Resensi Buku
Ketika Leo Tolstoy Bicara Tentang Manusia Iblis

Ketika Leo Tolstoy Bicara Tentang Manusia Iblis

Judul Buku  : Iblis
Penulis         : Leo Tolstoy
Penerbit       : Diva Press
Cetakan       : I, Januari 2022
Tebal           : 108 halaman
ISBN           : 978-623-293-581-5

Leo Tolstoy, nama pengarang satu ini begitu membumi. Pun dengan karya-karyanya yang telah banyak diterjemahkan. Lelaki kelahiran Yasnaya Polyana (1828) ini termasuk salah satu penulis besar di dunia. Dua buah karyanya, War and Peace (1865-1869) dan Anna Karenina (1875-1877) dianggap sebagai beberapa dari novel terbaik yang pernah ditulis.

Leo Tolstoy adalah keturunan keluarga ningrat Rusia. Pada umur sembilan tahun, dia sudah menjadi yatim piatu. Lalu tahun 1841, dia dan keempat saudaranya pindah ke Kazan dan tinggal dalam perawatan bibinya. Beberapa tahun kemudian, dia mulai kuliah di jurusan Bahasa-Bahasa Asia di Universitas Kazan, tapi kemudian pindah ke fakultas hukum karena nilai-nilainya di jurusan sebelumnya jeblok.

Leo Tolstoy mulai rajin menulis catatan harian semenjak meninggalkan universitas dan kembali ke kampung halamannya tahun 1847. Catatan hariannya ini nantinya berperan dalam proses penulisan karya-karyanya. Beberapa tahun kemudian dia bergabung dengan militer—awalnya mengikuti jejak Nikolay, kakaknya—dan turut dalam Perang Krimea (1853-1856).

Setelah perang usai dan keluar dari militer, Tolstoy pergi ke Paris, lalu kembali ke Rusia, dan meyakini bahwa pekerjaan yang cocok untuknya adalah di dunia pendidikan, mengelola sekolah untuk anak-anak petani di perkebunannya. Setelah menikah dengan Sonya Andreyevna Bers, dia memusatkan perhatiannya pada kehidupan keluarganya dengan penulisan War and Peace. Karya-karyanya seperti Childhood, Boyhood, dan Youth berpusat pada satu tokoh semitobiografisnya, Dmitri Nekhlyudov. Itulah sedikit sejarah singkat tentang kehidupan Tolstoy yang diurai dalam novel berjudul Iblis ini.

Novel Iblis sendiri termasuk karya Tolstoy yang cukup menarik, layak disimak sekaligus renungi kisahnya. Kesimpulan yang bisa saya petik dari novel ini bahwa yang namanya manusia terkadang bisa berubah wujud menjadi iblis pada satu sisi, sementara di sisi lain dia memiliki hati yang lembut, baik, dan kepedulian yang tinggi terhadap sesama. Hal ini seolah menjadi bukti bahwa setiap manusia, memiliki dua sisi; baik dan buruk. Yang membedakan manusia satu dengan lainnya ialah lebih dominan kebaikannya atau keburukannya? Di sinilah kehidupan setiap manusia dipertaruhkan; akankah dia menjadi manusia yang lebih baik ataukah lebih buruk?

Dikisahkan, Eugene adalah sosok lelaki muda yang tampan dan berasal dari keluarga berada. Karier yang cemerlang terbentang di hadapan Eugene karena dia memiliki segala yang diperlukan untuk mencapainya: pendidikan mengagumkan yang didapatkan di rumah, penghargaan yang tinggi ketika lulus dalam bidang hukum di Universitas Petersburg, dan koneksi-koneksi di kalangan golongan elite melalui ayahnya yang baru meninggal dunia.

Selain itu, Eugene juga sudah mulai bertugas di salah satu Kementerian di bawah perlindungan sang menteri. Ayahnya, sebelum meninggal, bermukim di luar negeri dan Petersburg, yang mengizinkan Eugene dan Andrew (abangnya dan bertugas di resimen Brigade Berkuda), masing-masing menghabiskan enam ribu rubel per tahun, sementara dia sendiri dan istrinya menghabiskan banyak sekali. Dia hanya mengunjungi perkebunannya selama beberapa bulan di musim panas dan tak peduli soal pengelolaannya. Dia mempercayakannya kepada manajer yang tak bermoral yang juga gagal mengurusnya, tapi dipercaya penuh olehnya.

Setelah kematian sang ayah, Eugene mengunjungi perkebunan (yang merupakan warisan keluarga) pada musim semi. Singkat cerita, dia memutuskan berhenti menjadi Pegawai Negeri Sipil dan pindah ke daerah perkebunan tersebut bersama ibunya. Dia ingin menjalankan tugas pengelolaan perkebunan dengan tujuan melestarikan perkebunan utama. Dia bersepakat dengan saudaranya, Andrew, untuk berbagi hasil.

Setelah kematian ayah, Eugene menyadari bahwa sang ayah adalah seorang manajer yang buruk. Selain itu, ibunya Eugene juga sosok wanita yang boros dalam membelanjakan harta yang dimilikinya. Berbeda dengan sang kakek yang memiliki manajemen yang bagus dalam mengelola perkebunannya. Karena itulah Eugene ingin mencoba membangkitkan kembali semangat umum kehidupan kakeknya—di rumah, kebun, dan dalam manajemen perkebunan—tentu saja dengan perubahan yang disesuaikan dengan zaman—semua dalam skala besar—ketertiban yang baik, metode, dan agar semua orang merasa puas.

Satu hal yang ternyata di luar dugaan Eugene setelah memutuskan bermukim di wilayah perkebunan yang terbilang sepi. Di sana, dia tak bisa menemukan kesenangan bertemu wanita-wanita yang diinginkannya sebagaimana saat berada di daerah perkotaan. Hingga akhirnya dia bertemu Stepanida, seorang wanita petani dengan paras menawan dan tubuh yang proporsional. Meski Stepanida sudah bersuami tetapi dia masih suka bermain serong dengan lelaki lain. Dia berpikir, suaminya yang kerja di luar tentu juga bersenang-senang dengan wanita lain. Kenapa dirinya tidak bisa bersenang-senang dengan lelaki lain?

Meski hubungan gelap antara Eugene dan Stepanida hanya sesaat dan sebatas pelampiasan berahi, tetapi nyatanya hal tersebut sulit dilupakan begitu saja oleh Eugene. Nyatanya setelah dia menikah dengan Liza, seorang gadis muda cantik, pintar, dan dari kalangan berkelas, rasa ketertarikannya terhadap Stepanida masih ada dan kembali tumbuh subur dalam dirinya.

Pertemuan tak sengaja antara Eugene dan Stepanida bermula ketika Liza mencari orang untuk membantu beres-beres sekaligus membersihkan tempat tinggalnya. Siapa yang mengira, ternyata salah pembantu yang diminta beberes rumah adalah Stepanida. Sepulang kerja, ketika hendak masuk ke dalam rumah, Eugene berpapasan dengan wanita petani yang masih memiliki aura yang sangat memikat itu. Terlebih, sorot wajah Stepanida juga masih menginginkan kenangan masa lalu itu kembali terulang kembali.

Di sinilah Eugene merasa ditikam dilema. Satu sisi dia begitu mencintai Liza dan ingin bersetia dengannya. Sementara di sisi lain dia tak kuasa membendung hasratnya saat bertemu kembali dengan Stepanida. Inilah yang saya katakan bahwa pada diri manusia itu ada sisi baik dan buruk. Satu sisi dia ingin berbuat kebaikan, tapi pada suatu waktu dia bisa saja tergoda untuk melakukan keburukan, terlebih bila kesempatan itu terpampang di depan mata.

Kegundahan Eugene yang memuncak, antara memilih istri atau bekas selingkuhannya, memunculkan dorongan untuk membunuh salah satunya. Dia menganggap wanita itu ibarat iblis yang merasuk ke dalam dirinya. “Sungguh wanita itu adalah—iblis. Benar-benar iblis. Dia telah merasukkan dirinya kepadaku melawan kehendakku sendiri” (halaman 95).

Beragam cara pun dilakukan Eugene untuk mempertahankan rumah tangganya agar utuh dan bahagia. Tentu, masih banyak persoalan lainnya yang dihadapi Eugene dan Liza setelah menikah, misalnya ketidakharmonisan hubungan sesama besan, saat Liza terjatuh dan mengalami keguguran, dan lain sebagainya.

Kisah Eugene dalam novel “Iblis” karya penulis ternama dunia ini cukup menarik dan menyiratkan pesan berharga kepada pembaca, bahwa ketika seseorang di masa mudanya senang bermain-main dengan wanita, melampiaskan nafsu berahi sesuka hati, kelak akan menjadi bumerang dan masalah yang rumit ketika dia telah memutuskan hidup berumah tangga. Dan (ini yang paling penting) ketika seseorang telah menyesali perbuatannya di masa lalu, berusahalah untuk selalu menjaga benang kesetiaan pada pasangannya. Jangan sampai rumah tangga yang telah dibangun dengan susah-payah hancur berantakan gara-gara hadirnya orang ketiga. []


Penulis:

Sam Edy Yuswanto. Lahir dan berdomisili di kota Kebumen Jawa Tengah. Penulis lepas di berbagai media. Ratusan tulisannya (cerpen, opini, resensi buku, dll) tersiar di berbagai media massa seperti: Jawa Pos, Republika, Koran Sindo, Kompas Anak, Suara Merdeka, Radar Surabaya, Radar Bromo, Radar Banyumas, Riau Pos, Kedaulatan Rakyat, dll. Buku kumpulan cerpennya yang telah terbit antara lain: Percakapan Kunang-Kunang, Kiai Amplop, Impian Maya, Kaya dan Miskin, dan Filosofi Rindu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *