Puisi
Puisi Jamaludin GmSas

Puisi Jamaludin GmSas

Pada Bulan Kesembilan Itu

Pada bulan kesembilan itu, aku kembali
masuk dan merasakan sunyi rahim ibu.
Serupa menonton tayangan ulang,
peristiwa 9 bulan bersama doa bapak-ibu
dulu kini terlihat lagi di gelap mata sunyi.
Tak ada yang tahu, bahwa kegelapan masih ada
dan cahaya tetap menjadi milik rahasia

—“Siapa yang dulu meniup keningku
sehingga nadiku mendenyutkan alastu?”

Pada bulan kesembilan itu, aku kembali
masuk dan merasakan sunyi rahim ibu.
Tuhan menaruhku di tempat yang sepi
: jeda antara imsak dan bedug magrib sore hari.
Rasa lapar juga dahaga mirip sekali
dengan reaksi kakiku kala
menendang-nendang perut ibu dulu.
Mulut magrib serupa mulut ibu
yang sering mengidam sesuatu sewaktu-waktu.
Aku pun merasakan peristiwa itu lagi,
dan disusul dengan pertanyaan yang sangat kukenali

—“Siapa meniup keningku yang kedua kali
sehingga jantungku berdenyut lagi?”

Pada bulan kesembilan itu, aku kembali
masuk dan merasakan sunyi rahim ibu.
Kapan kiranya bulan sudah genap,
semuanya akan dilahirkan kembali
dan menangis seperti bayi. 

Al Ikhsan, Mei 2021


Ziarah Makam Guru

Semerbak wangi mawar
menguar di ruangan.
“Ada yang menatapku,”
gumamku selalu
ketika berada di depan makam
dan mengeluh akan segala hal.
Tubuh terasa kosong,
pikiran kacau,
hati yang kemarau.

Nama-nama yang kuingat
mencipta doa-doa
yang begitu lekat.
Kenangan-kenangan terpaut,
tujuh ayat berdenyut.
“Jangan biarkan hati tertutup
kala mata sedang terbuka
dan dijatuhi apa saja,”
suara dari setiap sudut.

Yasin, qulhu, falaq, annas
mencipta nafas yang lepas;
alif-lam-mim, istighfar, tahlil
bergema dengan irama subtil.
“Selawat adalah kepak sayap
atau kaki kuda yang berderap
menuju keganjilan supaya genap.”

Ada yang tiba-tiba datang
menerjemahkan lengang.
Ada yang tiba-tiba jatuh,
sepi melenguh.
“Kiaiku, luruskan mataku
dengan aminmu.”

Al Ikhsan, April 2022


Kesaksian Perut

Ada yang berbunyi
serupa tangis bayi
yang lama-lama sunyi.
“Tuhan menarikku
dalam keadaan pucat,”
keluhmu. Kau sekali
lagi menangis.
Mengais-ngais iba
sambil mengemis rasa.
Di hadapan warung tegal,
kau tersisihkan
: merasa paling lapar
dan ingin diperhatikan.

Al Ikhsan, April 2022

Mosquefobia

/1/
Gema nada-nada sumbang
berbunyi di sebuah ruang
dan membekas di kedalaman.

“Tidak ke masjid lagi, Nduk?”
“Takut, Bu. Mata-mata itu
menatapku beda.”

Kaki yang sudah semestinya
dilatih sejak dini,
kini diam tak berani.

Anak-anak terpejam ketakutan
melihat mata-mata tajam
(seakan) manifestasi dari Tuhan.

Padahal, Tuhan lebih suka
sesuatu yang bersih-tak berdosa
daripada yang punya segudang pahala.

/2/
“Tidak ke masjid lagi, Nduk?”
“Takut, Bu. Mulut-mulut itu
membentakku tega.”

Anak-anak itu lari ketakutan.
Mereka mencari tempat aman
untuk bermain dengan nyaman.

Padahal, najis-najis bisa disucikan,
tapi ketakutan-ketakutan
sulit untuk dihilangkan.

/3/
Pada akhirnya, orang tua-orang tua akan
bingung bila anaknya tidak kelihatan,
karena tak mungkin ada di rumah Tuhan.

Al Ikhsan, April 2022


Tarawih

Pada jalanan menuju rumah Tuhan,
kita mendengar suara tak asing.
Serupa letupan petasan, atau obrolan
ibu-ibu tentang makanan,
atau gelak tawa anak-anak,
atau angin yang meniup
sarung bapak-bapak kala jalan,
atau itu bukan suara,
melainkan denyut rindu
yang tak pernah selesai
berdetak dari awal pertemuan
hingga akhir sebuah tanggal.
“Lihat barisan-barisan itu!
semakin berkurang,
semakin hilang.”

Al Ikhsan, April 2022

Sahur

Keluruk ayam mulai terdengar di telinga.
Fajar sebentar lagi menyeruak lewat
sela-sela kata dan suara.

Ibu menarikku dari dalam kemul
dan mencoba mengingatkanku untuk sahur.
Namun, kenangan masih berputar-putar di kamar
sedangkan aku malas sekali makan-minum sahur
dan dilanjut menahan hawa rindu seharian full.

“Tapi puasa sudah menjadi ketetapan.
Sahur hanyalah ancang-ancang, supaya
puasaku lancar sampai magrib berkumandang.”

Sekali lagi Ibu masuk dan menarik tubuhku.
Tubuh kenangan ikut terbawa,
sedangkan tubuh ibu malah jatuh dan terluka
melihat luka-luka masa laluku secara nyata.

“Semangkuk doa dan segelas air mata
sepertinya cukup untuk bekalmu berpuasa,”
kata Ibu kepadaku setelah imsak
berkumandang dan perpisahan
memang tak bisa kita abaikan.

Al Ikhsan, April 2021

Antara Cemas dan Ingin Pulang

: Ibu

Bila hujan sudah tidak
diketahui basahnya lagi,
aku akan pulang,
melaksanakan ibadah kembali
yang sempat hilang.
Aku tak mau terlihat basah
di perjalanan menuju rumah
yang penuh gelisah.

Al Ikhsan, Maret 2022

Libur Lebaran

Tak ada yang pernah menduga
bahwa hari-hari lalu dunia
pernah dikepung oleh berbagai curiga
dan rasa waswas yang tidak terduga.

Namun, hari ini, ketakutan sedikit reda.
Mulut mulai berani menyapa.
Angka-angka yang rimbun
lama-lama habis terbantun.

Dulu, ibu pernah seperti pintu kamar
: kabar-kabar hitam selalu terpental
dan tak sempat masuk ke dalam.
Jiwa kanak-kanak berhasil terselamatkan.

Sekali lagi, cemas kembali terkurung
bersama tanggal menuju kampung
: “Ya, sebentar lagi masa kecilku
pulang mengetuk tangan ibu.”

Al Ikhsan, April 2022


Penulis:

Jamaludin GmSas adalah nama pena dari Jamaludin. Lahir di Pemalang, 20 Juli. Ia adalah santri di Pondok Pesantren Al-Ikhsan Beji, Banyumas. Laki-laki pecinta kopi ini puisi-puisinya pernah disiarkan di pelbagai media. Facebook: Jamaludin GmSas. Instagram: @jamaludin-gmsas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *