Cerpen
Anjing, Anjing, Anjing!

Anjing, Anjing, Anjing!

“Ketika melewati tumpukan sampah, Bandu tumbang. Si anjing memanggil sekawanannya dan kemudian mereka menggali lubang.”

Bandu melihat ibunya berubah menjadi anjing, dan oleh karena itulah ia mencari ibu yang lain.

Itu terjadi suatu malam yang belum pernah Bandu rasakan sebelumnya. Malam yang dingin dan asing. Di kamar yang pintu jendelanya terbuka—entah karena angin kencang atau terbuka sendiri karena engselnya kurang sehat—Bandu melihat di luar sana tidak ada siapa-siapa. Sedangkan di atas ranjang, ibunya tertidur dan mengigau.

Si ibu memanggil-manggil sebuah nama yang di telinga Bandu terdengar sebagai ‘Naelinnia’. Kenapa dengan Naelinnia?

“Bu, bangun, Bu,” gumam Bandu sambil mengguncang-guncang tubuh ibunya. Tetapi, itu tidak membuat hal lain: semisal, perempuan itu bangun lalu mendekap anaknya. Atau, terperanjat, lalu menceritakan mimpi buruknya. Ia masih seperti orang yang tertidur pulas.

“Naelinnia, tolong jangan lakukan itu. Tolong jangan kutuk aku!”

Bandu mendengar jelas perkataan itu. Kenapa Naelinnia mau mengutuk ibuku? Akhirnya, ia mengguncang tubuh ibunya lebih keras. Namun, apa yang terjadi mungkin tak akan pernah Bandu duga sebelumnya. Perempuan itu perlahan kulitnya berbulu, mulutnya semakin maju, telinganya melebar. Dada Bandu berdebar dan dari mulutnya keluar suara: ada apa ini?

Tidak butuh waktu lama perempuan itu berubah menjadi anjing. Benar-benar anjing. Dan, Bandu tidak mungkin menyangkalnya. Bandu melangkah mundur. Persoalan apakah anjing memakan manusia atau tidak, itu hal lain. Itu tidak terpikirkan oleh Bandu sama sekali. Yang jelas, kaki Bandu perlahan mendekati pintu. Mata Bandu melihat jelas mata anjing itu: tajam dan mengerikan, seolah-olah bertahun-tahun menyimpan dendam, dan tepat saat itulah waktunya untuk menuntaskan.

Anjing itu mulutnya menganga seperti ingin memangsa. Ia tidak seperti anjing biasa yang menggonggong. Atau, bahkan melolong. Ia seperti danau, diam dan menghanyutkan. Air liurnya menetes, membasahi kasur yang sebenarnya tidak layak dipakai manusia: tipis dan seperti tanpa kapas. Gigi-gigi anjing itu bertaring, tajam seperti gigi-gigi drakula.

Tangan Bandu meraih pintu dan ia pergi dari kamar itu setelah pintunya ditutup kembali. Ia keluar dari rumah. Entah menuju ke mana, tak ada yang tahu. Yang pasti, dalam pikirannya, jika dalam jangka waktu tiga hari dan ibunya tetap berupa anjing, maka ia akan memutuskan mencari ibu yang lain.

***

Naelinnia adalah anjing. Anjing kecil dengan sepasang mata mungil. Meskipun terlihat lucu, di dalam sepasang mata itu terdapat dunia kelam. Bahkan, lebih kelam ketimbang malam yang tanpa bintang, tanpa rembulan, tanpa cahaya apa pun, tanpa suara apa pun, tanpa angin semilir, tanpa ada gerakan apa pun, tanpa ada yang lain-lain, kecuali hitam.

Mulanya, anjing kecil itu tersesat di tengah hutan. Ia berjalan dengan langkah kecil menyusuri jalan kecil. Ia menangis tersedu, tetapi tidak ada satu makhluk pun tahu. Tangis anjing tidak sama dengan makhluk-makhluk lain. Sebenarnya, kalau seandainya ada anjing lain yang bertemu dengannya, pasti akan tahu kalau ia sedang menangis. Tetapi, di perjalanan itu, di hutan itu, tak ada satu pun anjing, kecuali dirinya.

Anjing kecil itu terus saja menyusuri jalan hingga ia tiba di suatu tempat yang tak ia kenal. Ia tersesat di sana dan tidak lagi menemukan di mana rumah aslinya.

***

Sebelum menjadi anjing, Naelinnia adalah Naelinnia. Bocah kecil dengan mata mungil. Wajahnya lucu. Tetapi, naas menimpa dirinya. Pada waktu yang tak pernah diduga, ketika ia sedang sibuk bermain lompat karet di pekarangan rumah temannya, tiba-tiba tubuhnya rubuh. Tidak berselang lama kulitnya berbulu. Mulutnya meruncing membentuk moncong. Teman-temannya lari semua. Mereka terbirit-birit ketakutan.

Itu adalah suatu hari di mana Naelinnia menjadi anjing untuk pertama kali.

Naelinnia tidak tahu, ada peristiwa yang mungkin tak diduga siapa pun, yang kejadiannya bertepatan dengan berubahnya ia menjadi anjing. Itu terjadi di rumah dukun Mat Siwak. Dukun itu bisa mengubah siapa pun menjadi hewan, termasuk menjadi anjing. Tetapi, tentu saja ia tidak mungkin mengubah seseorang yang tak dikenalinya menjadi hewan. Untuk apa? Buang-buang waktu saja.

Ya, semua ini bermula ketika ibu Bandu datang ke rumah Mat Siwak dan berkata: Mbah Siwak, tolong, orang yang menghamiliku dulu ubahlah ia menjadi anjing. Ini ada upah untukmu, dan kuharap rencana ini berhasil.

Ibu Bandu membuka seluruh pakaiannya dan mengangkang di hadapan Mat Siwak sebab ia tak ada uang untuk membayar si dukun. Dan, kalaupun ada, pasti itu kurang. Karena sudah lama tidak menikmati kemaluan perempuan, Mat Siwak segera mengiyakan.

“Tunggu sebentar. Aku akan bekerja sesuai rencanamu. Kau di situ dulu, dan… boleh dengan tanpa busana.”

Ibu Bandu menaruh pantatnya di kursi tua, sambil melihat bagaimana si dukun bekerja. Ia mencium aroma dupa. Ia mendengar si dukun membaca mantra. Ia melihat asap dari ramuan yang dibakar. Asap itu menerobos lewat jendela dan seperti terbang ke angkasa.

“Tunggu sampai besok sore dan rencanamu akan berhasil. Sekarang, mari ikut aku.” Mat Siwak tersenyum penuh kemenangan sambil menggamit ibu Bandu yang masih dalam keadaan telanjang ke ranjang.

 ***

Bandu tak akan pernah mengira bahwa hidupnya akan sepahit ini. Ia berjalan menembus hutan sendiri dan berharap menemukan tempat lain selain tempat yang didiami ibunya. Itu ia lakukan setelah tiga hari lebih melihat ibunya masih dalam bentuk anjing. Karena sudah lebih dari tiga hari ibunya masih berbentuk anjing, maka Bandu memutuskan untuk mencari ibu yang lain.

Jauh sebelum itu, Bandu tidak tahu, ada peristiwa tak diduga siapa pun yang membuat hidupnya menjadi seperti ini.

Adiknya, Naelinnia, adalah hasil dari hubungan gelap antara ibunya dengan orang lain. Waktu itu, Bandu mengira Naelinnia adalah anak ayah kandungnya sebelum meninggal dunia. Si ibu tak pernah cerita mengenai itu kepada siapa pun. Si ibu hanya saja sering terlihat murung, bahkan walaupun Naelinnia sudah bisa bicara, sudah tumbuh giginya, dan sudah bisa bermain dengan teman-temannya.

Kemurungan itu terjadi karena yang menghamili ibu Bandu memilih pergi. Bahkan, tanpa alasan apa pun. Laki-laki menjijikkan itu pergi begitu saja setelah tahu nikmatnya mengeluarkan lahar di ceruk perempuan.

***

Bandu masih mencari seorang ibu. Sampai kurus tubuhnya, sampai dekil kulitnya, sampai lelah matanya, sampai awut-awutan rambutnya.

Di sebuah pasar yang tak dikenal, Bandu bertemu dengan seorang nenek penjual pecel baik hati. Nenek itu iba melihat Bandu duduk bersandar di tiang bendera dengan mata kosong. Si nenek menghampirinya dan memberi sebungkus nasi dan sebotol air.

“Barangkali ini cocok menjadi ibuku,” gumam Bandu.

Maka, ketika si nenek pulang, Bandu mengikutinya. Tetapi, belum sampai ke tujuan, Bandu sudah kehilangan jejaknya. Bandu terdampar di pingiran kota, tepat di bantaran sungai yang sudah tidak jernih lagi airnya.

Ketika melihat seorang perempuan mencuci baju di aliran air kotor itu, Bandu berbisik tanpa ragu-ragu, “Ya, ini cocok jadi ibuku.”

Ia merasa perempuan itu mirip ibunya: pakaiannya mirip, cara menggelung rambutnya mirip, tingkah-lakunya mirip, cara melepas pakaiannya mirip. Bandu menghampirinya. Tidak butuh waktu lama para warga memburunya karena perempuan itu berteriak, “Tolong, ada yang mau memperkosaku!”

Bandu dikeroyok, lalu dibawa ke kantor polisi. Tanpa disidang, Bandu dimasukkan ke sel untuk kemudian mendekam di penjara selama enam bulan.

***

Bulan-bulan telah berlalu dan ada masa di mana dua ekor anjing bertemu karena rindu. Mereka saling berpelukan di hutan dengan penuh haru.

“Ibu, kenapa nasib sebegini pahit?” kata si anjing kecil. Si ibu tidak akan menceritakan bagaimana bisa ia dan anaknya berubah jadi anjing. Selain akan membuat anaknya bersedih, hal itu juga sudah telanjur.

“Sudahlah, Anakku. Apa yang sudah terjadi, baiknya kita nikmati saja. Mari kita pergi dari sini. Di sini terlalu berbahaya buat manusia.”

Si anjing kecil bingung. Apakah kita masih bisa dikatakan manusia, pikirnya. Tetapi, itu tidak terlalu penting kemudian ketika ia melihat ibunya berjalan, yang ia tak tahu, akan ke mana tujuannya.

“Kita mau ke mana, Bu?”

Si ibu hanya diam. Dalam hati, ia mengatakan, kita akan mencari kebaikan-kebaikan.

Ketika berjalan bersama, mereka tidak tahu bahwa ada peristiwa yang menyedihkan di luar hutan. Itu adalah peristiwa yang dialami Bandu. Bandu menemukan seorang ibu yang lain dalam bentuk seorang perawan yang baik hati dan suka membantu siapa pun.

Ketika itu, Bandu bertemu dengannya dalam keadaan tidak bisa bicara, dan kalau dideskripsikan lebih lanjut, ia tengah kehabisan tenaga dan hampir menemui ajalnya. Perawan itu tidak sengaja menolongnya bersama orang-orang lain yang ia mintai tolong. Bandu dibiarkan tinggal bersama perawan itu dalam keadaan tak berdaya. Beberapa hari kemudian, Bandu mulai bisa bicara, “Mungkin ini cocok jadi ibuku.”

Tetapi, itu hanya terjadi dalam mimpi. Seorang polisi membangunkannya dan memberi kabar bahwa ia sudah bebas dari penjara.

***

Di ujung keputusasaannya mencari seorang ibu, Bandu bertemu seekor anjing, di sebuah kota yang padat, yang penduduknya tidak pernah saling sapa dan tak peduli dengan sesamanya. Anjing itu meninggalkan sepotong daging masak untuk Bandu tepat ketika ia kelaparan. Sungguh-sungguh kelaparan.

“Barangkali ini cocok jadi ibuku,” kata Bandu dalam hati dengan penuh keyakinan sambil mengambil daging itu dan memakannya. Si anjing melihatnya dengan penuh kasih sayang. Ketika anjing itu pergi, Bandu mengikutinya. Tetapi, anjing itu tak mau berhenti berjalan, bahkan ketika tahu Bandu sangat kelelahan.

Ketika melewati tumpukan sampah, Bandu tumbang. Si anjing memanggil sekawanannya dan kemudian mereka menggali lubang. Mereka menyeret Bandu bersama-sama dan menimbuninya dengan tumpukan sampah. Dalam peristiwa itu, Bandu tidak tahu, ada dua anjing (besar dan kecil) di antara anjing-anjing yang mengerumuninya, mengeluarkan air mata pada saat penguburannya.(*)


Penulis:

Daruz Armedian, lahir di Tuban. Sekarang tinggal di Jogja. Tahun 2016 dan 2017 memenangi lomba penulisan cerpen se-DIY yang diadakan Balai Bahasa Yogyakarta. Tulisannya pernah di koran Tempo, Media Indonesia, Suara Merdeka, Republika, Kedaulatan Rakyat, detik.com, basabasi.co, dll. Buku kumpulan cerpennya yang kedua, agaknya mau terbit tahun ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *