Esai
Transendensi Narasi Lebaran

Transendensi Narasi Lebaran

TIGA cerpen Triyanto Triwikromo, “Seperti Gerimis Meruncing Merah”, “Sayap Kabut Sultan Ngamid” dan “Malaikat Tanah Asal” menjadi sangat menarik di antara cerpen Celeng Satu Celeng Semua (Gramedia Pustaka Utama, 2013). Tiga cerpen itu berlatar Lebaran, dan menyingkap tabir transendensi dalam narasi fiksi. Hampir semua cerpen dalam buku ini menyingkap transendensi dengan kekuatan filosofi, imaji, dan struktur narasi. Akan tetapi, ketiga cerpen ini memberi kesadaran kita akan narasi yang berpijak pada latar Lebaran dengan tafsir yang kompleks.

Triyanto Triwikromo mencipta cerpen Lebaran yang berbeda dengan para cerpenis lain seperti Umar Kayam yang menulis empat cerpen “Ke Solo, ke Njati” (Penerbit Buku Kompas, 1992), “Ziarah Lebaran” (Penerbit Buku Kompas, 1995), “Lebaran Ini Saya Harus Pulang” (Penerbit Buku Kompas, 2000), dan “Lebaran di Karet, di Karet” (Penerbit Buku Kompas, 2001).  Ia juga tak dapat disetarakan dengan A.A. Navis yang mencipta cerpen “Tamu yang Datang di Hari Lebaran” (Penerbit Buku Kompas, 1999). Kreativitasnya tak dapat disejajarkan dengan Gus tf. Sakai yang menulis cerpen “Gambar Bertulisan Kereta Lebaran” (Penerbit Buku Kompas, 2002). Obsesinya pada transendensi narasi tak senapas dengan Raudal Tanjung Banua yang menyingkap latar  Lebaran dalam cerpen “Bambu-Bambu Menghilir” (Penerbit Buku Kompas, 2020).

Transendensi narasi Lebaran yang dikemas dalam tiga cerpen Triyanto Triwikromo memiliki beberapa keistimewaan untuk melihat kekuatan filosofi, imaji dan struktur narasi di dalamnya. Ia  mencipta ketiga cerpen itu dengan napas transendensi, yang memenuhi unsur-unsur: (1) pengakuan tentang ketergantungan manusia pada Tuhan, (2) ada perbedaan yang mutlak antara Tuhan dan manusia, (3) pengakuan akan adanya norma-norma mutlak dari Tuhan yang tak berasal dari akal manusia.

***

Dalam cerpen “Seperti Gerimis yang Meruncing Merah”, Triyanto Triwikromo mengemas napas transendensi dalam imaji dan struktur narasi. Ia memanfaatkan imajinasinya untuk mencipta tokoh Hindun dan Hamzah dalam konteks ruang dan waktu kehidupan mutakhir. Motif pembunuhan dan dendam terulang antara Hindun dan Hamzah, tetapi dalam konteks ruang waktu yang berbeda. Pada motif pertama, Hamzah dibunuh Wahsyi dan Hindun memakan hatinya, persis seperti peristiwa sejarah. Pada motif kedua, Hamzah merupakan anak Hindun, dan justru memperkosa dan membunuh adik perempuannya sendiri.

Tentu saja imaji pengarang yang melakukan defamiliarisasi (penyimpangan) motif pertama dendam pembunuhan Hindun dan Hamzah berupaya mengembangkan struktur narasi baru.  Ia mengembangkan cerpen berlatar Lebaran dengan  tafsir baru yang kompleks, tak terduga, dan menyingkap kedok-kedok  kepalsuan manusia mutakhir. Ia tak mengakhiri dendam Hidun dengan membantai Hamzah dan memakan hatinya, melainkan membiarkan pembaca untuk menafsir akhir cerita sesuai dengan motif dan imajinasinya sendiri.                                                     

Transendensi  Lebaran telah menjadi bagian filosofi yang dimanfaatkan Triyanto Triwikromo untuk mengisahkan perkembangan karakter tokoh-tokohnya dalam cerpen “Sayap Kabut Sultan Ngamid”. Dalam cerpen ini dikisahkan Pangeran Diponegoro menolak disertai prajurit saat berunding di rumah Karesidenan. Ia hanya menginginkan untuk bersilaturahmi, berlebaran pada Jenderal de Kock. Ia meminta Ali Basah Gandakusuma untuk tidak menggunakan tanda pangkat dan jabatan, melainkan mengenakan pakaian santai sebagaimana hendak pelesir atau berjalan-jalan. Kata Pangeran Diponegoro (Sultan Ngamid), “Pada saat berperang pikirkanlah peperangan. Namun pada saat Lebaran pikirkanlah Lebaran. Ayolah, bersenang-senanglah bersama Jenderal de Kock dan para perwira.”

Dengan kekuatan imaji, Triyanto Triwikromo mencipta motif di kedua bahu Pangeran Diponegoro tumbuh sayap rajawali ungu yang menyilaukan mata. Sayap-sayap itu seakan tak sabar menerbangkan sang pangeran ke langit suci. Akan tetapi, Pangeran Diponegoro justru menanggalkan bulu-bulu indah yang diberikan Malaikat Jibril itu.  Tampak benar bahwa Triyanto Triwikromo bermain-main dengan imajinasi dalam  ruang konvensi sejarah, napas transendensi, dan takdir manusia. Ia mengisahkan penangkapan Pangeran Diponegoro dengan menyusupkan unsur transendensi:  ketergantungan manusia pada takdir Tuhan dan pengakuan akan adanya norma-norma mutlak dari Tuhan. Ia  menciptakan motif-motif yang memperkaya fakta sejarah, menghadirkan tokoh-tokoh malaikat, iblis, dan manusia dengan kekuatan adikodrati.

Struktur narasi cerpen Triyanto Triwikromo diwarnai dengan pergulatan tokoh-tokoh manusia adikodrati yang menghadirkan teka-teki, rasa ingin tahu pembaca, dan kesadaran keilahian. Struktur narasi cerpennya juga membuka kompleksitas tafsir. Ia menghadirkan berbagai sudut pandang yang membawa pembaca pada berbagai tafsir terhadap peristiwa transendensi tokoh. Makna Lebaran dalam cerpen “Sayap Kabut Sultan Ngamid” membebaskan dari ideologi konfrontasi kolonial ke dalam perenungan sufisme yang memancarkan cahaya keilahian.

Dalam cerpen “Seperti Gerimis yang Meruncing Merah”, Triyanto Triwikromo menyusupkan defamiliarisasi transendensi Lebaran. Ia membuka cerpennya dengan penyimpangan transendensi Lebaran, “Ketika jendela surga dibuka, ketika pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu, seorang malaikat yang lahir dan tumbuh dari doa serampangan perempuan kencur yang dianggap gila, sekali waktu akan merindukan tanah asal yang kabur”. Dengan imajinasinya, ia mencipta motif-motif yang merupakan penyimpangan transendensi perilaku manusia dan malaikat hingga terjalin struktur narasi dan kisah yang memiliki berlapis-lapis tafsir mengenai  Lebaran.

***

Transendensi narasi Lebaran yang paling memukau dalam cerpen Triyanto Triwikromo adalah cerpen “Sayap Kabut Sultan Ngamid”.  Cerpen ini disusun dengan komposisi yang seimbang antara filosofi, fantasi, dan struktur narasi. Ia mencipta cerpen bertema Lebaran berbeda dengan Umar Kayam, A.A. Navis, Gus tf. Sakai dan Raudal Tanjung Banua yang mengangkat persoalan ekonomi, sosial, dan budaya. Ketajaman imajinasi Triyanto Triwikromo dan obsesinya pada hal-hal yang bersentuhan dengan persoalan keilahian, telah membawanya untuk menemukan motif-motif cerita yang unik.

Ia  mencipta ketiga cerpen itu dengan defamiliarisasi  transendensi, yang menyimpang dari unsur-unsur: (1) pengakuan tentang ketergantungan manusia pada Tuhan, (2)  perbedaan yang mutlak antara Tuhan dan manusia, (3) pengakuan akan adanya norma-norma mutlak dari Tuhan yang tak berasal dari akal manusia. Tokoh-tokoh malaikat, iblis, manusia adikodrati diciptakan untuk menghadirkan ketiga unsur transendensi narasi Lebaran sebagai cerpen-cerpen yang—dalam bahasa Manneke Budiman dalam pengantar buku ini—untuk menyiasati kenyataan dan kemanusiawian lewat fiksi. []


Penulis:

S. Prasetyo Utomo, sastrawan, doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *