Esai
R.A. Kartini: Penulis Sastra Anak

R.A. Kartini: Penulis Sastra Anak

Dalam kritik sastra Indonesia, sastra anak secara diam-diam dimasukkan ke dalam kasta rendah. Banyak sekali sastrawan dewasa-tua Indonesia yang sebenarnya menulis sastra anak atau remaja, khususnya dalam bentuk prosa, namun tak pernah diulas atau sekadar diobrolkan. Kita bisa menyebut Arti Purbani, Ajip Rosidi, Mochtar Lubis, Zawawi Imron, Korrie Layun Rampan, dan seterusnya, terutama sastrawan yang diberi kesempatan oleh pemerintah Orde Baru untuk ikut menulis sastra anak berlabel “Milik Pemerintah Tidak Diperdagangkan”.

Pemartabatan sastra anak di Indonesia memang tidak mungkin dibandingkan dengan tradisi sastra anak Eropa. Dengan tradisi sastra cetak yang sudah dibangun selama beberapa abad, sastra anak Eropa bukan cuma sangat dihormati, digemari, dan sudah menghasilkan banyak karya besar dan tersebar ke berbagai penjuru dunia, termasuk ke Indonesia. Sudah sejak abad ke-20 sampai sekarang, sastra anak Eropa sudah diperkenalkan kepada anak-anak pribumi, baik melalui sistem pendidikan keagamaan, lembaga pendidikan pemerintah dan swasta, dan termasuk khususnya melalui Balai Pustaka (Christantiowati, 1996).

Pada tahun 80-an, publik (kritikus) Indonesia dikejutkan oleh penelitian David McClelland yang menghasilkan kesimpulan sangat menarik: pembangunan (sumber daya manusia) ekonomi suatu bangsa ternyata sangat dipengaruhi isi sastra anak. Satu bangsa yang maju biasanya mempunyai sastra anak yang bersifat eksploratif imajinatif, penuh petualangan, dan sifat-sifat kreatif konstruktif, yang mengarahkan anak-anak pada “kebutuhan untuk berprestasi”, bukan sastra yang terlalu banyak memberikan petuah dan moralitas.

Namun, sayangnya, tak banyak kritikus sastra yang membahas dan menengok sastra anak Indonesia. Kritikus sastra serius di Indonesia secara sengaja sering mengabaikan sastra anak, termasuk jika ditulis oleh sastrawan serius. Sedikit sekali kritikus sastra yang menekuni sastra anak di Indonesia, padahal sekarang ada kebangkitan besar sastra anak yang ditulis para bocah remaja sendiri.  

***

Satu sastrawan sastra anak yang tak cukup banyak dikenal di Indonesia adalah R.A. Kartini (1879-1904). Tokoh pemikir pendidikan penting dari abad ke-19 ini termasuk leluhur penulis sastra anak. Dalam buku lusuh berwarna hijau dengan judul Buku Pengabdian Pahlawan Kemerdekaan Nasional IBU KARTINI (1969), panitia tidak cuma memasukkan kutipan dari surat-surat Kartini yang dianggap penting. Panitia justru menampilkan karya berjudul Kongso Tjerita Wajang Purwo buah karja Ibu Kartini, yang ditulis pada tahun 1902, satu tahun lebih sebelum Kartini (terpaksa) menikah atau masa menjelang akhir pergolakan pemikiran dan perjuangan pedagogis Kartini—tapi berkat pernikahan itu adalah berdirinya ‘sekolah’ di emperan rumah suaminya.

Kongso bisa dikatakan termasuk sastra anak yang tampak sengaja ditulis Kartini untuk para murid-muridnya—meski bukan dalam bahasa Jawa atau Melayu tapi dalam bahasa Belanda yang begitu dikuasainya. Secara tipologis, Kongso termasuk kategori sastra anak dengan nuansa cerita rakyat yang sangat kuat. Yang menarik, cerita anak ini sangat politis yang mengarah pada proto-nasionalistik. Coba perhatikan paragraf pertama karya Kartini berikut:

“Basudewo seorang Radja dari Madura, mempunjai 3 orang istri; isteri jang tertua melahirkan 3 orang anak, dua orang putera, R. Kokrosono seorang bule (albino) dan R. Norojono berkulit hitam, [serta] seorang puteri bernama Dewi Brotodjojo, meski berkulit sawo mateng (bruin) tetapi mempunjai ketjantikan jang luar biasa. Dua orang isteri lainnja sampai saat itu tidak mempunjai anak.”

Ada dua hal penting dalam pembuka ini. Pertama, secara tersirat, Kartini menyinggung asal-usul silsilah ibu kandungnya sendiri (Ibu Ngasirah) yang mempunyai darah keturunan Madura. Dengan demikian, secara tidak langsung Dewi Brotodjojo bisa diasosiasikan dengan Kartini sendiri. Kedua, ada satu hal yang sungguh jelas janggal dari tiga bersaudara itu: warna kulit. Jarang sekali satu keluarga yang mempunyai anak turun yang begitu berlainan warna kulitnya dan ini tentu saja pasti disadari Kartini. Dalam pewayangan, kita memang mengenal warna kulit hitam dan putih di antara ksatria Pandawa dan Kurawa. Namun, kita bisa juga mengatakan bahwa warna kulit itu dipilih Kartini barangkali sebagai bentuk personifikasi ras (juga budaya) dari tiga warna kulit bangsa Hindia Belanda (Indonesia) pada masanya—juga masih berlaku pada masa kita sekarang.

Selanjutnya, Kartini menceritakan bahwa istri termuda Basudewa disetubuhi raksasa sakti, Gorowongso yang dapat berganti rupa menjadi Raja Basudewa. Penyamaran Gorowongso diketahui Raja Pandu Dewonoto dari Ngastina (saudara Basudewa). Atas perbuatannya, raksasa Gorowongso dibunuh. Istri termuda Basudewa diusir dari istana dan pergi ke hutan. Istrinya melahirkan bayi yang diberi nama Kongso di hutan. Saat melahirkan bayi, raksasa Suratimontro yang kuat dan perkasa sedang mencari adiknya (Gorowongso) yang tak kembali tapi menemukan seorang ibu dan bayinya. Maka, berceritalah dua orang malang itu kepada Suratimontro semua yang telah menimpa mereka.   

Atas kisah itu, Suratimontro akhirnya pergi ke istana kekuasaan Basudewa di Madura sekaligus mengancamnya agar menjadikan Kongso sebagai anaknya yang sah. Karena takut pada kekuatan Suratimontro, Basudewa menerima dan sekaligus mengungsikan tiga anaknya agar tidak tinggal di istana yang sudah di bawah bayang kekuatan Suratimontro. Begitulah, tiga anaknya dititipkan pada seorang petani yang baik di desa Widoro Kandang agar dibesarkan. Setelah semakin besar, anak-anak itu tumbuh menjadi pemuda perkasa dan pergi mengembara mencari guru.

Sementara itu, karena terlalu dimanjakan Suratimontro, Kongso tumbuh menjadi “anak jang nakal, bengis dan semakin besar semakin djelek tabiatnja. Hiburannja terdiri dari mengadu djangkrik, ajam djantan, kambing djantan, lembu djantan, d l.l.jna. Djuga, orang2 diadu dengan pamannja, Raksasa Suratimontro dan berhastsil membunuh orang2 tadi. Kongso kegemarannja juga menjiksa orang2. Rakjat Madura sangat ketakutan terhadap Raden Kongso tetapi diam dan membiarkan dirinja disiksa, takut kalau2 Pangeran Pati [Suratimontro] lebih kedjam lagi menjiksanja.” Kerajaan dan rakyat Madura terancam hancur total akibat ulahnya.

Dalam satu perjalanan politik Widoro Kandang, Raden Kongso menemukan seorang putri yang cantik jelita. Kepada Raja Basudewa, dia meminta agar perempuan cantik itu dijadikan istrinya. Ternyata, perempuan ini adalah anaknya sendiri. Tentu saja, Raja Basudewa berusaha menghalanginya. Namun, Raden Kongso tidak bisa dihalangi selama tak ada satu pun mampu menandingi keperkasaan raksasa Suratimontro.

Demikianlah, akhirnya Raja Basudewa harus mencari lawan tanding yang bisa mengalahkan Suratimontro dan sekaligus agar bisa menggagalkan pernikahan putrinya dengan Raden Kongso. Dan, yang bisa menyelamatkan kerajaan Madura yang sudah dipimpin Kongso dan pamannya adalah dua anak lelaki yang berlainan warna dari istri pertama Basudewa. Dua anak Basudewa, setelah mengembara dan meguru, menjadi kesatria yang tangguh dan mendapatkan pusaka sakti dari para guru masing-masing. Mereka datang tepat waktu: saat adu tanding melawan raksasa Suratimontro.

Tentu saja, kita bisa menduga: kedua ksatria itulah yang akan menang. Dengan semua kedigdayaan ilmu (modern) itulah, akhirnya, keganasan Kongso dan Suratimontro yang penuh onar dan serakah dapat ditumpas anak-anak Basudewa. “Radja sangat bergembira ketika mengetahui bahwa putra2nja sendirilah jang menolong keradjaannja. Basudewo memanggil 3 orang putranja bersama Bimo dan Pamadi.”

***

Yang menarik dari cerita yang ditulis RA Karti ini adalah bahwa dengan gampang kita bisa mengasosiasikan dua anak ksatria Basudewa sebagai para nasionalis awal Indonesia yang mengembara belajar (meguru) mencari ilmu ke berbagai kota di Indonesia sampai ke negeri-negeri di Eropa dan terkhusus Belanda. Dan, kita bisa menduga bahwa istri termuda Basudewa adalah tanah Hindia Belanda yang dikuasai oleh kolonialisme Belanda (Eropa). Secara alegoris, kita bisa menganggap kisah bocah yang ditulis Kartini adalah tentang tanah pertiwi (Indonesia) yang perlu dibebaskan. 

Aku membayangkan, seandainya Kongso ini bisa dicetak ulang dengan ilustrasi yang menarik, kepustakaan Kartini tidak hanya terlalu serius tapi bisa juga bercorak kebocahan. Dan, pada suatu hari nanti, kita bisa merayakan Hari Kartini tidak hanya melalui surat-suratnya, namun juga melalui karya sastra anak yang ditulisnya. Kisah Kongso pantas masuk dalam khazanah sastra anak Indonesia dan dibaca lagi pada zaman kita dalam bentuk buku yang sesuai dengan selera zaman.

Kita pun ingat pesan Kartini dalam “Geef den Javaan Opvoeding!” (Berikanlah Pendidikan kepada Orang Jawa!), yang ditulis pada Januari 1903: “Sembarang alat pendidikan yang dapat diharapkan banyak mendatangkan kebajikan adalah: bacaan! Bacaan akan turut mendidik dengan sebaik-baiknya.” []


Penulis:

M. Fauzi Sukri, penulis buku Bahasa Ruang, Ruang Puitik (2018)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *