Esai
Sastra Islam

Sastra Islam

Dalam sebuah diskusi sastra di forum muktamar sastra  pesantren beberapa tahun lalu, seorang rekan bertanya: “Adakah sastra Islam?” Pertanyaan tersebut tanpa menunggu jawaban, diikuti pertanyaan-pertanyaan berikut: “Kalau sastra Islam itu ada, apa sebenarnya definisi berikut ciri-ciri sastra Islam tersebut yang membedakannya dengan sastra yang lain? Bagaimanakah posisi sastra Islam itu dalam sastra Indonesia modern? Apakah sastra Islam itu identik dengan sastra pesantren dan sastra sufi? Apakah sastra Islam harus mengutip ayat Al Qur’an atau hadist ?”

Ikwal sastra dan agama merupakan salah satu tema abadi di antara para sastrawan dan agamawan. Perdebatan menyoal sastra Islam itu sebenarnya tak hanya di masa-masa sekarang namun sudah dipicu sejak masa-masa awal Islam dan tampaknya akan menjadi perdebatan di masa-masa akan datang. Pendek kata, persoalan sastra Islam adalah polemik yang perennial atau abadi dalam sejarah kebudayaan Islam.

Perdebatan seputar sastra Islam seringkali dipicu berbagai hal. Pertama, berkaitan dengan gambaran imajinatif dan kreatif mengenai Islam, khususnya dalam penggambaran nabi, tuhan, dan kitab suci. Dalam perspektif sastra, para sastrawan nyaris tidak pernah menabukan imajinasi dan kreativitas, bahkan dalam pengimajinasian hal-hal yang sakral menyangkut tuhan, kenabian dan wahyu. Kemerdekaan imajinasi inilah kadang menjadi persoalan tersendiri dengan agamawan. Kedua, acapkali sastra menjadi wahana dalam memberikan kritik terhadap realitas pemahaman yang menyangkut pranata Islam, praktik sosio beragama, kelembagaan, bahkan posisi keulamaan, sehingga karena muatan kritik tersebut menjadikan ketegangan sastra (wan) Islam versus agamawan.

Sebagai salah satu jenis kesusastraan tentu saja sastra Islam itu ada. Secara teori perjumpaan sastra dengan Islam sangat dimungkinkan karena sastra memiliki kelindan dengan aspek religi. Sastra sebagai salah satu fungsi bahasa yaitu sebagai alat ekspresi jiwa, perasaan dan pikiran manusia dapat berperan sebagai alat mengekspresikan perasaan religius atau ketuhanan, perasaan rindu dendam manusia dengan Tuhannya.

Perjumpaan sastra dengan agama (termasuk Islam) sangat mungkin terjadi. Toshihiko Izutsu mengatakan bahwa tuhan dan manusia selalu memiliki relasi yang khusus. Relasi ini tak terjadi secara sederhana dan tak juga unilateral tapi bersifat ganda, kompleks, bilateral dan timbal balik. Relasi tuhan dan manusia ini oleh Izutsu dikategorikan dalam empat tipe. Tipe pertama, adalah relasi ontologis yaitu memposisikan tuhan sebagai sumber eksistensi manusia dan manusia sebagai representasi yang eksistensinya berasal dari Tuhan. Tipe kedua, adalah relasi komunikasi yang berarti Tuhan dan manusia dibawa ke dalam korelasi yang dekat dan akrab satu sama lain. Tipe ketiga adalah relasi Tuhan-hamba. Relasi ini melibatkan Tuhan sebagai Tuan (Rabb), dan mendudukkan manusia sebagai hamba (abd). Tipe terakhir atau keempat adalah relasi etik yang menggambarkan ada kontradiktif dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, yaitu ada perasaan gentar dan takut terhadap Tuhan sekaligus merindukkan kasih sayang sekaligus syukur kepada Tuhan. Rudolf Otto mengistilahkan sebagai mysterium tremendum atau misteri yang menakutkan sekaligus misteri yang menakjubkan (mysterium fascinosum) penuh rasa cinta dan kasih sayang.

Khasanah kebudayaan Islam mendudukkan sastra di posisi penting. Bahasa Arab, mengistilahkan sastra sebagai adab dan sastrawan sebagai adiib (orang yang beradab). Syair-syair dan karya sastra dijadikan sebagai adab ad Dakwah yaitu karya sastra keagamaan yang mengajak kembali ke jalan yang benar, mengajak taubat kembali ke jalan Allah. Sastra dakwah ini sebenarnya sudah muncul sejak zaman Nabi Muhammad.

Kanjeng Nabi Muhammad memiliki sastrawan-sastrawan Islam di antaranya Hassan bin Tsabit (yang terkenal dengan syairnya syair ar rasul dan digelari penyair Nubuwwah), Ka’ab bin malik, dan Abdullah bin Rawahah. Para sastrawan ini melalui pena dan karyanya membela nabi dan mengagungkan nabi melalui syair-syair. Pun setelah nabi wafat dan Islam dipimpin oleh khilafah Abbasiyah, sastra Islam sebagai sarana dakwah mencapai puncak keemasan dengan nama-nama sastrawan seperti Abul ‘Ala al -Ma’arri, al-Mutanabbi, Maulana Jalaludin Rumi, Rabi’ah al-Adawiyyah, dan sebagainya.

Jadi jelas dan tegaslah bahwa perjumpaan sastra dan agama itu menjadikan titik tolak keberadaan genre sastra Islam. Menurut saya, sastra Islam adalah karya sastra atau teks sastra (baik novel, cerpen, puisi, maupun drama) yang ditulis oleh orang yang memeluk agama Islam dan teks tersebut memiliki nilai-nilai Islam. Teks sastra Islam  dalam menampilkan nilai-nilai Islam ada yang secara eksplisit, tersurat dan terang benderang ada  pula yang secara implisit, tersirat, samar dalam membiaskan nilai-nilai Islam.

Teks-teks sastra Islam yang secara eksplisit, tersurat serta terang benderang memancarkan nilai-nilai Islam memang diniatkan sebagai media dakwah penyiaran agama Islam. Dengan kata lain, memiliki visi dakwah dan syiar penyebaran agama Islam sehingga tidak mengherankan bila warna Islam disampaikan secara eksplisit, tersurat, dan terang benderang, bahkan dengan sengaja mengutip ayat-ayat suci Al Quran.

Di sisi lain, ada pula teks sastra Islam yang tidak berambisi menjadi media dakwah sehingga tidak secara eksplisit menyuarakan Islam, namun hanya memunculkan atau membiaskan nilai-nilai Islam sehingga lebih tampak universal dan humanis. Tentu saja kedua bentuk teks sastra Islam ini memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing.

Di masa-masa sebelum kesusastraan Indonesia modern atau setidaknya sebelum era Balai Pustaka, sastra Islam pernah berjaya di Nusantara. Sastra-sastra Melayu seperti Syair Perahu (karya Hamzah Fansuri), Tajussalatin (Nuruddin ar raniri), Gurindam Duabelas (Raja Ali Haji) atau serat-serat dan suluk di Jawa seperti Suluk Wujil, Serat Wirid Hidayat Jati, Serat Malang Sumirang, Serat Sasangka jati, Pepali Ki Ageng Selo,tembang-tembang karangan Sunan Kalijaga dan sebagainya, menunjukkan jatidiri sastra Islam sudah ada dan mencapai kejayaan sebelum kesusastraan Indonesia modern.

Namun, tak bisa dipungkiri justru saat era kesusastraan Indonesia modern, sastra Islam di Indonesia mengalami masa-masa surut, terpinggirkan bahkan marginal. Di era kolonial karena kepentingan politik dan konspirasi terselubung pemerintah kolonial Belanda, menjadikan sastra Islam minggir dan marginal. Menurut Maman S Mahayana (2008), kehadiran Balai Pustaka walaupun berjasa meletakkan tradisi penulisan sastra modern Indonesia, namun mengandung muatan kepentingan politik dan ideologi, di antaranya proses peminggiran sastra Islam. Proses peminggiran tersebut ditandai dengan pemaksaan penggunaan aksara latin yang diberlakukan pada semua wilayah jajahannya di seantero Nusantara. Akibatnya, sastra Islam yang sudah berurat berakar dalam khazanah kesusastraan Melayu menjadi tergusur.

Di dasawarsa 1970an-1980an hingga awal 1990, wacana sastra Islam sempat menguat dalam sastra Indonesia modern dengan bergulirnya warna sufistik dalam sastra Indonesia modern dengan semangat kembali ke akar tradisi Islam. Namun, sayang sekali semangat untuk meneguhkan jatidiri sastra Indonesia dengan nafas dan semangat serta nilai keIslaman tersebut hanya hangat-hangat tahi ayam dan melempem saat ada gelombang trend sastra perempuan dalam konstelasi sastra Indonesia.

Surutnya keberadaan sastra Islam di Indonesia ini juga diakibatkan oleh karena minimnya kajian-kajian atas sastra Islam. Universitas-universita yang memiliki program atau jurusan sastra, seperti UI, Undip, UGM, Unpad, Unesa, UM dan sebagainya tidak banyak yang melakukan penelitian atau kajian atas teks-teks sastra Islam. Mereka lebih tertarik mengkaji dan meneliti sastra-sastra Barat dengan berbagai teori Barat, mulai dari Derrida hingga Foucault, tidak dari karya-karya Persia, Kairo, Lahore, New Delhi atau Turki.

Pemaparan sejarah sastra Indonesia di kurikulum sekolah pun menunjukkan adanya keterputusan. Sastra Islam tidak pernah khusus dibicarakan di pengajaran,  baik dalam konteks sastra lama atau sastra modern. Sastra Indonesia tiba-tiba saja melompat ke sastra zaman kolonialisme dan pasca kemerdekaan dengan mengabaikan keberadaan Sastra Islam Sastra-sastra Islam seperti karya Chik Pante Kullu, al Battani, al Banjari, Syekh Yusuf, Ranggawarsita, Sunan Bonang tidak pernah intens ditelaah dan dijadikan pengajaran di bangku sekolahan.

Di kalangan para pemeluk Islam pun, banyak yang memiliki sikap prohibisionisme dan sinis dalam memandang teks-teks sastra. Mereka secara tidak adil menilai sastra sebagai menyesatkan dan merusak moral. Mereka acapkali menghujat teks-teks sastra Islam yang berpotensi nyeleneh, otokritik  dan kontroversial. Bahrum Rangkuti pernah mengatakan bahwa citra Islam dalam kesusastraan Indonesia modern belum sampai pada hal yang ideal karena bertalian dengan corak dan sifat pemikiran para ustad, ulama dan pemeluk agama Islam di Indonesia yang acapkali tidak siap berhadap-hadapan dengan arus pemikiran yang kontroversial. Kendala yang rawan ini menyebabkan terasingnya teks-teks Islam dari Pakistan, Persia, Turki yang sarat pemikiran baru dan aliran seni baru acapkali dianggap kebablasan oleh masyarakat muslim Indonesia. Bahkan masih banyak anggapan di kalangan pemeluk Islam Indonesia, utamanya yang terlampau fanatik, bahwa buku-buku bacaan termasuk sastra lebih banyak mudharatnya karena cenderung menggambarkan syahwat. Mereka juga mengacu surah Asy-Syura yang melukiskan para penyair/sastrawan adalah pengembara di tiap-tiap lembah bersama para syaitan.

Bagaimanapun juga keberadaan sastra Islam di Indonesia harus tetap diperjuangkan. Sudah saatnya sastra Islam menjadi salah satu alternatif terpenting dalam genre sastra Indonesia. Para pemerhati kebudayaan Islam di Indonesia harus menciptakan ruang yang selapang-lapangnya bagi penciptaan sastra Islam. Para sastrawan islam pun harus menyadari bahwa menulis sastra Islam berada pada dua tarik menarik, yaitu pada aspek dakwah dan aspek estetika. Aspek dakwah dalam sastra Islam bisa menyebabkan estetika teks sastranya lemah karena terjebak pada propaganda, sebaliknya jika terlampau mementingkan estetika akan menyebabkan kaburnya semangat syiar. Tampaknya akan lebih tepat jika sastra Islam lebih mentransformasikan pengalaman batin dan pandangan hidup ketauhidan yang mendalam yang melahirkan hikmah.

Akhirnya, apakah sastra Islam akan tetap menarik untuk dicermati perkembangan dan posisinya dalam konstelasi sastra Indonesia di masa mendatang? Akankah sastra Islam nanti bisa mengambil posisi penting dalam percaturan sastra Indonesia? Biarkan waktu yang akan menunjukkan! []


Penulis:

Tjahjono Widarmanto. Penulis adalah sastrawan dan pendidik yang tinggal di Ngawi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *