Cerpen
Hantu Sunar Gembluk

Hantu Sunar Gembluk

Guru ilmu kanuragan saya pernah berkata begini: “Kalau kau berani membunuh orang, sekalian jangan pernah lupa meminum darahnya. Jika tidak, orang yang kau bunuh akan menjelma menjadi hantu yang mengejarmu seumur hidup.”

Saya percaya kata-kata itu benar adanya. Jadi, ketika menggorok leher orang-orang itu, saya tak lupa turut meminum darahnya. Kadang saya mengenyot lubang kerongkongan yang sudah putus untuk minum beberapa teguk. Tapi, seringnya saya hanya menjilat darah yang menempel di bilah parang. Atau, jika tidak, saya mengusap darah yang muncrat ke pipi saya dengan telapak tangan, lalu menjilatnya sebagai syarat. Dengan demikian arwah para korban saya, jikapun mereka harus penasaran, tidak mengejar saya.

Bukannya saya takut hantu, tapi saya risih kalau harus didatangi dan diganggu. Hantu tidak pernah memberi aba-aba sewaktu datang. Awalnya tidak disangka ada, tahu-tahu muncul dengan penampakan menjijikkan; biasanya dengan anggota tubuh yang tidak lengkap. Wajah gosong dengan biji mata tercongkel keluar, atau kepala terpotong setengah sampai otak di dalamnya yang dirubung belatung, dan sebagainya. Kadang mereka datang membawa bau busuk yang mengaduk perut. Ini adalah jenis hantu paling menjengkelkan karena bisa ia membuat saya muntah-muntah tanpa harus menampakkan diri. Begitulah hantu. Kalau Anda pernah bertemu hantu secara langsung, Anda pasti tahu apa yang saya maksud.

Hantu juga biasanya mengulang kata-kata terakhir dalam hidupnya. Saya tidak tahu kenapa. Barangkali setelah kita mati, roh yang bersemayam dalam tubuh kita tidak mau terbebani ingatan-ingatan yang terbentuk selama hidup. Ia hanya akan membawa sedikit saja, yaitu yang terakhir kali terbentuk. Barangkali… entahlah…. itu hanya dugaan belaka, yang tentunya tidak didukung bukti apa pun.

Saya ingat betul bagaimana Sunar Gembluk mati. Waktu itu petang sudah mulai merayap dari timur. Tepian Kali Keyang disergap gelap. Airnya yang tercemar, merah pekat, kehitaman karena bayang-bayang dunia, mengalir perlahan. Sunar sudah diikat dan kepalanya ditutupi kain hitam (saya mengenalinya karena dia adalah tetangga saya sendiri).

“Ini?” tanya saya.

“Ya. Tinggal satu lagi dan hari ini kita selesai,” jawab laki-laki berseragam hijau. Tangannya menyengkeram lengan Sunar Gembluk dan menyeret laki-laki berperut buncit itu ke hadapan saya.

“Apa salah saya? Saya tidak pernah melakukan apa-apa yang menyalahi negara. Saya hanya blantik[1] rumah. Seumur-umur saya tidak pernah berkata dusta. Apa salah saya sampai saya harus dihukum tanpa pengadilan seperti ini?” suaranya dari balik kain terdengar mengiba.

Betapa pun dia memohon belas kasih, orang-orang hanya tahu dia dan kelompoknya, yang gemar menggaungkan semboyan “sama rata sama rasa” itu, bersalah. Saya sendiri tidak peduli dia sebenarnya bersalah atau tidak. Saya hanya tahu, kalau saya harus melaksanakan tugas, yaitu memotong urat lehernya.

Betapa pun sering Sunar Gembluk bertingkah, adidang-adigung-adiguna di depan saya, saya tidak mempunyai masalah dengannya. Orang yang menyombongkan miliknya, apalagi hanya sekadar gagasan atau keyakinan, tidak pernah menjadikan saya sebegitu benci sampai harus mengotori kedua tangan ini dengan darahnya. Tapi, kalau sudah menyangkut tugas, itu soal lain. Saya diperintahkan untuk menjadi algojo, dan sudah saya sanggupi. Saya harus menjadi makhluk berdarah dingin yang menebas leher orang-orang dalam daftar, tidak peduli orang itu tetangganya saya sendiri.

Karena sudah terlalu banyak menggorok leher hari itu, saya menjadi bosan. Saya jenuh dengan cara membunuh yang begitu-begitu saja. Untuk korban terakhir ini, saya ingin mencoba teknik baru. Saya disuruh membunuhi orang-orang yang sudah ditentukan, tapi cara saya membunuh tidak dibatasi, asalkan sekali ditangkap mereka mati hari itu juga. Jadi saya berimprovisasi.

Saya membuka penutup kepala Sunar Gembluk supaya dia bisa melihat saya dengan jelas. Dia tampak terkejut melihat saya. Dia pasti tak habis pikir kalau algojo yang sudah disiapkan orang-orang berseragam hijau itu adalah tetangganya sendiri.

“Kamu?!” pekiknya tak percaya.

Saya segera menyumpal mulutnya dengan kain sebelum dia berucap lebih banyak lagi. Saya berjongkok supaya tinggi saya kurang lebih sama dengan tingginya. Lehernya saya cekik, lalu pelan-pelan saya menusukkan parang ke dadanya.

Sunar Gembluk mengejang, meronta-ronta, tapi sia-sia. Memekik-mekik, tapi suaranya tak pernah menembus kain perca yang saya sumpalkan ke mulutnya. Saya menikmati wajah kesakitannya. Parang itu sengaja saya dorong dengan amat-sangat pelan, dan ketika ujungnya sudah berada di sela-sela tulang iga, saya berhenti untuk menyulut rokok. Selagi tangan saya meraba-raba saku celana, saya teringat kalau korek yang biasanya tidak pernah lupa saya bawa, ternyata tertinggal di rumah. Saya pun berkeliling terlebih dahulu, menanyai apakah orang-orang yang berada di tepian Kali Keyang itu punya korek.

Setelah dapat dan rokok saya menyala, saya baru kembali ke Sunar Gembluk untuk melanjutkan urusan. Saya mendorong parang saya lebih jauh sehingga ujungnya menancap lebih dalam lagi ke dadanya. Kini saya yakin jantungnya sudah robek oleh parang saya. Sunar Gembluk semakin tegang, lalu pelan-pelan menjadi lemas. Matanya memejam setengah dan terhenti di sana. Tatapannya menjadi kosong. Sunar Gembluk roboh dengan sendirinya.

Tiba-tiba seseorang datang dengan tergopoh-gopoh dan memberitahukan bahwa istri saya mengeluhkan perutnya sakit. Sebentar lagi dia pasti akan melahirkan. Saya buru-buru mengelap parang dan meninggalkan Sunar Gembluk yang sudah tidak bernyawa. Jasadnya menjadi urusan para pasukan berseragam hijau. Sementara saya harus buru-buru hengkang dari tepi Kali Keyang. Saya, tentu saja, hendak menyambut si jabang bayi lahir ke dunia dengan penuh sukacita.

***

Karena terlalu terburu-buru hendak menengok istri saya, syarat meminum darah itu luput dari ingatan saya. Sekarang begundal sialan Sunar Gembluk menjadi hantu yang setiap malam mengejar saya. Ya, hanya saya. Tak pernah sekali pun saya mendengar orang-orang yang menyuruh saya menjadi algojo, pasukan berseragam hijau itu, dihantuinya. Sungguh bajingan tengik Sunar Gembluk ini. Benar-benar sialan! Dia tidak berpikir, saya ada atau tidak, dia akan tetap mati. Jika bukan saya yang menjadi algojo untuknya, orang lain yang akan melakukan itu. Pada akhirnya sama saja karena perintah berasal dari pemimpin pasukan berseragam hijau.

Jancuk memang! Setiap kali saya keluar malam, suaranya yang bernada mengiba itu selalu menguntit: “Apa salah saya? Apa salah saya? Saya tidak pernah melakukan apa pun yang menyalahi negara…” Terkadang kepalanya tiba-tiba terbang melintas di hadapan saya. Kadang juga hanya kaki sepinggang, tanpa anggota tubuh lain, berjalan mengikuti saya dari belakang.

Saya tidak takut. Seseram apa pun penampakan yang dia tampilkan, nyali saya masih tidak pernah ciut. Bahkan sekarang, saya mulai terbiasa dengan bau busuk hantu. Begitu bau itu semerbak, saya sudah tidak mual-mual lagi. Sudah tambar[2]. Saya tidak tahu cara mengusir hantu menggunakan doa dan mantra, tapi itu semua tidak saya perlukan karena saya tahu hantu tidak pernah bisa menyakiti orang hidup secara langsung. Jadi saya cukup mengabaikannya. Betul, mengabaikan adalah cara paling jitu untuk mengusir hantu kalau mulut kita tidak terbiasa berkomat-kamit merapal mantra.

Agaknya cara itu berhasil. Selepas malam keempat puluh kematiannya, suara-suara dengan nada memelas Sunar Gembluk semakin jarang terdengar. Anggota-anggota tubuh yang tidak lengkap juga semakin jarang muncul di sekitar saya saat malam. Selang setahun, arwah penasaran Sunar Gembluk sudah nyaris tidak ada lagi. Awalnya saya mengira kalau saya sudah bebas, hantu itu bosan dengan sendirinya mengganggu saya yang tidak terpengaruh.

Namun, kemudian saya sadar, saya salah besar.

Suatu malam, saya pulang meronda dalam keadaan lapar, tapi tidak mendapati satu makanan pun di dapur. Tentu saja saya naik pitam. Saya mendatangi kamar istri saya dan langsung melayangkan tamparan keras ke pipinya. Istri yang tidak bisa mengurus suami dengan benar memang seharusnya ditampar saja. Dia tergagap, bangun dari tidur nyenyaknya dengan terpaksa.

“Apa salah saya? Apa salah saya?” tanyanya dengan suara mengiba. Isak tangisnya pun mulai terdengar.

“Bajingan tengik!” Saya mengumpat. Sunar Gembluk menemukan cara lain untuk menghantui saya. Dia mulai berani merasuki istri saya dan mengucapkan kata-kata khasnya melalui lidah perempuan itu. Benar-benar sialan!

Konon, agar orang yang kerasukan bisa sembuh, buku-buku di jempol kakinya harus ditekan kuat-kuat. Saya langsung mengambil langkah itu. Istri saya tampak mengerang kesakitan. Saya pun berkesimpulan Sunar Gembluk juga pasti sedang kesakitan di dalam.

“Bagus. Rasakan itu, Mbluk!”

Lalu, istri saya merintih lagi, “Apa salah saya? Apa salah saya?”

Dengan rintihan itu saya tahu, hantu Sunar Gembluk masih bersemayam dalam tubuhnya. Saya menjepit dan menarik jempol kaki istri saya. Dia terus merintih dengan kata-kata yang sama. Sebenarnya kedua tangan istri saya bebas, tapi entah kenapa hantu Sunar Gembluk tidak menggunakannya untuk memberikan perlawanan balik. Istri saya hanya pasrah.

Anak sulung saya yang masih berusia beberapa bulan itu semula tidur, tapi sekarang terbangun dan menangis. Menangisnya jabang bayi secara tiba-tiba adalah karena makhluk-makhluk halus yang lewat. Itu satu bukti lagi, arwah Sunar Gembluk masih ada di sekitar sini. Saya tidak bisa bersabar lebih jauh. Saya mendesak maju. Menindih istri saya dan mulai mencekiknya kuat-kuat. Barangkali dengan begitu hantu sialan itu akan keluar. Istri saya meronta, kedua tangannya menyengkeram pergelangan tangan saya. Dia batuk-batuk, mulai kehabisan napas.

“Sebentar lagi…. Sebentar lagi, Nyai. Akan kuusir hantu Sunar Gembluk dari tubuhmu.”

Cengkeraman istri saya untuk sesaat menguat, menarik tangan saya agar lepas dari lehernya. Saya tahu, perlawanan itu dilakukan oleh arwah yang bersemayam dalam tubuhnya. Tapi, otot-otot saya masih lebih kuat. Saya tidak akan kalah. Tangan-tangan saya kian menguat, urat-uratnya yang besar semakin terlihat. Dengan kedua tangan ini saya membunuhnya semasa masih manusia, dengan tangan yang sama saya juga pasti bisa mengusir arwahnya. Sementara itu cengkeraman istri saya melemas. Biji matanya mendelik ke atas. Lidahnya menjulur keluar. Batuk-batuknya semakin jarang, lalu setelah beberapa saat tidak terdengar lagi.

Saya berhasil mengusir hantu Sunar Gembluk pergi dari tubuhnya.(*)

[1] Makelar.
[2] Kebal.


Penulis:

Hari t. S adalah nama lengkap dari Hari Taqwan Santoso. Lahir di Ponorogo, 29 November 1992. Sekarang beromisili di Sapen GK I No. 556, Gondokusuman, Yogyakarta. Pendidikan Terakhir Prodi Fisika UIN Sunan Kalijaga. Hobi membaca, menulis, dan belajar bahasa asing.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *