Cerpen
Puisi Yang Tak Bisa Diplagiasi

Puisi Yang Tak Bisa Diplagiasi

Tepat saat jasad lelaki itu dikebumikan, sebuah tabung oksigen ukuran mini tiba di rumah duka. Dia memastikan cintanya seperti oksigen bagi kehidupan. Lelaki itu memesannya secara online ketika dirawat di rumah sakit. Dia membeli tabung oksigen menjelang langka. Lalu, dialamatkannya untuk istrinya.

Dia tungkus lumus di tatah sosialisasi mitigasi bencana, baginya tak sulit jika butuh sesuatu kala bencana, dalam suatu petaka terburuk pun. Jejaringnya meruyak. Pelbagai pelosok nusantara pernah disinggahinya. Sampai suatu ketika dari sebuah grup WhatsApp lelaki itu mengabarkan, “Hanya bisa memohon doa, atas segala ujian ini. Omicron akhirnya mampir juga.”

Dia tahu harus menguarkan keadaan tak cuma dengan kata. Dia perlu mengunggah foto hasil laboratory result. Sekaligus berhujah dirinya tak pernah jera pada bencana, enggak jeri pada mati. Bencana adalah darah dan napas hidupnya. Juga kematian bukanlah benar-benar ruang waktu sebagai masa depan. Kematian sudah inhern dalam dirinya sejak takdir memilih di jalan hidupnya.

Kepada keluarganya; seorang istri dan dua anak gadisnya yang bercita-cita jadi penyair, lelaki itu juga tak gentar membetik kabar. “Tidak ada kabar itu artinya kehilangan buat istri dan anak-anakmu. Karena itu, kirimlah kabar baik atau buruk,” pinta istrinya suatu ketika. Ah, kedengarannya, istrinya memang ibu dari calon penyair.

Mengingat itu semua, lelaki itu pura-pura lupa diri siapa yang melecut gairah hidup istrinya: Kau tak akan pernah kehilangan masa silam, jika tak pernah melupakannya. Karena itu mencintai seutuhnya itu, juga atas masa silam yang kelam dalam diri kita. Sumpah dan janji ini yang tak lagi bisa dibantun, pasti akan mengundang masa depan gemilang kita.

Tentu saja, pernyataan Asikin itu tak sepenuhnya benar. Seolah-olah lelaki itu cahaya kalis bagi istrinya. Ini hanyalah cara memanggil kenangan, ketika kini lelaki itu telah berjauhan dari istri dan kedua putrinya. Bukan hanya antara dua ruang; kediaman dan rumah sakit, melainkan jarak antarkota. Istri dan anaknya di Kediri, lelaki itu di sebuah bed stretcher rumah sakit di Sleman.

Istrinya pun, bintang terang bagi lelaki itu, yang berpantulan di bening embun, dan sebagian jatuh di lubuk terdalam kristal hidupnya. Lelaki itu mustahil menjemput masa silamnya yang terpuruk, sebelum memastikan calon istrinya kelak adalah masa depannya.

Ketika itu, lembah hitam begitu gelap dan di sanalah lelaki itu bergajul yang terombang-ambing dengan seorang perempuan penyuka warna hitam. Saat keduanya cukup taklid akan takdir tapi tak yakin pada hidup—tepatnya eksistensi hidup. Hidup yang telah dijalani tapi sulit dimainkan. Hidup yang sukar dilakoni oleh karena tiada masa kini dan hari depan. Sonder visi dan luput dari antisipasi. Diri yang sudah dilemparkan, dan hampir semuanya masa lalu. Bahkan untuk mundur pun tak mampu.

Hidup yang cuma dia sendiri yang bisa memahami atas sesuatu yang sulit dipahami; antara aib dan nasib, nafsu, lembah hitam, perempuan dan misteri seorang bayi. Kendati telah menjajal bangkit dan gagal, bagi lelaki itu masa silam terlampau kejam. Sampai kemudian, bintang terang itu, perempuan yang kelak menjadi istri dan melahirkan anak-anaknya itu bagai meteorit yang jatuh melesat, melesak jauh ke jantung ruh.

“Salma, cintaku hanya sesederhana kopi pahit tanpa gula. Setiap panas yang kau tuang ke dalam cangkir itu akan mengantarkanku memahami kedalaman warna hitam yang pekat. Aroma seduhanmu membangun kelopak-kelopak eunoia yang berdenyar pada puing-puing rindu tanpa jeda,” ini pengakuan lelaki itu suatu senja.

Semenjak itulah bagi Asikin, Salma adalah gemintang yang mengenalkan dirinya pada cara hidup menghisap masa depan, menemukan doa dan kerinduan. “Jika kau sandarkan kerinduanmu pada ruang dan waktu, hanya akan kau dapati sebuah kehampaan. Karena rindu yang sesungguhnya  adalah setiap doa yang terucap tanpa isyarat,” tedasnya.

***

Doa yang dimaksud Asikin tak lain adalah kata-kata. “Doa, gemintang, kerinduan, kehampaan, ruang dan waktu adalah kata-kata yang nyatanya sanggup menggetarkan diri kita, Salma.” Sejak bersama Salma, kehidupannya adalah hujan kata-kata. Tepatnya kata-kata yang hidup, yang menghidupi.

Kata-kata seperti mantra mengundang lebah bermadu, rapalan pamanggil nyanyian angin. Kata-kata yang sugestif, yang tidak pernah melupakan setiap peristiwa berlalu begitu saja. Mungkin agak pelik ditelisik kejelasan maknanya. Barangkali justru terpahami di sebalik hikmahnya, hanya oleh sejoli ini. Itulah daya hidup yang membuatnya kerasan di dunia. Inilah getaran cinta. Itulah puisi. Sublimasi. Keterpanaan. Bahkan kengerian, teror yang menyapih detak dan denyut jantung waktu.

Maka anak-anaknya adalah puisi, getaran kalbu. Kata-kata padanya boleh murahan tapi getarannya demikian mahal, bernilai tinggi. Ketika anak-anak cergas itu menghendaki menjadi penyair, keluarga mereka layaknya serumpun gedung perpustakaan yang hanya menyimpan buku sastra. Ibunya prosa, ayahnya drama.

“Aku adalah lelaki penjala keabadian, yang selalu setia memunguti bulir-bulir kesenyapan. Sepenggal gelombang melemparkan sauh yang menghantam karang diantara riuh riang kapal-kapal para nelayan. Hanya kepak-kepak ombak berkecipak memintal kesunyian. Yang mengantarkan buih-buih sepi kerinduan hingga ke tepian. Menandai sebuah ingatan, perjalanan ini begitu tua. Ketika burung-burung berkicau kejaran menjemput senja, ada segenggam bunga yang senantiasa menguntum pada senyummu. Bukan mawar atau melati, tapi ketulusan hati yang tak pernah melukaiku.”

Tak mengapa kedengaran menggombal. Bukankah yang utama dari sastra adalah: biarlah anjing meggonggong, kafilah berlagu?

Dulu mula pertama aku mengenal Asikin, lelaki penyuka lagu-lagu Nirvana, Slank dan Leo Kristi itu telah meruntuhkan jumawaku. Kami sama-sama kuliah di Bidang Studi Sastra Universitas Airlangga.

Awalnya, akulah satu-satunya mahasiswa kejuruan yang diterima di jurusan bergengsi itu. Aku yakin, bahkan satu-satunya di Nusantara. Keyakinan yang sama pada diri Asikin. Kredoku ambyar, karena Asikin ternyata dari kejuruan pula. Bahkan swasta. Bangun rumusan Asikin pun buyar. Sialnya, kami sama-sama dari Kediri. Aku peraih beasiswa perusahaan tempat kerja bapakku, dan rajin menulis cerita, Asikin hanya seniman jalanan. Dia pelukis ilustrasi cerita (beberapa untuk majalah remaja Anita Cemerlang), kartu ucapan, dan terkadang begadang. Aku ahli mengetik. Asikin lihai dengan petikan gitarnya.

Semasa mahasiswa kami dekat berkat saling ada yang kami runtuhkan.

Di kampus, kali pertama yang sama-sama membuat kami jatuh cinta pada sebuah dunia adalah; ketika menonton sajak Kucing, Sutardji Calzoum Bachri dibacakan di Gedung Serba Guna, dan saat kami bersama memainkan Aeng sandiwara Putu Wijaya.

Lebih dari itu, seorang kawan yang atas nama keakraban punya tabiat mbeling meruntuhkan martabat hampir semua kawan sekelas. Dia obral panggilan semaunya, yang tak perlu alasan apapun. Ada yang dipanggilnya Pek, Copet, Crut, Mbret, Kokokbeluk, Panjul, Kuli. Tapi untuk Kuli, aku menelisiknya. Kedengarannya lantaran tampang pekerja lapangan. Kusam. Kering. Berotot. Aku memburunya di cerita Kuli Kontrak, Mochtar Lubis. Aku juga menemukannya di novel Koeli karya pengarang jelita Hindia Belanda kelahiran Surabaya; Szekely-Lulofs, istri Tuan Kebun penyaksi diskriminasi keseharian buruh-buruh perkebunan di Deli. Boleh jadi sosok Kuli senasib sependeritaan dengan Roeki, tokoh sial di novel itu.

Entah, aku tak tahu seperti apa Kuli, alias Asikin menelisik di sebalik panggilan namaku. Yang aku tahu dia memegang rahasiaku. Pun kemudian aku memegang rahasianya. Sebagai sesama lelaki, rahasia apa kiranya yang lebih spektakuler selain perihal perempuan? Karena ini rahasia, selamanya akan tetap sebagai rahasia. Bahkan sampai cerita ini dituliskan—sekalipun Tuhan menghendaki membocorkannya.

Tentu saja hidup tak melulu soal rahasia. Asikin menjadi musisi dan kerap menata musik pertunjukan-pertunjukan drama. Akulah penulis naskah dan sutradaranya. Kami sering bersama secara hikmat dan kebijaknaan mendengar suara angin, mengatur kebutuhan oksigen, dan bersepakat; jangan pernah kehabisan napas, sering-seringlah mengatur pernapasan buatan.

Pernapasan buatan yang dimaksud adalah adegan ciuman. Kami sama-sama tersentak, diam sejenak, lantas cekikikan ketawa-ketiwi. Soal pernapasan buatan, artinya kembali membincang rahasia.

***

Bertahun kemudian, di luar adegan drama terakhir itu, kami telah lama tak bersua. Bertumpuk rahasia kami benar-benar menjadi rahasia, bahkan oleh Tuhan pula. Kami sama-sama tak memiliki pengetahuan setitikpun sasmita. Apalagi terhadap setiap yang berwarna gelap, hitam pekat. Kukira akan hal itu, kami benar-benar buta.

Begitulah, Salma adalah bintang terang. Meski terpaut lima tahun aku, Asikin dan Salma memutuskan membina rumah tangga. Kami semua, dengan nama-nama yang aneh itu turut menjadi saksinya. Pek, Copet, Crut, Mbret, Kokokbeluk, Panjul…

Semenjak hari bungah itu, memiliki istri seelok dan seanggun Salma, Asikin ternyata lelaki yang sangat romantis, humoris. Aku, seperti kebanyakan teman seringkali iri dibuatnya. Dari foto-foto, video, status-status, kementar-komentar di media sosial, Asikin betul-betul lelaki yang eksis, bangkit dari masa silam yang muram dan kelam.

Tahun demi tahun tak mengubah kebiasaannya untuk mendengar suara angin, menjaga agar tak kehabisan napas. Dari sanalah kata-kata mengalir dan berhujan terjun dari langit-langit peristiwa. Kata-kata terus menggetarkannya; kata-kata yang hidup dan menghidupi. Dengan kata-kata, mereka mencatat, memahami setiap peristiwa untuk tak berlalu begitu saja.

Begitulah, Asikin, Salma dan anak-anaknya menjadi penyair. Berbicara dalam bahasa syair. Tidak hanya di media sosial, tetapi juga di dunia nyata penuh kesialan ini. Aku terkesiap dan sulit beradaptasi ketika pandemi, Asikin dan Salma serta kedua putrinya berkunjung ke rumahku. Mereka bukan sekadar keluarga penyair, melainkan juga puisi-puisi itu sendiri. Kami membicarakan puisi-puisinya, kritik-kritiknya, rencana-rencana membukukan dan membacakannya.

Salma adalah puisi terindah buatku. Adalah sepotong lain asrarku. Dia pernah menjadi separuh napasku.

Kepada tamuku, kukatakan; “Puisi yang indah adalah yang lahir dari napas, denyut jantung, gerak tubuh, peristiwa, kerinduan, kemungkinan tak terduga namun tanpa tujuan pasti sebagaimana kitab suci. Puisi yang indah seperti orang gila dan limbung.”

Kalimatku berputar-putar walau sebenarnya keindahan yang kumaksud tak lain; Salma.

Ya, puisi yang indah muskil kumengerti. Dia yang memahami diri namun menampik dimaknai dengan kepercayaan diri.

***

Selepas menyeranta diri terinfeksi virus Omicron, beberapa hari kemudian aku menerima sepotong puisi Asikin, dan juga puisi Salma yang dikirimkannya padaku melalui pesan WhatsApp.

Inilah puisi paling menggetarkanku. Andai dekat cermin, kupastikan praupan-ku manai pasi. Juga kukira bagi Asikin dan Salma. Aku membayangkan selama dalam perawatan betapa tiap detik sejoli itu saling berbagi puisi….

“Aku rindu kamu, Yang. Aku sayang kamu, Yang.  Aku pingin kamu temani Yang. Saat sakit seperti ini, aku ingin bersamamu. Aku..aku juga nggak tega melihatmu. Beri satu kata agar aku yakin dan percaya kamu memang harus menjagaku di sini,” tulis Asikin.

“Tunggu aku. Kupasti akan datang membawa harapan, Yang. Kan menjadi nyata. Tak kan pernah ada waktu yang terlewat bersamamu. I love you,” balas Salma.

Kupastikan bagi para dewasa, para pujangga, pemuja semiotika, juga para bestari pembaca cerita, inilah puisi paling melankolis di dunia, paling sentimentil di jagad raya, dan kitsch di pasar gagasan manapun. Namun buatku inilah diksi paling menyentuh, menggetarkan jantung, renjana dan ruh.

Sebagaimana dikisahkan Salma…

“Pada hari Selasa, selepas subuh dia mengirimkan pesan itu. Lalu kuputuskan untuk menyusul ke sana dengan perjalanan kereta menjelang senja. Setiba jam 10 malam, dengan segala cara aku ingin menemuinya. Sempat ditahan satpam oleh karena pasien isolasi tak boleh dibesuk. Aku ngotot demi menyemangati hidupnya. Aku mendebat satpam; ‘Apapun resikonya, aku sendiri, istrinya yang akan menanggung akibatnya. Jadi Pak Satpam tak punya alasan untuk menahan saya,’ kukatakan demikian. Akhirnya aku diizinkan. Setelah mengisi surat pernyataan dan menyetujui syarat isolasi dalam ruangan pasien Omicron, tak boleh keluar masuk.” 

Kalimat panjang Salma adalah pertahanan yang kokoh dari emosi dan airmatanya. Namun begitu, tembok itu jebol juga tatkala berujar, “Setelah sempat membaca sepucuk surat dari anak-anak, Mas Asikin menghembuskan napas terakhir dalam pelukanku.”

Salma menangis sepanjang waktu. Seperti puisi, tangisnya pun mustahil kumengerti sempurna. Tangis, yang hanya bisa kuceritakan kembali belaka.

“Rasanya berat sekali. Mas Asikin adalah sosok bapak, ibu, suami, teman, imam bagi kami. Sampai saat ini aku masih merasa Mas Asikin pergi dan pasti akan pulang. Anak-anak juga masih punya akad,” ratapnya tentu dalam kesatuan diksi, bunyi, raung, gaung dan getar isi dada.

Setelah cukup waktu kupikirkan, inilah advis paling bijak lelaki di seantero lembah duka ini:  Salma, aku ikut berbelasungkawa. Semoga kau dan anak-anak diberi kekuatan. Teruslah bersama kekuatan itu dengan kebaikan-kebaikan almarhum. Suamimu orang baik. Kau dan aku tak sendiri merasa sangat kehilangan dia. Semoga kebaikan menjadi cahaya dalam setiap langkahnya di sana.

Aku tak sedang di sana, di dekat Salma. Namun suaraku seperti bisikan sedekat-dekatnya. Kubayangkan matanya. Sebagaimana galibnya yang saling berbicara, sorot mata adalah sumber segala kata, kalimat, wicara kehadiran. Salma seperti bicara begitu banyak meski retinanya terhalang sembab airmata. Airmata adalah mendung dari umuk kesedihannya, meski dini hari itu, ketika Asikin dimakamkan langit cerah dan bertabur cahaya. Hanya celak strobo led ambulans berlecutan seperti kilat di angkasa.

Kubayangkan detik-detik pemakaman, Salma bukan saja menatap peti tempat terbaring jasad Asikin. Salma sekaligus saksi bagaimana kenangan suaminya, citranya, rahasia-rahasianya dikuburkan. Kematian adalah garis batas peristiwa paling otentik, puisi paling eksistensial yang tak bisa ditukar ataupun diplagiasi. Aku tak seberuntung Salma, penyaksi rahasia-rahasiaku yang ada pada Asikin, turut dikebumikan. Memang Asikin tak lagi butuh desir angin, gelembung oksigen, tapi sebagian rahasia-rahasianya masih ada padaku.

Salma pula buhul dari rahasia-rahasia itu. Tentu sebagian besar pendapat, mengatai aku tak punya empati bila dalam duka, kubuka kembali rekaman aroma napas Salma, yang terus terang tak pernah hilang dari sukmaku. Napas bukan saja harga mati atau nilai hidup, melainkan napas adalah keindahan cinta kehidupan. Itulah napas sebagai puisi eros.

Apakah di masa pandemi, puisi tak punya empati? Mana lebih kejam antara puisi atau virus Omicron yang mengacau oksigen di udara dan dalam tubuh penderita? Aku hanya ingin katakan pada Salma dan siapapun yang berduka; kematian tidak berjarak, tidak datang atau dijemput. Kematian, mungkin seperti sesak napas bila pernyataan cinta ditolak, tak pada tempatnya, atau saat terbukanya suatu rahasia, namun tersia-sia.(*)

~Ngimbang, 2021-2022.


Penulis:

S. Jai.  Lahir di Kediri, 4 Februari 1972.  Pengarang sejumlah novel—diantaranya, Tanah Api (LKiS 2005); Tanha—Kekasih  yang Terlupa (Jogja Media Utama 2011);  Khutbah di Bawah Lembah (Najah 2012, Diva Press);   Kumara (DK Jatim, 2013). GURAH (Pagan Press 2015) dan yang terbaru Ngrong (Pagan Press, 2019). Pemenang Sayembara Cerita Panji Dewan Kesenian Jatim (2010), Pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jatim (2012), Penerima Penghargaan Gubernur Jatim (2015), Peraih Penghargaan Sotasoma dari Balai Bahasa Jatim untuk buku kritik terbaik, Postmitos (2019).  Kini tinggal di dusun Tanjungwetan, Kec. Ngimbang, Lamongan. 

2 thoughts on “Puisi Yang Tak Bisa Diplagiasi

Leave a Reply to S Jai Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *