Esai
Belajar dari Upaya Menerbitkan Buku Sendiri

Belajar dari Upaya Menerbitkan Buku Sendiri

Borges datang membawa puluhan buku puisinya—menurut pengakuan Borges, kira-kira sekitar 50 hingga 100 buah—ke salah seorang kawan, lalu memintanya untuk membagikannya secara gratis kepada orang yang berkunjung di tempatnya. Di tempat itu, ada banyak pembaca yang kerap datang dan menggantung mantel di tempat yang disediakan, saat itulah Borges berharap kepada kawannya, agar buku puisinya diselipkan di mantel para pengunjung.

Tempat itu adalah kantor Nosostros, salah satu majalah sastra tertua dan bertahan cukup lama waktu itu. Singkat cerita, kawan itu bersedia dan melakukannya dengan baik. Selang satu tahun, Borges sadar jika beberapa orang telah membaca karyanya melalui cara itu kemudian beberapa diantara pembaca itu sempat menulis ulasan atas bukunya, dengan cara itulah dia mendapat reputasi kecil sebagai seorang penyair. Di awal-awal masa kepenulisannya, dia menerbitkan buku dengan usahanya sendiri.

Selain Borges, usaha serupa juga dilakukan penulis lain. Edgar Allan Poe, salah satu penulis favorit Borges pun melakukan upaya menerbitkan bukunya sendiri. Poe menerbitkan sebanyak 50 eksemplar buku puisinya yang berjudul Tamerlane and Other Poems, yang seukuran pamflet dengan tebal 40 halaman. Poe bahkan tidak mencantumkan namanya di buku itu, melainkan menyebut dirinya, “By A Bostonian.”

Meski buku-buku itu tidak mendapat perhatian pembaca yang lebih luas, namun setidaknya langkah tersebut semacam usaha dari seorang yang ingin menjadi penulis. Buku pertama atau buku-buku awal dari seorang penulis, kerap memberi kesan yang begitu kuat. Tidak banyak penulis yang seketika berhasil di buku pertamanya, meski ada beberapa yang berhasil. Tapi secara umum, buku pertama atau buku di masa awal kepenulisan bisa menjadi cobaan berat bagi seorang penulis.

Dari kegagalan buku pertama, seseorang bisa memutuskan untuk menutup diri atau menyerah dengan usahanya menjadi seorang penulis. Tapi siapa yang sebenarnya berhak menyebut buku itu gagal atau tidak? Seringkali, kegagalan itu bukan berasal dari buku itu sendiri, melainkan mental kita yang terlalu menaruh harapan tinggi pada apa yang kita upayakan. Sementara, hasil terbaik jarang menampakkan diri di percobaan pertama.

Di suatu kelas online, saya sempat mendapat pertanyaan tentang bagaimana menerbitkan buku pertama, apakah harus menerbitkan buku sendiri atau perlu mencari penerbit yang bersedia menanggung semua proses penerbitan. Saya tidak memberikan jawaban yang memuaskan waktu itu, saya hanya mengatakan tergantung dan menjelaskan beberapa poin lanjutan.

Saya hanya menegaskan bahwa setiap orang bisa menilai kesiapan dirinya masing-masing. Jika dia berani dan mampu, dia akan menerbitkan sendiri, atau jika dia berkeras, dia akan menunggu penerbit menerimanya. Sayangnya, proses inilah yang kerap membuat calon penulis, gagal menghasilkan karya. Tapi coba kita bayangkan, bagaimana perasaan Borges saat membawa puluhan bukunya kepada seorang kawan dan membagikannya secara gratis.  

Belakangan saya berpikir, menjadi penulis—dalam artian mendedikasikan diri sebagai penulis—bisa menjadi tindakan yang berbahaya. Ada banyak hal yang dipertaruhkan, rasa ketidakpastian jelas akan menghampiri. Kecuali, si penulis punya kesiapan mental untuk menghadapi kemelut yang terjadi. Kata seorang kawan, menjadi penulis seperti upaya bunuh diri yang diperlambat. Saya mendapati pesan itu sambil tersenyum dan dengan senang hati menerima maksud pernyataannya. Jika kita melihat fakta yang ada, untuk hidup dari sebuah buku tentu punya peluang. Namun, peluang itu tampak begitu kecil dan penuh pertaruhan.

Ditambah lagi dengan budaya baca yang masih rendah dan pembajakan buku yang marak terjadi. Dua hal ini sialnya juga tidak diperhatikan dengan baik oleh pemerintah kita. Apa yang sebenarnya bisa dilakukan pemerintah?

Tapi kembali lagi, jika belajar dari para penulis yang gigih dan terus menjalani hari-hari yang tidak pasti, mereka bisa menikmati proses yang ada. Selubung kapitalisme hari ini, tentu saja membuat cara pandang kita kerap melihat keberhasilan buku akan tampak dari hasil penjualan, atau seberapa terkenalnya seorang penulis. Sementara di sisi lain, sebuah buku—yang bahkan diterbitkan secara self-publishing—tetap memiliki kemungkinan memberi dampak bagi pembaca. Ada masanya kita harus bersenang-senang dengan jalan yang kita pilih, dan saat seorang penulis belum mendapat tempat, ada baiknya dia mencoba berdiri dengan yakin dan tangguh bahwa dia siap bertaruh.

Jika kita kembali membaca Lapar dari Knut Hamsun, mungkin kita bisa melihat gambaran betapa buruknya jalan menjadi penulis. Namun sekali lagi, semua itu selalu memberi kita pilihan yang membawa kita menemukan ruang-ruang baru untuk menggali apa yang ada di dalam diri kita. Di masa sekarang, cukup banyak penerbit self-publishing yang hadir membuka ruang pada penulis pemula, bahkan sudah cukup banyak platform online yang menyediakan tempat untuk menulis, tapi semua akan kembali bagaimana si penulis meyakini pilihannya.

Apakah akan mencoba untuk melanjutkan langkah atau sekadar mencoba lalu membanggakan diri dengan hasil seadanya? Namun, menjadi penulis pemula akan selalu memberikan kita ruang untuk mencoba berbagai pilihan tersebut. Cepat atau lambat, menjadi penulis memang akan menjadi upaya bunuh diri bagi beberapa orang, tapi untuk beberapa orang lainnya, menjadi penulis tampak seperti upaya untuk menghidupi hidup yang dijalaninya. []


Penulis:

Wawan Kurniawan, menulis puisi, cerpen, esai dan menerjemahkan beberapa karya. Beberapa karyanya, Kumpulan Puisi: Persinggahan Perangai Sepi (2013), Sajak Penghuni Surga (2017), Museum Kehilangan (2021). Kumpulan Cerita Pendek pertamanya terbit Maret 2021 dengan judul “Aku Mengeong” oleh Penerbit Indonesia Tera.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *