Esai
Simbol-Simbol di Antara Anonimnya Tokoh-Tokoh

Simbol-Simbol di Antara Anonimnya Tokoh-Tokoh

Perang selalu diidentikkan dengan semangat heroik, sebuah tugas suci yang membawa harum nama prajurit di medan perang dan membawa kembali nama harum sebuah bangsa yang telah berhasil memenangkan perang itu. Perang di hadapan pemerintah dan segenap institusi yang melegalkannya adalah tugas agung yang membayar nyawa-nyawa di medan perang dengan tugu kehormatan dan museum-museum peringatan. Entah pada sebuah kejadian perang yang tak pernah bisa dilupakan atau yang diingat berdasarkan jumlah kerugian dan statistik-statistik belaka. Namun, tidak banyak orang yang mendapatkan pengalaman secara langsung mendengar dari mulut seorang prajurit tentang betapa terkutuknya perang itu.

Saya pernah membaca sebuah buku berisi surat-surat prajurit Jerman pada masa Perang Dunia II berjudul Cinta di Tengah Kengerian Perang: Surat-Surat Penghabisan dari Stalingrad yang dialihbahasakan oleh Landung Simatupang. Surat-surat yang ditahan itu banyak menuturkan keputusasaan prajurit, runtuhnya kepercayaan mereka kepada Tuhan. Pertanyaan mengenai: Mengapa Tuhan membiarkan kebengisan perang terjadi? Dan pengakuan dari para prajurit itu sendiri bahwa perang adalah sesuatu yang sia-sia, tidak akan membawa manfaat apapun baik dari pihak yang menaklukkan maupun dari pihak yang ditaklukkan.

Seperti gambaran di awal mengenai perang secara panjang lebar itu tidak begitu tergambarkan dalam cerpen berjudul Sungai karya Antonis Samarakis (diterjemahkan oleh Suparno Sastrohudoyo dari versi Inggris berjudul The River). Karena memang cerpen ini hanya menyoroti gejolak seorang prajurit yang ingin melepaskan kepenatannya selama dua setengah tahun terakhir setelah perang meletus dengan cara menceburkan diri ke dalam sungai. Cerita ini pendek saja. Kalimatnya singkat-singkat, namun langsung menyasar pada maksud yang ingin disampaikan. Cerpen ini seperti sebuah film tanpa dialog. Yang terdengar hanya napas prajurit yang memburu meningkahi segala pikiran liarnya perihal sungai, burung-burung yang memintas beterbangan, dan tentu suara desir sungai itu yang seolah-olah memanggil-manggil dari kejauhan.

Sungai dalam cerpen ini menjadi sebuah godaan yang tidak tertahankan untuk prajurit itu karena ada perintah larangan dari Markas Besar untuk tidak menceburkan diri ke dalam sungai. Seorang sersan yang pernah mandi di sungai itu terkena peluru  kemudian mati. Dua orang tamtama juga mengalami hal yang sama. Tak hanya itu alasan larangan tersebut dikeluarkan. Sungai yang terlarang itu memisahkan dua kubu yang berlawanan, pihak musuh yang disebut sebagai Pihak Sana atau Orang Sana.

Namun, rupanya larangan itu tak hanya membawa dampak sebatas larangan yang harus dipatuhi. Sebab, sungai itu telah menjadi godaan besar yang menjanjikan kenikmatan sekaligus risiko yang harus ditanggung apabila benar-benar melanggar perintah itu. Larangan prajurit untuk tidak masuk ke dalam sungai seolah penanda bahwa kepenatan atas beban perang yang selama ini disandang tidak bisa begitu mudah untuk mendapatkan jalan pembebasan.

Kita bisa melihat gejolak prajurit itu yang tidak tahan ingin segera melepaskan beban kepenatan yang ditanggungnya. Kegelisahannya sekaligus mengantarnya pada sebuah mimpi tentang sebatang sungai. Dalam mimpinya, sungai itu telah berubah wujud menjadi seorang perempuan muda bertubuh singsat. Akhirnya, di pagi hari ia benar-benar memutuskan untuk menceburkan diri ke dalam sungai. Di dalam sungai, ia benar-benar menjadi seseorang yang lain sama sekali dengan dirinya yang selama ini menjadi prajurit. Kita bisa memahami mengapa dalam cerpen ini kesan sungai yang digambarkan begitu kuatnya memberikan suatu perasaan baru dalam diri prajurit itu.

Dalam psikoanalisis Sigmund Freud, air adalah lambang kelahiran. Kutipannya sebagai berikut: Kelahiran selalu mengacu pada air, bisa peristiwa kita jatuh dalam air atau keluar dari air, bisa juga menyelamatkan atau diselamatkan seseorang ketika terancam tenggelam dalam air yang berarti hubungan antara ibu dan anak. Di rahim ibu, bayi diselimuti dengan air ketuban. Dalam cerpen ini sendiri, sungai merupakan air yang mengalir. Tokohnya merasakan seolah-olah ia terlahir kembali setelah berada di dalamnya.

Hal itu pula yang membuatnya enggan menarik picunya ketika melihat seorang laki-laki telanjang yang diduga dari pihak musuh sama-sama mencebur ke dalam sungai. Perasaan akan sebuah kelahiran baru yang dilambangkan melalui air sungai itu telah melepaskan batas-batas yang selama ini memisahkan prajurit itu dengan orang lain berdasarkan status dan kepentingan. Batas-batas yang diciptakan setelah seseorang berada di dunia berupa pakaian, nama, kebangsaan, serta seragam yang menandai profesi mereka menjadi hilang sama sekali nilainya setelah ia merasakan sebagai manusia baru yang terlahir kembali. Seperti yang dikutip dari cerpen: Dia tak dapat menarik picu itu. Mereka berdua telanjang. Dua lelaki telanjang.Tanpa pakaian.Tanpa nama.Tanpa kebangsaan.Tanpa diri mereka yang berseragam. Lalu dalam pandangan si tokoh utama: Orang Sana itu kini sudah menjadi seorang lain yang biasa tanpa O besar, tak lebih dan tak kurang.

Antonis Samarakis sangat memainkan peran penting sungai yang mempengaruhi gejolak tokohnya, cara pandangnya yang berubah seketika, dan kelahiran kembali sebagai manusia baru yang seolah belum sama sekali disentuh oleh pengalaman apa pun. Terutama pengalaman tentang perang dan menjadi prajurit. Cerpen ini pendek tetapi sangat efektif menggambarkan situasi di mana manusia merasa jengah dengan satu pilihan yang menjadi tanggung jawabnya. Tanggung jawab yang memberikannya konsekuensi yang lebih berat apabila ia mencoba pilihan lain__berupa melanggar perintah mencebur ke sungai__ seolah-olah hidup hanya memberikannya jalan buntu tanpa ada kemungkinan jalan keluar.

Dalam cerpen ini juga tersirat tentang makna kebebasan yang sedikit orang berani menikmatinya dengan menanggung risiko yang akan dihadapi, yakni tertembak di sungai. Dan juga kontradiksi tentang makna kebebasan itu, setelah ia berada dalam genggaman, kebebasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kelak dapat juga menghancurkan.

Cerpen Sungai demikian jelas untuk ditafsir, latar perang yang digunakan sudah cukup membawa pembaca ke berbagai konteks perang pada masa cerpen ini ditulis. Apalagi bila kita merujuk pada biografis sang pengarang, Antonis Samarakis yang hidup pada masa kediktatoran Jenderal Yunani Ioannis Metaxas. Dan bagaimana dia menyiratkan simbol-simbol politik dan perang dalam karyanya-karyanya. Cerpen ini jadi tampak solid dan selesai karena seakan begitu terangnya untuk dilakukan pembacaan yang mengarah pada hal-hal itu. Namun, yang unik ialah, cerpen ini sendiri tidak terlalu melempar pembaca pada kesan dramatis. Kesan yang kemungkinan timbul apabila kita berbicara perihal perang. Semua begitu alami dan tampak ada jarak yang diciptakan antar tokoh dan pembacanya sebab bila diperhatikan tokoh-tokoh dalam cerpen ini anonim. Kita tidak tahu nama mereka, latar belakangnya. Kita hanya tahu bahwa si tokoh adalah prajurit, dan prajurit satunya lagi yang ikut mencebur ke dalam sungai disebut sebagai Pihak Sana atau Orang Sana.

Menurut beberapa sumber, gaya anonim tokoh ini merupakan salah satu ciri dari karya Antonis Samarakis. Saya kira soal anonimnya tokoh-tokoh dalam cerita baik dari segi nama, ciri-ciri fisik, maupun latar belakang bisa menjadi pembahasan tersendiri bagaimana kemudian efek anonim itu menimbulkan pembacaan yang seakan berjarak. Apakah demi jarak dari kesan melodrama maupun menghindari segala sesuatu yang kita sebut sentimental. Motivasi dibaliknya bisa dihubungkan ketika kita kemudian mengaitkannya dengan wacana-wacana besar yang berada dibelakangnya, seperti soal perang dalam cerita ini. Menarik pula, bila mengkaji simbol-simbol yang berada di antara tokoh-tokoh yang anonim ini. Simbolnya begitu jelas, sedangkan tokoh-tokohnya begitu samar, tak memiliki pijakan untuk diulik mengenai pemicu dari perilakunya. Contohnya, mengapa hanya si prajurit itu yang merasakan kelahiran kembali dan keengganan untuk menarik picu membunuh lawan yang tak seberapa jauh dari tempatnya? Mengapa hanya dia? Kita tahu bahwa ia tokoh utama dalam cerita ini, namun itu tak cukup menjadi alasan. Munculnya perasaan keengganan membunuh lawan dan memutusnya ikatan permusuhan secara tiba-tiba setelah mandi di sungai, tentu didasari oleh pengalaman yang berlapis-lapis yang sayangnya tak dapat diketahui karena tokohnya yang anonim, selain daripada cerpen ini sendiri yang begitu padat dan singkat.

Menyelipkan simbol-simbol dan menghadirkan tokoh-tokoh yang anonim dalam cerpen Sungai karya Antonis Samarakis ini membuat wacana besar bernama “perang” dapat leluasa tampil dengan beragam pemaknaan. Perang bisa demikian pelan menyusup untuk menghalangi keinginan-keinginan sederhana seorang manusia, menumbuhkan prasangka yang sengit dalam lingkup individu, memberi harga kepada sesuatu yang semula tak memiliki nilai, keberpihakan yang seringnya berlangsung tanpa alasan yang logis. Makna “Perang” tidak melulu terkotak dalam narasi besar yang sering kita saksikan melalui berita di televisi. Cerpen Sungai mengambil yang renik dari kerangka “Perang” yang lazim, mengupas perlahan-lahan gejolak terdalam dari jiwa manusia itu sendiri melalui lensa yang terfokuskan. []


Penulis:

Iin Farliani, penulis buku kumpulan cerita pendeknya berjudul Taman Itu Menghadap ke Laut (2019). Lahir di Mataram, Lombok, 4 Mei 1997. Alumnus Jurusan Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Mataram. Sejak tahun 2013 hingga sekarang masih terlibat aktif dalam kegiatan Komunitas Akarpohon Mataram, sebuah komunitas sastra dan penerbitan buku. Di tahun 2020, ia terpilih sebagai salah satu Emerging Writer pada Makassar International Writers Festival (MIWF) 2020. Dalam waktu dekat, akan terbit buku puisi tunggalnya yang merangkum puisi-puisi pilihan periode 2013-2020.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *