Resensi Buku
Madura: Spiritualitas, Tradisi dan Seni

Madura: Spiritualitas, Tradisi dan Seni

Judul: Madura Niskala
Penulis: Royyan Julian
Penerbit: Basabasi
ISBN: 978-623-305-260-3
Tebal: 168 hlm
Edisi: cetakan pertama, Januari 2022

Madura Niskala berupaya mengabstraksikan lanskap kebudayaan Madura yang condong berjalan dialektis, mengalami penyortiran, rekonstruksi, dan tukar tambah. Selain itu, Royyan Julian kerap membumbui esai-esainya dengan sesuatu yang jenaka dan segar untuk dinikmati, kita juga akan dibawa ke dalam cerita-cerita sejarah lokal masyarakat Pamekasan. Tentunya, terlepas dari fakta ataupun mitos, cerita selalu memberikan efek candu, kalau meminjam istilahnya Rene Wellek & Austin Warren, cerita selalu mewartakan dulce & utile dalam setiap lembaran kisah yang saling berkelindan di dalamnya.

Tak ada yang lebih sia-sia daripada membiarkan tradisi oral sirna dari singgasana penutur dan pendengarnya. Seperti pada suatu sore itu, persis lima ratus tahun lalu saat bumi Pamekasan diselimuti langit kalabendu. Pamekasan kemarau tiga tahun lamanya. Tak ada musim tanam, ternak-ternak kehausan, dan tanah retak-retak pertanda tak ada tirta yang mengalir dari rahim langit.

Kekeringan yang tugur di bumi Pamekasan, tentu membuat gundah gulana rajanya, panembahan Ranggasukawati. Akan tetapi, petang itu sang adipati bermimpi bahwa di jenggala sebelah tenggara kerajaannya ada orang suci bertapa sehingga langit enggan menurunkan hujan. Jika pertapa tersebut mendapat tempat berteduh maka Pamekasan akan segera hujan dalam waktu dekat.

Sebagai figur historis, mestinya Kyai Raba layak dikenang. Namun, alih-alih diingat sebagai tokoh sejarah, sebagai sosok legenda pun namanya cuma tercantum di buku-buku dongeng yang tertata rapi di rak perpustakaan tanpa ada yang membacanya.  Orang-orang tua tak lagi merasa perlu mewariskan pengetahuan yang merekam dalam memori kolektif kepada generasi selanjutnya. Masyarakat tradisional memiliki kearifan yang tak tepermanai yang ditransmisikan dengan modus tutur: hikayat, pantun, tembang, petatah-petitih, pun ritual dan upacara.

Menyoal keberadaan bhuju’ (kuburan) yang mengalami dekadensi, penulis memberikan siasat kreatif bagaimana mengangkat sejarah buram di masa lalu untuk kembali dikenalkan pada generasi saat ini: pertama, merestorasi keberadaan makam yang sudah rusak, kedua, mendirikan ikon tokoh di area wisata. Ketiga, memanfaatkan semua media sosial untuk memperkenalkan objek wisata ziarah. Keempat, sebuah objek wisata sejarah kurang afdal tanpa pemandu perjalanan (tour guide). Kelima, pasar cinderamata dan kuliner lokal perlu dibangun agar pengunjung bisa membeli oleh-oleh. Keenam, di tempat wisata ziarah harus ada pertunjukan seni. Keenam, terobosan yang ditulis penulis barangkali bisa dimaksimalkan  dari makam keramat yang ada di Pamekasan yang sepi pengunjung.

Khazanah tradisi lisan tersebut kemudian ditranskripsikan ke dalam teks tertulis dengan harapan agar orang-orang yang telah melek aksara dapat menyerap pengetahuan nenek moyang  secara sangkil. Tetapi persoalannya tidak semudah itu. Kebanyakan, anak-anak kita bukan pembaca. (hlm 13)

Royyan Julian menempatkan leluhur (bhuju’) sebagai axis mundi, pusat semesta. Sebab pada diri orang tua, Tuhan meletakkan rida dan restu. Orang Madura punya peribahasa bhuppa’, bhabu’, ghuru rato. Peribahasa tersebut menarasikan  hierarki penghormatan dari yang mulai tertinggi: mulai dari ibu, bapak, guru, dan pemimpin.

Titik kesakralan orang Madura juga tidak hanya menyangkut perihal leluhur dan orang tua. Akan tetapi orang Madura juga percaya bahwa, menjual tanah warisan leluhurnya akan mengundang laknat. Menjual tanah, secara simbolis sama dengan memperdagangkan nilai-nilai yang diberikan orang tua. Tanah dipersepsikan sebagai muasal hikmah, karamah, dan jati diri.

Peneliti Universitas Jember, Bambang Samsu, pada hasil risetnya, “Rumah, Tanah, dan Leluhur di Madura Timur” yang terhimpun dalam antologi Kepercayaan, Magi, dan Tradisi dalam Masyarakat Madura (2003) memberikan perspektif niskala pada taneyan lanjhang. Baginya, tanah pekarangan lebih sakral ketimbang lahan tegalan. Sebab, ketika meninggal, arwah nenek moyang menyatu dengan tanah miliknya. Oleh karena itu, menjual tanah pekarangan sama halnya dengan memperdagangkan leluhur.

Pada esainya yang berjudul ‘Kosmologi Pragmatis Manusia Madura’ diterangkan bahwa Madura tidak punya ideal metafisik macam orang Jawa seperti manunggaling kawula gusti atau sangkan paraning dumadi. Rifai juga merepresentasikan bahwa keberislaman manusia Madura cenderung menganut syariat ketimbang tasawuf/mistik.

Masyarakat Madura percaya bahwa hidup ditentukan oleh yang Mahakuasa. Ungkapan metaforis Mandhar bada’an li’ bali’na dadar yang dimaknai “Semoga ada perubahan nasib” menyiratkan kepasrahan orang Madura kepada takdir. Tetapi pasrah bukan berarti menyerah.

Orang Madura yakin bahwa ikhtiar bisa menukar iradat. Bahkan jika harus berlayar ke batas cakrawala demi menggapai harapan, mereka akan menempuhnya. Kenyataannya hamparan bumi ini tidak memiliki batas. Artinya, orang Madura akan terus berkelana, bukan ke tepi cakrawala, melainkan ke ujung waktu dan usia.

Taneyan lanjhang merupakan kompleks extended family yang terdiri atas sejumlah keluarga yang lengkap. Di taneyan lanjhang, rumah di posisi paling barat ditempati ayah dan ibu. Dikenal dengan nama patobin (rumah induk). Di timur rumah induk adalah rumah anak perempuan pertama yang sudah menikah. Begitu seterusnya, rumah-rumah dibangun berderet ke timur untuk anak-anak perempuan anak perempuan pertama yang sudah menikah.

Pola pemukiman orang Madura bercorak matri-uksorilokal di mana seorang suami tinggal di pekarangan istrinya. Istri menyiapkan rumah yang dibangun sang ayah. Kewajiban suami mengisi rumah itu dengan berbagai perabot yang dibutuhkan, seperti dipan, almari, dan lain-lain. Karena deretan rumah inilah pemukiman orang Madura memiliki halaman panjang. (hlm 43).

Selain menyebutkan pola pemukiman orang Madura yang bercorak matri-uksorilokal. Pada dasarnya, orang Madura berwatak kosmopolitan. Orang Madura tidak sulit menerima hal-hal baru. Dalam konteks ini, pihak yang keberatan justru pada budayawan/seniman terdidik yang mengusung keyakinan-keyakinan neotradisional.

Akhirnya, jika berbicara tentang Madura kita tidak akan bisa dilepaskan dari ritual dan pandangan orang Madura itu sendiri tentang kematian yang nyaris diadopsi sepenuhnya dari kepercayaan Islam. Identitas Madura memang tidak lepas dari agama jazirah Arab ini. Ketika seseorang mengaku berasal dari Madura maka ia akan secara otomatis dianggap Islam.

Hanya saja, legitimasi Islam pada  masyarakat Madura masih diwarnai  dengan masifnya pernikahan pernikahan dini, terutama yang bermukim di kampung-kampung. Perempuan kampung di Madura masih diorientasikan sebagai dua takdir: ia harus menjadi istri dan seorang ibu. Perkawinan anak di Madura sempat menjadi isu nasional dan disorot para feminis Indonesia sebagai kebatilan tradisi.


Penulis:

Fahrus Refendi. Merupakan alumnus Universitas Madura prodi Bahasa & Sastra Indonesia. Bergiat di Sivitas Kothѐka, LESBUMI dan menjadi salah satu tenaga pengajar di SDI Mabdaul Falah Sumenep Madura.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *