Cerpen
Menunggu As

Menunggu As

“AKU harap kau datang, As.”

Aku pulang dengan tangan hampa. Tidak ada yang bisa dibanggakan selain keselamatan jiwa ini. Antara bersyukur dan perlu memaki, aku tidak tahu apa yang harus dilakukan sekarang. Aku hanya punya alasan untuk bersyukur. Nyawa yang masih tertanam dalam raga adalah hal yang perlu disyukuri. Namun, aku juga berhak memaki kehidupan. Di umur yang semakin lanjut, aku merasa semakin miskin. Entah miskin harta maupun miskin bahagia.

“As, sampai kapan kamu tak kunjung datang?”

Kata orang, rumahmu adalah surgamu. Akan tetapi tidak berlaku demikian kepadaku. Tidak selamanya rumahku adalah surgaku. Rumah bisa menjelma neraka ketika aku pulang dengan tangan hampa. Pertanyaan istri tentang hasil dari kerja pagi pulang malam selalu membombardir telinga. Aku tidak mungkin bisa menjawab pertanyaan itu secara jujur. Aku harus pintar bersilat lidah; membuat alasan ini itu merupakan jalan terbaik ketimbang jujur. Untuk masalah ini, aku tidak bisa jujur. Kalau aku jujur, bakal ajur.

“As, apakah kau masih tidak ingin bertemu denganku?”

Aku menatap diriku di dalam cermin. Lihat! Ada orang bodoh ternyata di dalam cermin. Ya! Nyatanya aku memang bodoh dan tak tahu diri. Mengapa aku bisa melakukannya tanpa memperdulikan akibatnya. Kalau sudah demikian, tidak ada banyak hal yang bisa aku lakukan. Aku hanya bisa berharap Tuhan memberikan belas kasihan yang dahsyat sehingga aku bertobat. Aku merindukan tobat, ketenangan hati, dan ibadah lurus.

“Kamu masih berharap dengan As, Mas?” bentak istriku.

“Ya, Dik. Mas masih berharap sekali dengan As.”

“Aku sudah tidak tahan kalau kelakuanmu seperti itu terus, Mas. Aku mau pulang saja ke rumah orang tuaku.”

“Jangan, Dik. Dengarkan dulu alasan Mas.”

“Sudah cukup. Tidak ada yang perlu Mas jelaskan.”

Malam itu istriku benar-benar pergi meninggalkanku. Ia juga membawa anak kami yang masih menggemaskan itu. Tidak ada yang aku miliki sekarang ini. Hanya penyesalan yang masih ada dalam saku celana. Kau benar-benar keparat As.

Suara motor tukang ojek menjauh dari rumah. Istriku pasti sudah bertekad untuk meninggalkan suaminya. Aku benar-benar kesepian. Hanya bisa menatap cermin yang menampilkan sosok lelaki bodoh. Jika aku bisa berbicara dengan sosok di dalam cermin, aku akan menasehatinya, menceritakan bagaimana seharusnya dia melangkah.

Suara motor mendekat ke rumah. Barangkali istriku sudah memaafkan suaminya dan berbaik hati merawatnya lagi. Namun, suara knalpot motor tukang ojek tadi dengan knalpot yang mendekat agak berbeda. Biar kutunggu siapa yang masuk ke dalam rumah.

Dia mengetuk pintu. Suara lelaki memanggil namaku. Itu bukan istriku, suara lelaki tidak dimiliki seorang istri. Pasti yang mengetuk pintu Asep, teman sepermainanku setiap malam. Ia menggedor pintu lebih keras karena tak kunjung dibukakan. Antara malas dan tidak enak, terpaksa kaki ini melangkah. Berjalan, lalu tangan membukakan pintu.

“Aku tadi berpapasan dengan istrimu. Ke mana dia?” tanya Asep begitu berhadapan denganku.

“Aku tidak tahu. Mungkin dia ingin bertemu orangtuanya.”

“Kalian habis bertengkar?” Tanpa aku menjawab nampaknya ia sudah tahu jawabannya. “Perempuan itu luluh dengan yang namanya uang. Benar, tidak?”

“Benar.”

“Ya sudah, kita cari uang saja. Biar cepat tersudahi pertengkaran ini.”

“Cari uang di mana? Sudah malam begini. Lagi pula besok pagi aku kerja.”

Tanpa ba-bi-bu Asep menyeretku keluar rumah. Ia mengajakku menaiki motornya. Tentu sebelum pergi, aku kunci pintu rumahku dulu. Kami pergi ke suatu tempat yang tidak asing bagi kami. Sebenarnya aku tidak begitu yakin dengan saran Asep. Aku sudah tidak percaya dengan tempat yang Asep anggap dapat menyelesaikan masalahku.

“Coba dulu. Siapa tahu jodoh.” Asep terus meyakinkanku.

Kami masuk ke tempat itu. Seperti biasa, kawan-kawanku seperti Joko, Retno, dan Darno sudah berada di sana. Mereka sudah menghabiskan setengah gelas untuk masing-masing kepala.

“Kopi dua gelas, Bu.” Asep memesan kopi ke penjaga warung.

Asep kembali menyeretku. Ia mengajak duduk di antara laki-laki tadi.

“Katanya sudah berhenti,” ucap Joko.

“Iya, katanya tobat. Takut sama istrinya,” tambah Darno.

Aku naik pitam. Bukannya disambut baik sebagai teman, mereka malah mencemooh. Memang teman yang biadab. Membuat aku ingin buru-buru pergi. Sayangnya, tanganku ditahan Asep. Ia menenangkan dan membuatku duduk kembali di kursi.

“Sudah jangan dengarkan. Kamu buktikan bahwa mereka itu pengecut,” bisik Asep.

Dada ini semakin panas mendengar kalimat provokasi. Pikiran tidak bisa menjadi jernih dan keputusan ini aku pilih mentah-mentah.

“Jadi kamu mau mencoba mendapatkan As lagi?” ejek Joko.

“Tentu saja. Aku ingin melihat kalian merengek seperti anak kecil yang merindukan As.”

Kali ini aku bergabung dengan ketiganya. Sedangkan Asep menikmati kopinya dulu. Ia hanya ingin menonton pertandingan kami. Oh, tidak. Tepatnya, pertandingan aku melawan mereka bertiga. Nampaknya mereka bertiga sudah kongkalikong untuk menjatuhkanku. Dilihat dari gerak-geriknya, mereka memang seperti punya niat tidak baik.

Kartu sudah dibagikan. Aku berharap As bisa datang kepadaku. Melihat Joko yang mengocok kartu, mulutmu terus komat-kamit menyebutkan nama As. Ketika kocokannya berhenti, aku tidak berhenti menyebut As. Justru lebih cepat dengan tetap menjaga kelirihan suaraku.

Kartu sudah dibagikan. Dua As berupa As waru dan As keriting berada di tanganku. Tentu rasa senang bukan main merambat ke wajah ini. Seolah-olah mereka adalah akar yang terus menarik pipiku untuk selalu tersenyum. Tentu, ketiga pria tadi curiga, namun permainan tetap berjalan hingga aku benar-benar dimenangkan oleh As.

Kekalahan mereka membuat adrenalin terpacu. Pertandingan kedua berlanjut dan menghasilkan kemenangan untuk diriku. Pertandingan ketiga berlanjut lagi, dan menang menghampiri diriku. Hingga pertandingan keempat terjadi dengan jumlah taruhan yang menggilakan.

“Aku dengar istrimu sedang kabur ya?” Joko berusaha memanas-manasi.

“Perjudian ini tidak ada hubungannya dengan istriku. Diam kau, Joko!”

“Oh tentu ada. Bagaimana taruhannya adalah istrimu?”

“Sudah gila apa? Maksudmu apa?”

“Tenang dulu. Aku jelaskan dulu. Jika kamu menang, seluruh sertifikat tanah kami untukmu. Kalau ditotal bisa lima ratus juta. Tapi jika kamu kalah, uang yang sudah kau peroleh tadi tetap untukmu. Cuma, biarkan kami meniduri istri selama semalaman.”

Aku merasa menjadi manusia api. Kata-kata gila Joko membuatku hampir mengamuk. Lagi-lagi Asep menenangkanku dengan kalimat-kalimat manisnya.

“Tenang saja. Hanya semalam kok. Lagi pula istrimu sudah tidak perawan. Ditambah kau sekarang sudah memegang uang lima juta, kan lumayan. Syukur-syukur kamu bisa menang dan membahagiakan istrimu.”

Entah logika macam apa yang aku pakai, pertaruhan akhirnya dilaksanakan. Kini bukan lagi komat-kamit yang aku lakukan, namun menyebut nama As dengan suara agak lantang. Tentu saja tidak ada pengaruhnya. Sebab judi masalah keberuntungan. Aku pun hanya mendapat satu buah As. Tentu saja kecewa dan takut sempat menghantui. Namun, perjanjian telah dilaksanakan dan permainan ini harus segera diakhirkan.

“Masih mau lanjut?” ketus Joko.

“Ayo.”

Satu per satu kartu jatuh di atas meja. Aku tersudut dengan kartu kecil yang ada di tangan. Sebisa mungkin kartu As jangan sampai keluar duluan. As adalah senjata terakhir. Namun, lama-kelamaan aku terdesak. Kartu As satu-satunya keluar. Sialnya setiap dari mereka mempunyai satu kartu As, kami sering dalam jumlah. Tapi, untuk nominal kartu, aku masih kalah unggul dengan Joko.

Senyum sinis terpaut di bibirnya. Seperti mencium aroma kemenangan, ia semakin sombong dan tengil. Aku tetap serius, tetapi nasib berkata lain.

“Bersiaplah untuk kalah.” Joko melemparkan kartu terakhir, dan itu adalah sebuah tanda kemenangannya. Joko tertawa sambil mengoceh tak jelas. Sesekali ia memanggil-memanggil nama istriku. Tentu kupingku langsung panas. Asep berusaha mendinginkanku, tapi emosi sudah di ubun-ubun.

Satu bogeman tanganku melayang ke bibir Joko. Namun, dua temannya langsung memegangku. Kini gantian Joko yang melakukan bogeman bertubi-tubi.

“Satu As untuk pengecut.” Pukulan pertama dari Joko mengarah pipi kanan.

“Dua As untuk orang tak tahu diri.” Pukulan kedua Joko mengarah pipi kanan.

“Tiga As dan empat As untuk pecundang.” Dua tangan Joko mengarah ke perutku.

Seketika aku tak sadarkan diri dan jatuh di antara As-As yang aku rindukan.[]


Penulis:

Bagus Sulistio, lahir di Banjarnegara, 16 Agustus 2000. Berdomisili di Pondok Pesantren Al-Hidayah, Karangsuci, Purwokerto. Saat ini berstatus sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Arab dan mentor kepenulisan cerpen di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) IAIN Purwokerto. Ia juga menjadi wakil ketua Forum Lingkar Pena (FLP) ranting Banjarnegara dan anggota di KPBJ.

Karyanya pernah menjadi nominator sayembara esai Balai Bahasa Jawa Tengah, Juara 2 esai bahasa Arab FAC FEBI IAIN Purwokerto, Juara 2 Lomba Cerpen Nasional FAH UIN Jakarta, terdokumentasikan dalam beberapa antologi cerpen serta tersiar pada beberapa media seperti Suara Merdeka, Kompas Id, Islami.co, Minggu Pagi, Solopos, Banjarmasin Post, Harian Sultra, dan masih banyak lagi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *