Resensi Buku
Mengamati Hidup Lewat Kisah

Mengamati Hidup Lewat Kisah

Judul Buku   : Melepaskan Belenggu (kumpulan cerita pendek)
Penulis         : Rumadi
Penerbit  : Jagat Litera, Malang, Jawa Timur
Tahun        : Pertama, November 2021
Tebal            : xx + 182 halaman

Apa yang diharapkan Ketika membaca sebuah cerita? Kisah seorang tokoh dengan segala hal yang melingkupinya semacam ketegaran, kebebalan atau kepasrahan atau alur cerita yang melingkar dengan meninggalkan sejumlah enigma tentangnya. Dan sebagaimana yang pernah diungkapkan Hasif Amini, sebuah kisah yang baik akan meninggalkan ingatan yang tak sudah akannya, yang tak pernah mati. Dengan pelbagai rangkaian sebab-akibat yang disusun dalam jalinan kisah lanjut Hasif, akan memberikan kita semacam tokoh-tokoh yang tak terlupakan.

Maka tak mengherankan pula tokoh semacam Sukab yang ditulis Seno Gumira Ajidarma dapat bertransformasi ke berbagai ragam: pekerjaan atau sifat. Dan di dalam sebuah cerita pendek (cerpen), dengan rangkaian kalimat yang memang padat, tokoh-tokoh yang lahir memang berupaya untuk mempertajam tema besar yang diambil—dengan harapan untuk tidak lekas dilupakan. Sebagaimana pengertian tentang cerpen itu sendiri menurut Kosasih yang merupakan karangan pendek berbentuk prosa. Di dalam cerpen itu sendiri menceritakan sebuah kisah, kehidupan tokoh yang penuh pertikaian, memuat peristiwa yang mengharukan ataupun menyenangkan. Termuat pula kesan agar tidak mudah dilupakan. 

Dalam cerita seorang pembaca, dengan pengetahuan yang melingkupi dirinya, sebenarnya turut sadar pula membentuk makna yang baru. Meskipun “pengarang” membebaskan dirinya dari karya, namun ia tetap menunggu pemaknaan final terhadap karyanya. Kejernihan karya yang didapatkan pembaca lebih merupakan ruang yang berbeda, dengan catatan karya tersebut tidak berisikan teks yang interogatif. Sebab teks yang interogatif membuat pembaca gelisah, teks serupa ini tidak memberikan informasi, melainkan mengundang reaksi pembaca untuk memberi jawaban pada pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam teks.

Demikianlah. Pada buku kumpulan cerita pendek yang ditulis Rumadi acapkali kita berhadapan tema-tema besar semacam cinta dan kematian yang mungkin sama, namun ia mampu membungkusnya dengan alur yang berbeda. Sehingga kita diajak untuk mengikuti alur yang ditulisnya. Ia tak langsung menghujam pada inti cerita.

Buku ini terhimpun dari 18 cerita pendek. Sebagaimana yang pernah diungkapkannya jika kebanyakan cerita yang diangkat bermula dari kehidupan di sekitarnya, terlebih dari ingatan akan masa kecilnya. Pun sebagian besar karakter tokoh yang tercipta diambil dari orang-orang tua di kampungnya. Setidaknya pula mengingatkan saya pada Ernest Hemingway, jika seorang penulis harus benar-benar detail ketika menulis kisah, jika ingin menulis tentang tinju maka Hemingway biasanya akan menonton pertandingan tinju.

Dalam cerita pembuka buku ini “Cinta Tak Harus Memiliki Bukan?” Rumadi mengisahkan tentang cinta yang tidak biasa antara pelacur dengan lelakinya. Sosok lelaki yang mengajak sang pelacur untuk meninggalkan pekerjaannya, namun justru terkunci dalam satu onak yang baru. Bahwa si perempuan ternyata tetap bertahan. cerita dengan sudut pandang flashback ini menyiratkan jika ternyata cinta merupakan hal yang ganjil. Tidak mudah diduga.

Rumadi menutup cerita ini dengan kegamangan dari perempuan: Aku tak cinta padamu. Tak masalah, jawabnya. Cinta tak harus memiliki bukan? Aku mencorong tubuhnya. Mungkin perempuan lain akan segera mengambil kunci itu. Namun, aku memilih mendorong tubuhnya agar ia seidkit menjauh. Aku merebahkan diri. Memunggunginya dan mencoba memejamkan mata. Ia memesanku selama dua jam. Waktu baru berlalu satu jam. Satu jam lagi, aku harus Bersama lelaki ini, lelaki yang katanya mencintaiku. Aku tak peduli pada cintanya, juga tak peduli pada kunci rumah yang dibawa lelaki ini. (hal. 10).

Kesederhanaan kehidupan juga tampil dalam cerita “Berbagi Kopi dengan Bapak”, kebiasaan Bapak yang digambarkan dengan kebiasaannya untuk duduk di depan rumah ditemani secangkir kopi. Kemudian cerita mengular dengan sejumput kebiasaan lain, berkisah tentang pohon mangga di depan rumah sebagai pohon dicintai oleh Bapak karena dipenuhi kenangan akan Ibunya. Kisah ini bergulir dengan sosok aku yang ternyata tak bisa menyeduh kopi dengan baik:

“Aku tahu kau selalu memperhatikan Bapak. Bapak tahu kau merasa menjadi anak yang tidak berbakti karena gagal menyeduhkan kopi yang disukai Bapak. Tak usah risau akan hal itu, Nak. Beginilah cara ibumu menyeduh kopi. Tiga sendok kopi bubuk, satu sendok gula, dan dua puluh satu putaran yang berlawanan dengan arah jarum jam. Ada doa dalam setiap tumpahan sendok ke cangkir. Ada selawat yang ia lantunkan dalam setiap bulir-bulir gula yang dimasukkan. Dan dua puluh satu, angka ganjil yang disukai Tuhan dan malaikat. Kelipatan tujuh. Mengertilah, dan tak usah menyesal. Hanya dengan cara ini, Bapak melihat ibumu secara nyata di dalam pikiran. Melihatnya dengan senyum paling manis, senyum paling indah yang ada di dunia ini.” (hal. 114).

Kematian yang Bercerita
Nuansa muram dan kematian banyak hadir dalam kumpulan ini. Setidaknya ada lima cerita yang berjudul tentang kematian: Lima Puluh Kematian, Menjalani Kematian demi Kematian, Penulis yang Bersedih Atas Kematian Tokoh yang Ditulisnya, Setelah Kau Mati, dan Obsesi Kematian.

Kematian, sebagaimana endorsement dari Yuditeha, sebagai ajang mawas diri sehingga dapat menuntun kita pada wilayah keprihatinan hidup agar menyadari sesuatu. Dengan kata lain, kematian merupakan pengingat yang paling lengkap, sebagai ajang refleksi. Dan tema-tema semacam ini muncul juga dalam cerita-cerita Rumadi. Ia tak secara final memberikan petuah semacam khutbah, namun semacam berbisik dalam napas kalimat-kalimatnya untuk menyentak sisi purba dari pribadi kita. Sebagai pengingat jika suatu saat kita akan bermuara pada aliran yang sama: kematian.

Dalam cerita “Setelah Kau Mati”, Rumadi berkisah tentang sosok “aku” yang ternyata memanggul jenazahnya sendiri hingga pada akhirnya pulang ke rumah menemui istrinya dan berharap agar jenazahnya dapat diurus dengan baik. Bagaimana ia membukanya dengan kalimat yang penuh dengan misteri:

Mereka tak percaya kau memanggul jenazahmu sendiri setelah kematianmu. Hari belumlah terang, beberapa orang yang hendak berangkat ke sawah atau pasar selepas subuh, tercengang melihatmu di tengah jalan, memanggul jenazahmu sendiri. Beberapa dari mereka terpaku di tempat dengan kaki gemetaran. Sebagian lagi, yang tetap memiliki kesadaran utuh, berteriak histeris, tentu karena melihatmu, setelahnya ia lari lintang pukang, meninggalkan dagangan atau peralatan sawah begitu saja di tengah jalan. Kau meletakkan jenazahmu, memberi isyarat bahwa semuanya baik-baik saja, tetapi mereka dilanda ketakutan yang teramat sangat, mereka menutup mata, dan dengan kaki gemetar enggan untuk melihatmu, apalagi mengajak bicara. (hal. 115)

Pun dalam cerita kematian lainnya “Penulis yang Bersedih Atas Kematian Tokoh yang Ditulisnya”, kita dipampangkan tentang kematian tokoh dalam cerita dan anehnya tokoh tersebut malah protes di akhir cerita. Rumadi menutup kisahnya: “Kau telah membunuhku dalam ceritamu. Sekarang katakan bagaimana kau ingin mati? Jika kau yang mati, aku yang akan merevisi ceritamu,” ancam perempuan itu dengan langkah yang semakin dekat.

Si penulis hanya bisa mematung seluruh tubuhnya gemetar, melihat tokoh yang ditulisnya muncul di hadapan.  (Hal. 107)

Akhirnya saat membaca cerita-cerita Rumadi, kita dihadapkan pada sejumlah realitas yang kasat mata. Dengan piawai, di matanya sebagai pengamat pada kehidupan sekelilingnya ia menjalin tali-temali dengan sigap setiap fragmen kisahnya. Ia, barangkali berupaya menempatkan dirinya sendiri pada tokoh-tokoh yang diciptakannya, sehingga tak berupaya memberikan khutbah. Mengalir begitu saja, sehingga kisahnya berjalan dengan runut meskipun sesekali turut memberikan hentakan di dalam cerita, bahkan sampai di gigir cerita. Sehingga kita termangu dan menduga-duga dalam pikiran yang baru pula: apakah ada kisah serupa itu dalam kehidupan nyata? []


Penulis:

Alexander Robert Nainggolan (Alex R. Nainggolan) lahir di Jakarta, 16 Januari 1982. Bekerja sebagai staf Unit Pengelola Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (UPPMPTSP) Kota Adm. Jakarta Barat. Menyelesaikan studi di FE Unila jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku terpublikasi di media cetak dan online.

Pernah dipercaya sebagai Pemimpin Redaksi di LPM PILAR FE Unila. Bukunya yang telah terbit Rumah Malam di Mata Ibu (kumpulan cerpen, Penerbit Pensil 324 Jakarta, 2012), Sajak yang Tak Selesai (kumpulan puisi, Nulis Buku, 2012), Kitab Kemungkinan (kumpulan cerpen, Nulis Buku, 2012), Silsilah Kata (kumpulan puisi, Penerbit basabasi, 2016).

Beberapa kali memenangkan lomba penulisan artikel, sajak, cerpen, karya ilmiah di antaranya: Juara II Krakatau Award Lomba Penulisan Puisi tingkat Nasional yang ditaja Dinas Pariwisata Provinsi Lampung (2017), Puisi Umum Terbaik tingkat nasional yang ditaja Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Prov. DKI Jakarta bekerja sama dengan Yayasan Hari Puisi (2019), Juara II Lomba Cipta Puisi HB Jassin yang ditaja Bengkel Deklamasi Puisi dan Dispursip Prov. DKI Jakarta (2019). Facebook: [email protected] Alex R. Nainggolan. Email: [email protected]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *