Cerpen
Kotak Hitam di Hati Pramugari

Kotak Hitam di Hati Pramugari

Perempuan itu membanting tubuhnya ke tempat tidur. Memeluk bantal. Meleleh air mata. Bantal basah, ia buang ke pojok ruangan. Ganti menikam guling. Air matanya tetap mengalir. Kian deras. Dan teramat deras. Seakan tak akan kering. Dalam gundah, gawainya berdering: “Embuhlah, wong sinting!” 

Mengumpat. Ia reject panggilan di gawainya. Ia ingin melupakan wong sinting yang membersamainya dalam dua tahun hidupnya. Melupakan untuk selamanya dan senyata-nyatanya. Juga sejujur-jujurnya. Ah, tapi apa bisa? Ia ragu. Tiap hendak melupakan, justru ingatan padanya kian dalam. Bukankah awal untuk melupakan adalah mengingat?

Pada awal membina hubungan dengan wong sinthing memang baik-baik saja. Bahkan sangat menyenangkan. Tiap hari ia melayang-layang di langit. Melambung di angkasa seperti naik pesawat terbang. Ya, naik pesawat terbang, peristiwa yang kerap ia impikan sejak masih kecil.

Selama sembilan bulan sepuluh hari Bunda mengandung tak ada tanda-tanda ganjil atau aneh. Biasa saja seperti orang hamil umumnya. Ngidam? Iya, pasti. Waktu itu Bunda ngidam buah mangga. Ya, ia hanya ngidam buah mangga saja. Tapi, ia hanya mau mangga yang dipetik dari pohon depan rumahnya. Tidak mangga yang dibeli di pasar atau mangga di pohon tetanga.

Selain itu, ada satu syarat lagi: harus ia sendiri yang memanjat dan memetiknya. Tidak mau dipetikkan orang lain, termasuk suaminya. Kebiasaan memanjat sejak kecil agaknya masih terbawa hingga ia mengandung anak pertamanya, kelak lahir sebagai bayi mungil perempuan. Perempuan cantik nan anggun, pemberani, dan bercita-cita menjadi pramugari!

“Kenapa kau bercita-cita menjadi pramugari, Nduk?” tanya Bunda suatu ketika.

“Agar bisa terbang tinggi, Bun,” ia menjawab tanpa ragu.

Wajar jika gadis itu punya cita-cita menjadi pramugari. Modal utama sebagai pramugari sudah ia miliki: pemberani. Sifat itu diturunkan sang Bunda. Tak mungkinlah seorang penakut menjadi pramugari yang terbang hampir tiap hari. Modal kedua: cantik—tapi jauh dari kesan seksi. Ia juga tinggi semampai, berkulit kuning langsat, cerdas serta pandai bergaul. Lengkap sudah.

Tak cukup dengan pertanyaan itu, Bunda segera menyusuli dengan pertanyaan kedua, “Kamu tidak takut jatuh?”

Pertanyaan Bunda itu bahkan diulangi dua kali. Pertama, saat ia akan mendaftar di sekolah khusus pramugari. Waktu itu ia tidak terlalu peduli. Sebagai gadis yang belum sepenuhnya dewasa, resiko naik pesawat tertutup oleh keinginan yang menggebu. Obsesi yang terlalu kuat terpatri.

Tapi ketika pertanyaan itu diulangi lagi oleh Bunda beberapa tahun kemudian, menjelang ia memasukkan lamaran di sebuah maskapai penerbangan, ia tercenung sejenak. Tapi ia segera menjawab, tepatnya lekas mengelak: “Kalau takut, kapan aku bisa maju, Bun? Kapan aku bisa mewujudkan cita-cita? Kan Bunda sendiri yang minta supaya aku jadi pemberani!”  

Ia lalu memeluk bunda. Seakan menyesali nada tinggi yang ia ucapkan barusan. Tapi tidak menyesal dengan pilihan cita-citanya.

Obsesi. Itulah yang menggerakkan kakinya terus melangkah. Melangkah ke salah satu kantor maskapai penerbangan di negerinya. Akhirnya, setelah sukses melalui berbagai tahapan tes, sampailah ia pada tes pantukhir. Tes terakhir yang menentukan. Meski menentukan, tapi pertanyaan yang diajukan oleh penguji terkadang hal sepele, persoalan remeh-temeh.

Salah satu pertanyaan tes pantukir persis apa yang ditanyakan Bunda. Ia tak habis pikir kenapa pertanyaan itu bisa muncul. Tapi dalam hati ia merasa beruntung secara tidak disadari, puluhan tahun lalu Bunda pernah mengajukan pertanyaan serupa. Seakan Bunda turut menyiapkan anak gadisnya jadi seorang pramugari. Dan, ia menjawab sama persis dengan yang disampaikan pada Bunda. Hanya saja retorikanya tampak beda, lebih elegan dan dewasa.  

“Supaya kelak karir saya bisa naik terus. Layaknya pesawat terbang yang membawa saya bertugas tiap hari….”

Jawaban itu ternyata mendapat apresiasi dari para penguji. Akhirnya ia diterima sebagai pramugari. Bunda dan keluarganya sangat bersyukur karena perempuan itu berhasil mewujudkan obsesi. Bisa meraih mimpi.

“Nduk, pandai-pandailah kamu membawa diri. Kerja yang disiplin, cermat, teliti. Kamu harus ramah pada semua orang, tapi jangan lupa selalu hati-hati….”

Pesan Bunda di hari pertama masuk kerja. Ia paham maksud Bunda dengan kata hati-hati. Ya, agar ia selalu bisa menjaga hati, di mana pun dan pada siapa pun. Sebagai perempuan ia memang tidak mudah jatuh hati. Tapi orang lain yang mudah jatuh hati padanya. Termasuk pilot tampan rekan kerjanya.

Perempuan itu mengenalnya pada penerbangan perdana. Sejak itu, keduanya menjalin hubungan istimewa. Hari-hari dilalui dengan indah. Terutama saat terbang bersama, seakan pesawat yang membawanya mengangkasa hanya milik mereka berdua.  Para penumpang dan awak kabin yang lain hanya nunut saja.

 Ia menjadi perempuan yang beruntung. Selain obeseinya tercapai, juga punya kekasih hati yang hampir tiap hari membawanya terbang tinggi. Namun, menginjak tahun kedua, ia merasakan kebersamaan terbang tinggi bersama lelaki itu mulai menakutkan. Ya, ia seperti digantung di awan yang tinggi, tanpa tahu kapan ada kepastian menginjakkan kaki ke bumi.

Sebegai perempuan, tentu ia enggan untuk mengawali bicara tentang kepastian hubungan. Ia dibesarkan di keluarga berpendidikan dan tahu etika. Pantang, misalnya, ia bilang: “Kapan, Say, kita tunangan?” Apalagi: “Kapan kau melamarku, Say?” Tidak, jelas ia tak mau. Bukan soal sebagai pramugari anyaran terikat kontrak dilarang membangun mahligai rumah tanggal dalam kurun waktu tertentu. Tapi lebih karena sang lelaki itu misterius. Sinthing!

Tuing! Tuing! Gawainya berdering. Ia tersadar dari lamunan. Beranjak dari tempat tidur. Ia pandangi gawainya. Hendak hati ingin memblokir nomor lelaki itu. Tapi, ia sadar hal itu akan sia-sia.  Di dalam gawainya telah merasuk hati lelaki sinthing itu. Ya, penyebabnya hati. Bukan gawai dan pernak-pernik lain di kamarnya. Percuma juga ia membakar foto close up lelaki sinthing yang kini terpajang di meja kamarnya, sebab foto itu telah melekat erat di hatinya.

            “Rindu adalah terapi paling menyenangkan agar hati selalu sehat, maka jangan bunuh rindumu.”

Demikian lelaki sinthing itu pernah merayu. Dulu ia melayang-layang tiap mendengar gombalan itu. Namun, kini justru membuatnya mual dan ingin muntah. Ia ingin memuntahkan segala kenangan bersama lelaki sinthing itu. Secepatnya. Pagi itu juga. Kebetulan saat itu tidak ada jadwal penerbangan.

Gawainya berbunyi lagi. Kali ini bukan panggilan, tapi pesan WhatsApp yang masuk. Agaknya ketika panggilannya tidak dijawab, lelaki itu mengirim pesan singkat,            “Aku terbang dulu ya, Say.”

            Perempuan itu membukanya. Melihat pesannya dibuka kekasihnya, lelaki itu mengirim lagi pesan yang lebih panjang.

Sayang, jatuh cinta itu ibarat orang terbang. Jika tidak bisa menjamin pesawat yang kita tumpangi terbebas dari kecelakaan, pilihannya adalah kita punya banyak pesawat terbang….”

Perempuan itu terkejut. Kenapa baru setelah dua tahun dalam kebersamaan ia tahu punya pendirian yang berbeda dengan lelaki itu? Baginya, untuk bisa terbang abadi cukup punya satu pesawat asal dalam maintenence yang rutin, pilot dan awak kabinnya profesional, jujur, dan tangguh. Soal kecelakaan itu masalah nasib, tak ada hubungannya dengan niat hati.

Air matanya mulai meleleh. Ia meletakkan gawai. Tangannya meraih remote televisi. Hendak hati ingin menyetel chanel musik cadas kesukaannya saat kuliah dulu. Tapi di tampilan pertama layar televisi 40 inchi itu terlihat kecelakaan pesawat terbang di salah satu perairan Indonesia.

Tidak seperti penonton lain yang sangat penasaran jika ada berita kecelakaan pesawat, perempuan itu justru menekan tombol off di remote televisinya. Ia sudah bisa membayangkan peristiwa selanjutnya: pihak berwajib segera mengerahkan petugas untuk mencari kotak hitam hingga di dasar laut tempat jatuhnya pesawat. Tapi, sampai kapan pun kotak hitam itu tak akan ditemukan. Sebab, kotak hitam itu ada di dasar hati perempuan yang kini mulai berpikir untuk mengunduran diri dari profesinya sebagai pramugari.

Tapi perempuan itu tidak akan pernah kapok untuk terbang. Ia ingin membuka lembaran baru hidupnya sebagai pilot.(*)

~Wisma Aksara,  2021-2022.


Penulis:

Marwanto, menulis cerpen, esai, puisi, naskah pementasan dan resensi buku. Tulisannya dimuat sejumlah media cetak dan online, diantaranya: Kompas, Jawa Pos, Media Indonesia, Kedaulatan Rakyat,Minggu Pagi, Pos Bali, Koran Sindo, Mercusuar, Detikcom, Basabasi, Cendananews, dll. Membina  Komunitas Sastra-Ku serta mengetuai Forum Sastra dan Teater  Kulonprogo DIY. Cerpen dan puisinya pernah menjuarai lomba sastra tingkat nasional. Buku cerpen terakhirnya:  Aroma Wangi Anak-anak Serambi (Poiesis Indonesia, 2021)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *