jam menunjukkan pukul 5.55 sore bertepatan dengan jarum speedometer menunjuk kecepatan 55 mil per jam saat istrku menyetir. Kadang-kadang kebetulan bisa terjadi begitu saja.(*)


Penulis:

Wawan Eko Yulianto adalah penulis, penerjemah, dan dosen Sastra Inggris di Universitas Ma Chung, Malang. Instagram @wawaney.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *