Resensi Buku
Membaca Sisi Lain Manusia Ala Royyan Julian

Membaca Sisi Lain Manusia Ala Royyan Julian

Judul: Pendosa yang Saleh
Penulis: Royyan Julian
Penerbit: Cantrik Pustaka
Cetakan: Pertama, 2021
Tebal: 128 hlm
ISBN: 978-602-0708-97-3

Karya sastra merupakan gudang segala kemungkinan, di dalamnya mesin realitas masyarakat berputar, berbagai permasalahan dapat terjadi, bahkan ketidaklaziman manusia juga dapat ditemukan dalam ruang sastra itu sendiri. Membaca kemungkinan dalam sastra, gaya-gaya Danarto lebih dulu dielu-elukan, atau Iwan Simatupang dengan gaya eksperimentalnya menjadi gelombang baru sastra Indonesia, bergeser lebih dekat ada Ayu Utami dengan Saman dan Larung yang mengagumkan, juga Eka Kurniawan dalam Cantik itu Luka memadukan lazim dan tidaknya tokoh yang dikandung membuat pembaca terpanah. Tapi, apakah masih diperlukan pelabelan tersebut di zaman penulis digital sekarang? Baru-baru ini salah satu karya dengan bentuk cerita yang mencuri perhatian dengan metafiksi yang dipermainkan adalah karya Royyan Julian, Pendosa yang Saleh.

Novel terbitan 2021 yang tidak lebih dari 150 halaman ini secara keseluruhan berisi tiga bagian, biografi pengarang, cerita novel, dan catatan.  Berdasarkan pemahaman atas novel Pendosa yang Saleh, menarik untuk mengungkapkan satu sisi dari novel ini, yakni tentang sisi lain (manusia) khususnya kesan tentang adanya pemunculan amanat yang ingin disampaikan kepada pembaca. 

Amanat yang diungkapkan Royyan, secara umum, terasa lebih realitas, tidak semua orang dengan latar keluarga baik bukan berarti tak pernah melakukan kesalahan, lebih tepatnya sisi gelap yang ditutupi. Jika amanat tersebut dipadukan dengan kehidupan saat ini  tawaran untuk memperlihatkan yang baik dan menyembunyikan yang kurang baik seakan perlu, sehingga tidak terjadi penurunan kualitas diri di masyarakat.

Kritik ini tidaklah berarti menutup kemungkinan apresiator lain tanggapannya berbeda, sebab novel ini agak sama dengan novel terdahulunya Royyan. Keabstrakan pemikiran atau ide perihal yang dianggap tabu dengan dialog cerdik yang mengguncang iman disertai balutan religi inilah Royyan Julian mengajak pembaca menginterpretasi makna yang tersirat. Kemungkinan adanya perbedaan makna pada karya sastra itu wajar adanya, setiap pembaca memiliki hasil proses pembacaan yang didasari pada latar belakang tertentu. Maka dari itu, diperlukan interpretasi yang berkesinambungan.

Novel ini bercerita tentang seorang anak kiai dan pemilik pesantren bernama Mubarak (dengan sisi lain yang seakan disembunyikan). Ia menyadari dirinya sebagai pedofil dan memilih kuliah di Pameling demi menghindari anak-anak. Sepanjang novel, pembaca diajak mengintip bagaimana seorang pedofilia mengendalikan dan memuntahkan hasratnya, menelusuri sebab musabab Ia menjadi pedofil, dan tokoh-tokoh di sekelilingnya yang juga mempunyai sisi gelap. Dari sana, Royyan melakukan pendekatan pada kenyataan yang sedikit mengusik pembaca umumnya.

Pertama, dari judul novel, Pendosa yang Saleh, bagaimana diksi pendosa dapat disandingkan dengan diksi kesalehan yang jelas jelas berbenturan, bagaikan hitam dan putih, seperti dua makna yang tidak mungkin dalam satu raga. Namun, bukan berarti tidak ada, layaknya dua sisi koin, berbeda tapi dalam satu keping. Disinilah Royyan Julian menghadirkan sisi lain dari manusia melalui novelnya. Pembaca seakan merdeka dalam menciptakan horizon sendiri sebelum menjelajahi tiap lembar kisahnya. Lebih jauh lagi, konsep dari seorang “pendosa” dan “kesalehan” mengukir tiap kisah, antara seorang anak kiai yang melepaskan pesantren demi menghindari anak-anak dan tindak tabunya.

Membuka lembaran pertama, akan disuguhkan kutipan dari salah satu kitab, “Dan mereka dikelilingi para bocah yang tetap belia. apabila melihat mereka, kau akan menduga anak-anak itu mutiara yang bertaburan” (hlm 1). Terdapat dua kata kunci “bocah” atau anak-anak dan “mutiara” yang memancing pembaca seolah cerita ini berkaitan erat dengan dunia anak, atau sebaliknya. Masih pembuka novel, di tengah ketidakberdayaan Mubarak, Ia dibesuk seorang nabi dengan sabda “Jangan cemas Anakku. Surga juga disediakan bagi para pedofil yang saleh” (hlm 9). Royyan memang concern dengan dunia religius, sebagaimana karya sebelumnya Rumah Jaddah dan Tanjung Kemarau yang juga mengangkat religiusitas untuk dikonsumsi. Berlanjut novel Pendosa yang Saleh ini flashback persoalan hidup Mubarak dari kecil hingga dewasa. Terlebih pernyataan melalui dialog beragam perspektif, seperti argumentasi Zainal yang mengungkap seksualitas ulama yang ganjil didengar publik bahwa, “Tapi ada lo ulama yang homo. Bahkan dia juga pedofil.” (hlm 12).

Soal fantasi Mubarak, digambarkan rumah penuh dengan mainan, poster figur publik anak-anak, bahkan boneka Barney and Friends sebesar manusia untuk melampiaskan hasrat seksualnya sembari membayangkan anak-anak yang berlarian serta bersetubuh dengan mereka. Fantasinya tersebut tertutup, hanya dirinya sendiri yang tahu, terhadap pacarnya sendiri, Mubarak enggan memberitahu seperti dalam kutipan “Andai kamu tahu, Sayang. Batin lelaki itu, tapi kamu tidak boleh tau. Tak seorangpun boleh tau.” (hlm 75). Menyeramkan memang, tapi demikianlah cara Royyan mengusik kenyamanan membaca kita, dihadirkan sisi-sisi ekstrem yang selama ini muncul sebagai stigma umum dalam wujud yang sebaliknya.

Selain Mubarak, pacarnya bernama Rosiana (seorang kristen yang taat) juga memiliki sisi tidak lazim. Berbeda keyakinan dengan sang kekasih tidak membuat keduanya berselisih paham, sebaliknya pernyataan-pernyataan dari Rosiana inilah yang membuat novel lebih hidup. Soal interaksi Rosiana dan Mubarak dalam novel sejatinya cukup mengganggu, di satu sisi mengusik pembaca karena dua orang yang sama-sama paham agama malah bersenggama kala adzan berkumandang, di sisi lain muncul dekonstruksi cerita Timun Mas dari Rosiana perihal peristiwa Mbok Rondo mendapatkan seorang anak, bukan membelah timun lantas muncul bayi seperti cerita awam, melainkan penggambaran Buto Ijo yang gagah perkasa serta syahwat janda tua itulah yang melahirkan timun mas. Semuanya diramu dalam novel yang cukup pendek dengan keberhasilan yang harus diacungi jempol. Royyan tidak main-main menghadirkan dunia dalam kepala pedofil sekaligus keseriusan mendobrak cerita di masyarakat.

Setiap bab dalam novel Pendosa yang Saleh mampu menghipnotis pembaca dari tokoh Mubarak beserta tokoh lain yakni teman, pacar, dan murid bimbingan belajarnya ini melalui berbagai sisi ketidaklaziman yang kian mencekam. Ada tujuh bab diantaranya ‘Wildan Mukhallad’, ‘Timun Mas’, ‘Bukit Kerubim’, ‘Barney & Friends’, ‘Peniup Seruling dari Hamelin’ ‘Gadis Kecil Bertudung Merah’, dan ‘Hansel & Gretel’. Sekilas masing-masing bab lekat dengan anak-anak karena menampilkan judul cerita anak, akan tetapi sisi anak-anak di sini menjadi arti lain dari pendukung keganjilan Mubarak. Rasa cinta dan sayang pada bocah bernama Barabas (adik dari pacarnya)  inilah yang membungkus penyebab awal Mubarak jatuh dalam nasib nahas, ke bukit tengkorak yang menyengsarakan (hlm 94).

Membaca paradoks lainya, tokoh Habib Umar hadir sebagai pemimpin ormas Laskar Mati Syahid yang rela menaruh atribut ke ulamanya demi ongkang angking kebutuhan pemuas birahi di hotel murahan, padahal Habib dan anak buahnya kerap kali merazia hotel-hotel elit untuk berteriak anti kemaksiatan, tapi malah melakukan tindak sebaliknya. Sisi seperti inilah mengusik pembaca dan melemparkannya dalam cermin sastra, bukankah manusia tidak sepenuhnya putih?  Pemikiran tersebut menjadi kesalahan terlewati, terbungkam dengan topeng yang diperlihatkan.

Itulah beberapa uraian “Sisi Lain Manusia yang ditawarkan Royyan Julian kepada pembaca dalam novel Pendosa yang Saleh” novel ini juga mengajak pembaca mendiskusikan hal-hal sensitif, seperti agama, seksualitas, pernikahan, ormas, dan berbagai pemikiran lainnya. Pendosa yang Saleh tidak memandang latar belakang seseorang, hanya saja Pendosa yang Saleh mensyaratkan bagi seseorang yang mau diajak berpikir dan merayakan pikirannya. Dan setiap orang memiliki sisi lain dalam dirinya yang diketahui atau disembunyikan rapat dari sekelilingnya.


Penulis:

Meilisa Dwi Ervinda, Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *