Puisi
Puisi J Akit Lampacak

Puisi J Akit Lampacak

Sunyi Di Kota Gulang

 _Osip Mandelistam

Setelah sunyi di hari pertama mengapung
Di Sebria tampak waktu
Menunggu kelahiran baru.

Mungkin ombak terjebak dalam kekecewaan
Dengan keberhasilan kerang
Hinggap di karang.

Sedepa kemudian, sebelum kau mabuk
Di suatu kepalsuan bernada ringkih, seperti merah
Anggur menampih ilusi seamis darah.

Padahal semalam
Mimpi buruk turun ke teras rumah
Menemui tamu, melayaninya seramah rindu.

Selalu dendam yang kau puja,
Meski di langit
Bintang cuma merajut kerlip
Lalu hilang
Sebelum mata sempat berkedip.

Kau pun tak mengerti
Untuk apa gerimis datang pagi
Sementara lembab embun di punggung daun itu
Masih saja sewarna mimpi.

Maka aku lupakan harum imaji, harum tanah
Di penghujung puisi, sebab setelah ini tak ada sunyi
Kecuali tembang yang bimbang dalam arti.

Sumenep,2022


Kepada Ada Lovelake

Putrikuku, Ada Lovelake
Kutulis gemersik daun pagi pada Desember 1815
Sebagaimana pecah tangismu di minggu kedua,
Sebagaimana intuisi cuaca pada gerimis
Menulis sajak seputih gubis.

Antara aku dan rahim ibumu sebagian jadi riwayat
Yang diwartakan cericit burung
Dari puting susu ibumu mengalir kata
Yang kelak akan menyeretmu
Dari rima dan makna.

Putriku, bagimu nyerosong cahaya
Setelah malam pergi
Dari celah sunyi.

Lalu di kota Yunani
Trotoar mengusir bayangan
Dari jahatnya neon-neon.

Sudah lama surga
Hilang dari teras ini
Dan aku tak pernah mencarinya,
Karena kau tak pernah tau,
Mengapa kutulis sajak sepekat tangismu.

Sumenep,2022


Kepada Aya Varagita 

Setelah tujuh sajakku gagal kau baca,
Kutulis kesedihanmu pada kemuning
Karena angin pada jendela
Rentan membawa debu.

Aku tak pernah tahu
Kenapa harus
Kau menolakku jadi laut,
Padahal telah kubayangkan
Besar ombak mengikis karang
Sebelum terseret pasir pada hilir.

Namun hujan dan layangan tak pernah dendam
Kau tinggalkan kemarau pada sungai
Kuisaratkan lekuk tubuhmu pada tanah

Kekal pun singgah sekejap
Dalam pejam mataku
Kerinduan mengintipmu lewat jendela belakang
seperti dingin, datang dan pulang.

Sumenep,2022


Di Talilam

_Ruqayyah

1/
Selalu ada kilau purnama
Yang disampaikan ombak
Pada mata lembab.

Mungkin gemersik nyiur
sesamar kabut

Namun januari telah tiba
Kaupun menyaksikan,
Letusan petasan dalam sebotol kaca
Sudah sepagi ini
Masih menyambut jejak kita.

2/
Bagaimana kau bisa yakin hujan akan berhenti
Ketika gemuruh acuh pada November
Musim mencabik tubuh kita,
Menurutku (gentung nenek di dapur) menyimpan air
Di mana kelak tak mungkin lagi bisa mengalir.

Maka kita ulang perpisahan
Gerimis menyingkap kerudungmu
Senyummu yang biru,
Lebih bergelombang dari ombak Pantai Biarritz.

3/
Mungkin sebuah puisi
Tak terbit lagi di hari minggu
Karena tak ada sunyi setelah itu
Yang nyaring dalam bisu.

Sementara aku lihat juga rindu lain
Yang menyembunyikan wajahnya di cermin
Merapikan warna, menjumlah air mata,
Menyisirnya setuntas ingatan.

Sumenep,2021


Di Jendela Kamar No.5 

Di Jendela Kamar No.5
Selalu kujumpai angin
Yang mendiskusikan daun kering
Yang mungkin juga kau bertanya
_Ranting dan kembang_

Mengapa sering pula dipuja?

Semua jendela memang begini, sayang
Pada lipatan kelambu kesekian,
Akan mengajakmu keluar

Tapi, kita cuma pendatang
Yang gampang tersinggung pada hal sederhana
Selalu berdesir,
Sebelum sempat berpikir.

Sayang, Kita cuma pendatang
Yang tak pernah tahu,
Kapan akan pulang.

Sumenep,2021


Harum Serumpun Kemuning*

Perjalanan embun itu, telah aku tebak
Setelah dua musim dalam tubuhmu memacah sedih
Lalu aku simpulkan tabiat daun, prihal pejam mataku
Pada senyummu yang tertunda selama dua minggu.

Mungkin akan memanggil satwa-satwa lembut pada angin
Setelah petani-petani pulang dari ladang sepi paling kumuh
Merapikan gersang dan mengikatnya dengan kering pohon pisang.

“Apa maksudmu menyadari penyesalan?
Jika yang paling kuat dalam harap tetaplah bayangan”

Seperti gelap memburu wasiat malam
Kita kembali melirik sayup halaman
Kala kita kalah menghadapi rindu
Kala pengorbanan itu
nyaring pada harum serumpun kemuning.

Sumenep,2021

*Kalimat ini saya kutip dari puisi Mochtar Pabottinggi dalam pusisnya yang berjudul Perjalan Embun.


Setangkai Cinta 

Setangkai cinta telah mengeluarkan getahnya
Dalam surat embun pengantar siang.
Mungkin juga kepak sayap pipit itu,
Ikut tergoda pada mantra pemikat waktu
Karena sejauh matahari tergelincir, haus adalah air
Tempat kesalahan rentan mengalir.

Maka ia lepas selembar daun muda pada angin
Laksana aku mencintaimu lewat gemuruh cemburu.
Kusangka beliung,
Rupanya mendung seputih gubis,
Yang nyaris melukis beragam tangis.

Ya! Benar. Cinta itu tak butuh banyak solusi, Katamu.
Kubiarkan saja kelelawar di rusuk purnama itu
Mencari pohon rimbun untuk bergantung, bermimpi
Tentang cahaya cinta di cakrawala. Laksana rindu yang keras,
Ludahpun bisa kita mainkan di atas selembar daun talas.

Sumenep,2022


Perpajung

Berperan di mata air dan tanah
Pandanganku separuh terlena pada buah
Padi dan cabai sudah dua hari lalu mulai berilmu
Parau warnanya merayu kerut wajah ibu.

Sebagaimana ikan bermain di air keruh
Setelah datang hujan pada tanah gunung
Lumpur di tumitku sebagian jadi pengingat:
Dunia hanya sumur di pojok-pojok ladang
Dan petani sejak dulu paham,
Keindahan dalam hidup

Sudah sejak dulu memang pasangsurut.
Maka kugayung air minum dari mata para petani,
Dari tangis bayi yang tumbuh tanpa ayah
Kusinggahi kemakmuran di situ
Di Perpajung
Tempat rindu berwarna ungu.

Sumenep,2022


Penulis:

J. Akit Lampacak Lahir di Sumenep, Jawa Timur, pada 2000. Mahasiswa jurusan teknologi informasi IST Annuqayah. Bergiat di Lesehan Sastra Annuqayah (LSA). Karyanya sudah dimuat di berbagai media, buku puisi tunggalnya bertajuk Lampang 2021.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *