Cerpen
Kisah Lola

Kisah Lola

Tiba-Tiba saja malam itu begitu banyak mata yang menontonnya, entah bagaimana beribu pasang mata itu begitu setia menunggu, berpuluh-puluh menit bahkan berjam-jam tanpa merasa bosan sedikit pun.

Banyak orang ingin tahu siapa dirinya, perempuan yang sering kali melakukan sesuatu di hadapan kamera telepon genggamnya, apakah dia seorang yang kesepian, tidak begitu pasti. Ia berusia sekitar dua puluhan, tinggal di sebuah kota yang sibuk, dan dalam keadaan yang terbatas karena peringatan resmi orang-orang tidak bebas lagi melenggang di tempat keramaian, tak terkecuali dia.

Di sebuah hotel kamar 433 ia tinggal sendiri, tidak begitu pasti keseharinnya mengerjakan apa, bagaimana dia mendapatkan uang untuk bertahan hidup, tapi memang sesekali ada seseorang datang, mungkin pamannya atau salah seorang kerabat yang diduga menyuplai kebutuhan hidupnya. Paman itu biasa datang dengan ketukan di luar pintu, sambil tangannya memegang telepon.

“Lola…” panggilnya.

Dan beberapa detik pintu terbuka.

Nampaknya Lola putus sekolah dua tahun lalu, dia hanya lulus dari sebuah SMA/SMK tidak pasti, tidak ada yang mencari tahu sampai ke sana. Dia cantik, rambutnya dicat merah kecokelatan, tergerai melewati batas bahu ke punggungnya, wajahnya glowing, bola matanya hitam, dan alisnya dipotong dan disulam. Sepasang bibirnya pink sedikit pucat, mungkin karena ia kadang merokok, bagian lehernya menuju dada putih hampir seperti tepung terigu, hanya itu yang sering nampak dari siaran langsung itu, dari live streaming-nya.

***

Kota adalah tempat sibuk, semua orang tahu. Gedung-gedungnya yang tinggi seringkali meringis pada muka kaca atau pintu, ringisan yang menyimpan sejuta teka-teki, dan banyak orang, seperti buruh-buruh itu, tidak pernah mengajukan pertanyaan apa-apa, mungkin mereka sangat tahu apa saja jenis kehidupan yang masuk ke sana, jenis yang mereka tidak akan miliki seumur hidup.

Jalan-jalan kota itu kini menjadi sepi cuma menyimpan bunyi kekosongan, bekas-bekas tapak kaki yang lenyap tak kelihatan rimbanya, wajah-wajah dingin terkurung di bilik-bilik kamar masing-masing. Kondisi yang gawat bisa terulang, sejarah mencatatnya dan seringkali masa depan sekedar ketakutan lain dari kemajuan teknologi, semacam kecemasan baru pada hasrat memiliki, memiliki kehampaan modern.

Di telepon genggam masing-masing orang sibuk mencari kenalan baru, jarak telah menciptakan kesenjangan sosial, tapi toh teknologi canggih dengan jangkauan luas menggunakan internet itu sedikit memberi penghiburan. Kuota dan sinyal adalah denyut baru kehidupan urban yang menuju kosmopilitan ini. Laki-laki dan perempuan menjelajahi dunia di genggaman mereka, seolah-olah tidak ada batasan, tidak ada tabu-tabu lagi. Saling menyapa, “Hai.” Dan dibalas, “Hai.” 

Tak hanya itu, pekerjaan juga dilakukan hanya dan melalui telepon genggam saja, orang-orang tidak perlu banyak aktivitas di luar, cuma segelintir keperluan bisa dikerjakan di luar, selebihnya adalah wilayah kamar. Di kamar itulah mereka menemukan dunia dalam layar, dan menemukan orang-orang tak dikenal.

Pertemuan-pertemuan yang terbatas menciptakan gairah baru untuk menjadi tak terbatas, pikiran adalah wahana yang terhubung secara connectable tanpa sekat, dari sana bentuk-bentuk yang tereduksi dalam gambar dikonsumsi secara massal, sebuah kehidupan modern yang mengasyikkan!

Rumah telah menjadi kantor. Di sana didirikan lemari-lemari berkas se-abreg, dan ketika mereka lapar tinggal pesan melalui aplikasi, segala kebutuhan langsung diantar ke tujuan. Begitu hidup menjadi mudah dan lekas menjadi bosan. Lola termasuk orang yang mudah bosan. Ia akhirnya hidup di antara ruang-ruang itu.

***

Menjelang malam, seorang perempuan melakukan live streaming melalui aplikasi media sosial yang telah diikuti puluhan ribu orang, bahkan ada yang mencapai jutaan, banyak sekali perempuan yang melakukan siaran. Tidak sekadar perempuan, lelaki juga melakukannya, cuma dengan prosentasi penonton yang jelas lebih sedikit. Selalu terbayang bahwa lelaki adalah pengonsumsi tontonan siaran langsung dari media sosial itu.

Perempuan-perempuan yang notabene model atau artis suka sekali memamerkan barang-barang barunya di siaran itu, tak terkecuali seorang perempuan di sebuah hotel kamar 433.

Pukul delapan malam lebih lima belas, perempuan itu melakukan siaran langsung dan ditonton ratusan pasang mata yang mendadak meningkat menjadi ribuan, dahsyat! Muka yang ciri-cirinya disebutkan itu, glowing, kadang bermain beberapa efek yang membuatnya semakin cantik, efek-efek yang membuat kulit mukanya ke-bule-bule-an. Ada malaikat kecil dengan sayap terbang di kedua pipinya, dan sebuah lingkaran di atas kepalanya, bagai bidadari yang tak sering terlihat mata, keanehan yang mempesona.

Ia menggunakan semacam kaus tipis mirip singlet putih yang bagian lubang buat lehernya sedikit kedodoran, tentu saja nampak beberapa lekukan dadanya. Dari penampakkan itulah lelaki-lelaki dari penjuru dunia melontarkan bahasa-bahasa asing yang sukar dimengertinya, tapi dalam hatinya ia tahu hasrat purba seorang lelaki, hasrat yang mudah ditundukkan olehnya.

“Aku mau.…”

“Coba begini.…”

“Nah, begitu.…”

Semakin malam semakin ramai, dan di layar gerakan-gerakannya jadi semakin aktif, ribuan jari-jari orang—secara tidak sadar atau sadar—mengirimkan beberapa emoticon dan hadiah-hadiah yang kemudiannya bisa diuangkan. Ia hanya mengikuti keinginan dan intruksi ketika apa yang dilakukannya menguntungkan. Ia tak suka banyak bicara setelah mulai bergerak. Hanya bahasa tubuhnya saja yang bicara. Setiap mau habis siaran selalu diakhiri dengan semacam ciuman pada layar dan sebuah pesan, “Besok seperti biasa…. Jangan lupa kirimannya.”

Hening.

Mulai diketahuilah bahwa ia dapat jajan barang-barang mahal, atau pergi ke spa, atau melakukan perawatan kecantikan lainnya adalah sebagian dari kegiatan siaran langsung itu.

Semua berlangsung puluhan menit sampai berjam-jam tergantung kebutuhan, tanpa bosan. Kegiatan itu seperti sebuah ritual melepaskan kesepian, melepaskan suatu keinginan mendalam untuk dikenal, untuk memiliki banyak penggemar, untuk menjadi idola dari orang-orang tak dikenal. Ia sadar bahwa dengan melakukannya pelan-pelan hidupnya akan berubah, tawaran-tawaran dari mana-mana akan datang untuknya, seperti rezeki tak terduga.

Dengan modal tubuhnya saja ia telah berhasil membeli seluruh keinginannya dalam waktu singkat. Ia mencicil tema-tema tertentu untuk digarapnya pada siaran langsung, suatu strategi yang dia pelajari secara alami guna menarik hati penontonnya, membawa mereka hanyut dalam suatu pertunjukkan yang dibayar dengan waktu yang terlupakan, suatu rasa penasaran yang seperti tidak ada habisnya.

Setiap kali perempuan itu siaran langsung, selalu saja orang-orang baru menontonnya, iklannya telah di-tag ke banyak akun, dan semakin banyak akun alter yang merujuk padanya. Ia seperti kekuasaan baru yang mencengkeram jantung orang-orang, memobilisasi ketakutan orang-orang akan kesendirian.

Pertunjukkan di layar itu semakin beragam, ia bersaing dengan perempuan-perempuan lain, ia mempelajari mereka dengan baik. Jadi, kesehariannya hanya melihat bagaimana perempuan-perempuan lain memamerkan tubuhnya sebagai modal usaha, dan meraup penggemar dan tentu saja pundi-pundi uang.

Maka, pada suatu malam, di hadapan ribuan mata di seberang sana, mata dari berbagai ras, suku, dan agama, dari bermacam usia, menontonnya. Dan, semuanya berubah di malam itu, gambar-gambar yang bergerak bagai suatu halusinasi itu menyihir ribuan penonton.

Seseorang yang telah bergabung dalam bisnisnya, yang ikut mengelola akunnya, lekas menyasar orang-orang yang tertarik dan mengajak mereka mengirimkan beberapa uang melalui rekening bank yang telah dibuat oleh tim perempuan itu. Uang masuk berdatangan, beserta juga pemberitahuan untuk suatu adegan tertentu membutuhkan nominal uang sekian dan sekian, begitulah semua dituruti oleh orang-orang itu. Ini adalah fasisme baru melalui sarana teknologi yang mencengkeram pikiran manusia.

Ia Lola, pemeran dalam siaran langsung itu, seorang perempuan yang tinggal di sebuah hotel kamar 433. Ia dijuluki camgirl, perempuan yang melakukan siaran langsung di hadapan kamera yang terhubung dengan internet ke semua gawai milik lelaki-lelaki dari seluruh penjuru dunia. Lola yang masih muda dengan tubuhnya yang begitu sempurna telah menarik banyak konsumen yang dengan tidak sadar menggerakkan tangannya memberikan apa saja padanya. Orang-orang dengan kepala yang terkuasai itulah yang membeli seluruh kemewahan tubuh yang dimiliki Lola.

Lola bahagia dengan ketenaran dan uangnya. Ia seperti tidak janggal dengan apa yang telah terjadi padanya, ia hanya merasa aman sekarang, walau ia harus membayar beberapa hal untuk keamanannya. Lelaki yang mirip pamannya ternyata adalah orang yang datang ke kamarnya untuk meminta uang keamanan, dia tak lain adalah tim sukses bisnis siaran langsung Lola. Tak diketahui siapa lelaki itu sebenarnya, apa latar belakangnya.

Namun, Lola adalah perempuan yang berhasil membuat hidupnya sukses hanya dengan menggunakan tubuhnya. Semacam kesuksesan yang mungkin saja tidak bisa dimaknainya secara mendalam.

Kini ia terkurung dalam kamar hotel itu, tanpa diketahui seorang pun dari penontonnya. Hanya paman itu saja yang selalu datang mengirimkan makanan dan keperluannya dan meminta beberapa uang. Lola selalu takut kalau situasi kembali normal. Ia takut buat keluar, takut salah satu penonton menangkapnya dan melakukan hal-hal dari fantasinya yang liar, hal-hal yang dia sendiri lakukan demi hidup sukses, hal-hal yang ditawarkannya pada hasrat, hal-hal yang dia tahu resikonya, tapi diabaikan.(*)


Penulis:

Khanafi lahir di Banyumas, Jawa Tengah, pada 4 Maret 1995. Tulisan-tulisannya berupa puisi dan cerpen tersiar di beberapa media massa baik daring maupun cetak, seperti: Detik.com, Maghrib.id, Koran Tempo, Beritabaru.co, Ceritanet.com, Kompas.id, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Radar Banyuwangi, Radar Banyumas, dll, serta terikut dalam berbagai buku antologi bersama seperti: Antologi Komunitas Dari Negeri Poci: Negeri Bahari (2018) dan Pesisiran (2019), Antologi Tembi Rumah Budaya: Kepada Hujan Di Bulan Purnama (2018) dan Hujan Pertama Di Bulan Purnama (2021), Alumni Munsi Menulis (2020), dll. Penulis berkhidmat di Forum Penulis Solitude (FPS). Sehari-harinya bekerja sebagai editor lepas dan penjual buku lawas. Buku kumpulan puisi pertamanya bertajuk Akar Hening Di Kota Kering (SIP Publishing & FPS: 2021). Sekarang bolak-balik Purwokerto-Yogyakarta sembari merampungkan novelnya dan sebuah buku kumpulan cerpen.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *