Esai
Kafkaesque dalam Prosa Hiroko Oyamada

Kafkaesque dalam Prosa Hiroko Oyamada

Kafkaesque dikenal publik sastra setelah penulis Jerman, Franz Kafka, merilis novela fenomenalnya itu, The Metamorphosis (1915) disusul karya lainnya seperti The Trial (1925). Istihal ini dipahami sebagai jiwa kritis Kafka yang ditiupkan dalam karya-karya, yang digambarkan dengan situasi buntu, menjebak, dan menekan tokoh-tokoh ceritanya. Lebih dari itu, Kafkaesque juga merujuk keadaan yang kompleks dan kerap terlihat absurd, tetapi bertolak pada sesuatu yang nyata. Seperti dalam The Metamorphosis, situasi absurd itu ditandai dengan perubahan tubuh Gregor Samsa yang menjadi kecoa raksasa, tetapi ia tetap diharuskan bertahan dan menjalani pekerjaannya sebagai seorang sales, sebab ada tekanan dari luar dan perasaan bahwa itu beban pekerjaan yang menjadi kewajibannya.

Adapun dalam The Trial, situasi menjebak itu digambarkan manakala seorang karakter bernama Joseph K, tahu-tahu ditangkap tanpa diberitahu ia melakukan kesalahan apa pun. Dan alih-alih mendapat keterangan terkait kesalahannya, ia justru dibuat memasuki labirin birokrasi tak berujung, yang serba lamban dan berbelit-belit, yang membuatnya tidak bisa keluar dan merasa terjebak di dalamnya. Dari gambaran dua cerita itu, maka seperti yang juga dijelaskan oleh penulis biografi Franz Kafka, Frederick Karl, saat diwawancarai oleh The New Yorker tahun 1991, Kafkaesque dipandang sebagai usaha manusia dalam melawan tekanan, kontrol, dan jebakan yang menyergap kemanusiaan seseorang, kendati usaha itu lebih kerap menjadi tindakan sia-sia, seperti nasib Gregor Samsa yang pada akhirnya mati mengenaskan dengan tubuh kecoa raksasanya, atau Joseph K yang tak kunjung menemukan kejelasan soal nasibnya di pengadilan.

Sejak itu, Kafkaesque seolah menjadi aliran yang menapasi beberapa karya sastra lain di penjuru dunia. Corak itu pun bisa kita lacak dari sejumlah karya dan penulis dalam lingkup kesusastraan Jepang. Selain di beberapa cerita penulis kanon seperti Haruki Murakami, yang misalnya, bisa kita lihat di cerpennya Super-Frog Saves Tokyo (1999), yang mengisahkan situasi ganjil seorang pria bertemu katak raksasa di apartemennya, jejak Kafkaesque bisa kita telusuri dalam prosa-prosa penulis lain, seperti misalnya Hiroko Oyamada.

Kendati nama itu belum sefamiliar penulis perempuan Jepang lain seperti Sayaka Murata atau Banana Yoshimoto, tetapi ada sesuatu hal yang membedakan bila kita menelisik tentang prosa-prosa Oyamada. Dalam dua masterpiece-nya sudah rilis edisi terjemahan bahasa Inggris-nya, yaitu The Factory (New Directions, 2019) dan The Hole (New Directions, 2020), jejak Kafkaesque itu menjadi napas dari semesta kisah yang ia bangun. Ada dua hal yang melandasi kecenderungan prosa Oyamada hingga membuatnya mendapat label Kafkaesque. Pertama, kedua novel itu ditulis dengan tata letak yang tumpang tindih antara narasi dan dialognya. Paragraf yang ditulis Oyamada adalah sesuatu yang berbaur, yakni penggabungan antara narasi cerita dengan dialog para tokoh. Selain itu, kadangkala, antar paragraf dengan paragraf lainnya, tidak ada hubungan yang melandasi keterkaitan di antara mereka. Hal itu yang membuat pembaca bisa mendapati ketidakhubungan di antara fragmen, sebab bisa saja ada perbedaan waktu atau adegan, yang membuatnya tampak tidak memiliki koherensi.

Bagi sebagian pembaca, hal itu mungkin dipandang sebagai pelanggaran berkisah yang fatal. Namun, kalau mau mencermatinya lebih jauh, strategi yang dipakai Oyamada sebetulnya memiliki maksud lain. Pengacakan adegan dan tumpang-tindihnya narasi dan dialog itu dimaksudkan sebagai penunjang kesan keterjebakan yang dialami tokoh-tokohnya dalam cerita yang ia tulis. Demi menguatkan kesan situasi yang buntu dan menjebak, strategi tadi dipakai supaya pembaca turut merasakan apa yang dialami oleh para tokoh ceritanya. Di sinilah, ciri pertama yang membuat prosa Oyamada terlihat mengandung Kafkaesque. Ia bahkan tidak sebatas meniupkan keterbuntuan itu pada tokohnya saja, tetapi juga berusaha membuat pembaca untuk turut merasakannya.

Sementara itu, dari sisi para tokoh atau kisahnya sendiri menjadi ciri kedua, bahwa tokoh dalam cerita The Factory dan The Hole memang mengalami kebuntuan yang menjebak, sedangkan usaha mereka untuk melepaskan diri justru tampak menjadi sesuatu yang sia-sia belaka. Dalam cerita The Factory, pembaca akan menemui tiga karakter yang bekerja di sebuah pabrik raksasa nan misterius. Tiga pekerja itu ditempatkan di divisi yang berbeda: satu perempuan bertugas menghancurkan kertas dengan mesin penghancur, satu laki-laki bertugas mengecek berbagai dokumen yang datang ke pabrik, dan satu laki-laki lainnya bertugas dalam proyek penumbuhan lumut di atap pabrik. Sekilas, tidak ada yang aneh dengan pekerjaan itu. Sebab, ketiganya terlihat sederhana dan terkesan remeh belaka, dan memang begitulah adanya.

Namun, di balik itu semua, perlahan nan pasti mereka dibuat sampai pada kebingungan diri. Mereka seperti kehilangan makna dari apa yang mereka lakukan di pabrik itu. Hari-hari pun berjalan suntuk, monoton, membosankan, dan mereka seolah tak memiliki apa-apa untuk sekadar mencari tahu apa yang membuat mereka tiba pada posisi tersebut. Bahkan, situasi itu menempatkan mereka pada ketidaktahuan akan segala hal yang berhubungan dengan perusahaan itu. Pengetahuan mereka berhenti hanya pada tugas yang telah dibebani pada diri mereka masing-masing, sedangkan terkait fokus atau jenis dari perusahaan itu sendiri, mereka sama sekali tidak mengetahuinya.

Keadaan itu kemudian menemukan titik klimaksnya, sebagaimana yang tergambarkan pada tokoh perempuan, yang melebur menjadi persis seperti pekerja lain yang sudah lama bekerja di sana. Ia tiba pada momen yang tidak lagi mempertanyakan segala hal dan hanya menerimanya semata. Ia tidak lagi merasa heran dengan sejumlah keganjilan di pabrik itu, seperti mengapa luasnya tiada terukur dan banyaknya didapati burung misterius yang beterbangan saban pagi dan sore hari. Yang dilakukannya, sebatas menerima itu semua. Dan pertanyaan yang sedari awal mengganggu di benaknya, yaitu “Apa yang kulakukan di tempat ini?” pun makin terkesan jauh. Dirinya sudah tersedot masuk pada putaran rutinitas kerja yang berulang-ulang dan ia sudah dibuat sadar bahwa itulah yang mesti ia lakukan, tanpa perlu mempertanyakan apa pun atau mengelak dengan cara apa pun. Ia terjebak dan ia makin tidak menyadari kalau ia—berikut dua karakter lainnya—memang terjebak.

Napas serupa pun bisa kita dapati dalam novel The Hole (New Directions, 2020) yang mengisahkan kehidupan seorang perempuan bernama Asa dalam belenggu pernikahan yang tak baik-baik saja. Mulanya, kita dihadapkan pada situasi Asa dan suaminya yang hendak pindah lantaran suaminya dipindah ke daerah lain. Lalu saat menelepon ibunya, suaminya ditawari rumah sebelah milik ibunya yang tak dihuni dan tak perlu membayar sewa atasnya. Kedua pasangan itu pun pindah ke sana. Dan itulah awal dari parade kebingungan dan keterjebakan yang dialami Asa. Sebab, situasi di lingkungan barunya itu menerbitkan sejumlah hal yang membuatnya bingung: sifat suaminya yang sekonyong berubah menjadi super cuek, ibu mertuanya yang seperti bermuka dua, keganjilan sikap ayah mertuanya, dan tetangganya yang ternyata merupakan kakak dari suaminya tapi dibenci oleh keluarga suaminya. Selain itu, lingkungan tempatnya tinggal memiliki sejumlah simbol keganjilan, seperti cuaca panas yang seolah tanpa akhir dan suara tonggeret yang terdengar saban hari.

Ditambah lagi, Asa tidak memiliki teman atau siapa pun yang bisa diajak bicara dengan menyenangkan. Kontaknya putus dengan teman-temannya dahulu. Sementara di rumah, Asa yang telah keluar dari pekerjaannya, menjadi sosok yang selalu kebingungan dalam hal mengisi waktu luangnya. Situasi tidak bisa melakukan apa-apa dan bingung mau melakukan apa membuatnya kehilangan esensi waktu dan nilai diri. Ia pun jadi menjalani hari yang tanpa arti dan hal itu seolah tak berujung, tanpa akhir, persis seperti masuk ke dalam sebuah lubang dan kita dibuat terjebak di dalamnya.  

Dengan demikian, dapat kita lihat Kafkaesque tampak eksis dan menjadi napas dalam kedua prosa yang ditulis oleh Hiroko Oyamada. Kesan keterjebakan, kebuntuan, dan kebingungan yang menyergap para tokohnya, berikut pemilihan tata letak yang dimaksudkan untuk menghadirkan ketiga kesan itu kepada pembaca, menjadi dua hal yang membuat kedua prosa (novel itu) berpijak pada nuansa Kafkaesque yang lekat. []


Penulis:

Wahid Kurniawan, penikmat buku, mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *