Resensi Buku
Menjelajahi Alam Ketaksadaran

Menjelajahi Alam Ketaksadaran

Judul buku  : Pemuda Celaka dan Ciuman Italia
Penulis         : Muhammad Qadhafi
Penerbit       : Basabasi
Cetakan       : Cetakan Pertama, November 2021
Tebal           :172 halaman
ISBN           : 978-623-305-248-1

Cara kerja otak manusia dalam wilayah ketaksadaran sangatlah unik dan misterius. Ketaksadaran di sini adalah posisi manusia saat tertidur, namun otak manusia terus bekerja, memompa aliran syaraf dengan hebat. Menghasilkan gambaran-gambaran di luar nalar realitas. Itulah yang disebut “mimpi”. Melalui transkripsi mimpi-mimpi yang kemudian dibukukan oleh penerbit Basabasi, lalu berlabel kumpulan cerpen, Pemuda Celaka dan Ciuman Italia, Muhammad Qadhafi selaku penulis mengungkapkan bermacam kisah ganjil lewat mimpinya yang dituturkan oleh tokoh aku, selayaknya kerja mimpi.

Kerja mimpi membutuhkan pemantik agar tercipta lembaran film pada otak. Untuk menjadi pemantik perlu suatu hal yang memiliki kausalitas. Sebab mimpi merupakan bagian ketaksadaran, maka pemantik ketaksadaran bisa dikaitkan dengan dunia sadar manusia. Dalam mewarnai dunia sadar manusia dibutuhkan hasrat, entah dalam massa kecil atau tak terbendung.

Hasrat. Secara sadar manusia punya hasrat untuk menjalankan hidupnya, yang timbul dalam keseharian. Dan untuk menuntaskan hasrat tidak melulu perkara mudah, banyak faktor yang dihadapi. Mulai ketidakcakapan seseorang mengutarakan hasrat, bertentang aturan normal atau norma, perasaan segan dan tenggang rasa, pun lupa pada hasrat karena tertumpuk hasrat lain. Perkara itu menimbulkan berbagai keinginan atau hasrat manusia terpaksa mengendap dalam pikiran. Membusuk melewati rentetan waktu yang panjang. Melupakannya. Namun, pembusukan juga hasilkan penguapan. Lalu, sesekali hasrat yang membusuk membawa bau pekat, menyengat hebat syaraf-syaraf otak dalam ketaksadaran manusia. Menjadikan hasrat mengendap itu hadir dalam mimpi.

Saya rasa, sebagaimana kerja mimpi orang-orang, Muhammad Qadhafi pernah melalui hal semacam itu. Banyak keresahan yang tak mampu atau tak mungkin diselesaikan. Walhasil, mengendap dalam benaknya. Lalu muncul dalam mimpinya sebagai hasrat yang ingin terpenuhi dan membawa simbol tersembunyi. Jacques Lacan menafsirkan wilayah ketaksadaran sebagai penguapan dan pergantian. Selanjutnya menjadi metafora dan metonimi. Metafora diyakini sebagai penanda bagi penanda lainnya yang tersembunyi. Sedang, metomini dipahami hasrat tak-sadar hadir sebagai hasrat akan hasrat yang tidak terpenuhi. Keduanya menjadi mata rantai yang berhubungan alam ketaksadaran.

Mata rantai seorang pemimpi yang sekaligus seorang penulis, Muhammad Qhadafi,  mengkombinasi kedua hal itu menjadi giat yang saling menjumpai. Jika sebelumnya penulis dikenal sebagai prosais, dibuktikan dengan ketiga bukunya yang kental akan psikologis. Ia pada buku keempat ini, tetap bermain dalam ranah psikologis. Malah, bukan sekadar mencakup “ada” unsur psikologis, melainkan ia bermain-main dengan psikologisnya sendiri.

Dalam suatu kesempatan saat berjumpa penulis Pemuda Celaka dan Ciuman Italia tersebut, ia tak pelit dalam menuturkan proses kreatifnya. Sebelumnya pun prakata dalam buku sudah ia beberkan bagaimana ia menulis mimpi. Mimpi yang hangat tidak boleh lepas dan disisipi kegiatan lain. Sebab, mimpi yang sudah berbentur dengan kegiatan lain, akan mengabaikan adegan mimpi, lalu mengurangi tingkat kepentingan mimpi satu-satu. Belum lagi tenggat mimpi yang rinci punya masa. Lima menit setelah terjaga oleh mimpi, lima puluh persen ingatan tentang mimpi akan terlupakan. Parahnya, sesudah sepuluh menit berlalu mimpi benar-benar lindap, menyisakan sepuluh persen ingatan tentang isi mimpi dalam kondisi sadar. Perpindahan ruang itu berakibat fatal jika akan menuliskan mimpi. Jika itu terjadi, tak usah memikirkan apakah kita akan menuliskan mimpi, sekadar mengingat momentum mimpi seakan sulit sekali. Pikiran sadar kita jika mencoba memompa rekaman mimpi, hanya akan mendapat potongan-potongan, jauh dikata mendapat lembaran film-film utuh.

Penyadaran akan takut hilangnya momen mimpi, penulis menyiasati dengan sedia laptop yang dibiarkan hidup, meninggalkan dokumen kosong yang siap dilibas ketika penulis setengah sadar dari bangun tidurnya. Perlakuan itu menuai hanguskan rasa takut akan mimpi yang kabur. Kondisi setengah sadar juga menghidupkan mimpi kembali. Selama penulis mencatat mimpinya dalam dokumen, mimpi dalam benaknya tetap mengulurkan lembaran-lembaran film. Menghasilkan mimpi utuh, kausal, dan mengejutkan.

Lalu bagaimana jika penulis menuliskan mimpi dalam kondisi sadar? Mungkin realitas dan ilmu menulis fiksi akan termaktub. Ilmu mengenai plot cerita akan berperan besar. Ditambah dengan tokoh-tokoh yang dirasa pas oleh penulis untuk menghubungkan mimpi yang samar menjadi cerita utuh dan berkaitan. Melahirkan cerita yang boleh dikatakan—pascamimpi.

Eka Kurniawan peraih penghargaan internasional Financial Times dan Price Claus Award pernah menulis cerpen yang bernuansa mimpi. Lewat cerpen Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi, Eka menggunakan mimpi sebagai objek penceritaan penting dalam cerpen tersebut. Mimpi sebagai jembatan tokoh untuk merampungkan cerita. Dan dari judul sebetulnya sudah kentara, bahwa cerita tersebut memang bukan sepenuhnya mimpi. Singkat kata, adanya kata “mimpi” dalam sebuah struktur penulisan prosa, menggiring pembaca agar secepatnya tahu itu mimpi dalam cerita.

Sedang dalam transkrip mimpi Muhammad Qadhafi, saya rasa mengarah pada cerita dalam mimpi. Katakan, jika penulis tak menyertakan prakata dan transkripsi mimpi dalam bukunya, tentu pembaca lebih mengira sepenuhnya cerpen. Mimpi-mimpi itu tak disadari, namun mimpi hidup dalam genre realisme magis atau apa pun genre yang berjarak dari realis. Mengecoh pembaca dalam mengotak-otakan ini tulisan apa dalam diskusi sastra.

Tulisan lain sarat akan cerita dalam mimpi juga pernah ditulis Naguib Mahfouz, penulis berbahasa Arab dan peraih hadiah nobel pada 1988. Ia menuliskan karena suatu sebab dalam dirinya. Tahun 1999, setelah menjalani fisioterapi yang panjang dan intensif, Mahfouz mengungkap tulisan mimpi upaya hadirkan jarak dari bunuh diri yang berkelindan dalam hidupnya. Upaya yang menghasilkan ratusan tulisan mimpi. Dalam hal ini, Mahfouz menggunakan medium mimpi dan menulis sebagai obat dari penyakit yang menyerang psikologisnya. Secara tulisan memiliki kedekatan pada transkripsi mimpi Muhammad Qadhafi. Arwah mimpi lebih hidup sejatinya mimpi, tokoh dilibatkan dalam peristiwa ganjil dan serba tiba-tiba. Namun, cerita mimpi Mahfouz yang menyentuh dua ratusan judul dalam buku The Dream, saya rasa terlampau singkat, hampir seluruh hanya selembar paling banter dua lembar. Atau tulisan sederhana yang singkat adalah sebuah trik? Atau seperti fakta di atas, menuliskan mimpi dalam keadaan sadar penuh? Banyak mengaburkan cerita dan menulis sekadar ingatan tersisa.

Sederhananya Muhammad Qhadafi menyempurnakan dari pencerita mimpi sebelumnya. Penulis berhasil mendobrak mimpi masuk dalam ranah sastra dengan tidak meninggalkan sejatinya mimpi. Sifat mimpi yang kebetulan dan serba tiba-tiba, ia haluskan lewat bahasa lain, yang tak memaksa. Menghasilkan cerita yang tidak anjlok serta alur masih masuk akal. Mengaburkan dunia mimpi menjadi cerita rekaan.

Menyoal genre, saya punya firasat atau memang penulis sudah titipkan pesan untuk kesusastraan kita, bahwa mimpi sebuah cerita eksperimental sastra. Menjelma cerita alternatif, agar (nantinya) penulis pengikut mazhab ini tidak pusing—apa itu alur, plot, sudut pandang, dan pembangun cerita lainnya.

Barangkali, membaca buku ini sekaligus penyadaran kita untuk peka akan simbol yang bertebaran dalam mimpi secara implisit. Untuk paham simbol yang berserakan, hendaknya kita perlu mengingat; salah satu cara ialah menulis. Memperpanjang masa ingatan yang lalu membaca ulang berbagai hal asing dan janggal. Namun, terasa begitu dekat dan mungkin, solusi pemecah masalah hidup kita. []


Penulis:

Lintang Zulfikar Mukti. Sedang menyelesaikan studi di Universitas Negeri Yogyakarta. Bergiat di Media Kemaki dan Komunitas Kobuku. Mari berkabar di Ig: @lintangzulfikar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *