Puisi
Puisi YS

Puisi YS

1

Bermimpi Begitu Menakutkan

Aku selalu berkata pada pembatas buku di halaman terakhir, dan jendela kamarku yang bermandikan pagi,
jika setelah sepuluh tahun yang tersisa dariku hanyalah jiwa tanpa denyut nadi,
aku akan membawa mimpi-mimpiku menembus gugusan bintang dan abadi.
Aku tidak takut hilang keberanian,
aku tidak takut berdarah dan menggeliat keperihan.
Aku takut kehabisan energi saat aku hampir menamatkannya,
dan tidak ada yang mampu menghidupkan kembali harapan-harapan yang telah binasa.

Teman-temanku menggoda dengan cinta, namun aku hanya berkunjung sementara.
Hari-hari kian berganti lebih cepat dari detik berlalu,
saat orang-orang berlari menerobos hujan di stasiun, aku masih menunggu.
Cahaya di mata mereka mulai memudar bagai kota di bawah senja,
ruas-ruas di kulit saat mereka tersenyum kini membekas lebih lama,
aku tahu tidak ada yang bertahan selamanya.
Anak-anak terjatuh untuk pertama kalinya saat naik sepeda,
tetapi besok kau tidak akan mengenali siapa yang mengantarmu pulang dengan mobilnya.

Aku tidak tahu bermimpi bisa begitu menakutkan.
Kau menyusuri semak belukar dengan kaki telanjang,
menyeburkan diri tanpa mengukur sedalam apa lautan,
terjaga semalaman hingga serak dan batuk-batuk datang,
dan mereka masih tak bisa melihat luka-luka kecilmu di telapak tangan.
Kata-kata tetangga kadang menyakitkan dan menghancurkanmu berkeping-keping.
Namun cintamu pada mimpi-mimpi memungutinya kembali,
menyusunnya ulang bagai bermain bongkahan puzzle.
Dan saat kau sadari satu bagian hilang dari tubuhmu,
kau akan mengerti bahwa waktu demi waktu,
usia mencuri kesempatanmu ‘tuk mewujudkan itu.

Bermimpi bisa begitu menakutkan, ternyata.
Orang-orang menyerah dan membunuhnya sebelum alarm berbunyi,
dan mereka berpura-pura tidak menyesali saat itu tidak datang untuk kedua kali.
Namun saat kau sudah menyerahkan apa saja,
dan kau tahu mimpi tidak pernah diberi harga,
kau seperti bayi yang sedang belajar berjalan:
hilang keseimbangan, menangis dan dipeluk oleh ibunya.
Tetapi dia akan tetap mencobanya lagi,
‘tuk tahu bahwa tanah tidak seberbahaya meragukan mimpi,
dan gravitasi tak sekuat itu untuk menahanmu mengejar matahari.

Bermimpi bisa begitu menakutkan, terkadang.
Kegagalan orang-orang membuat kita semakin ngeri,
namun keberhasilan mereka tak cukup mendorong kita meyakini.
Bila aku tak lagi memiliki mata untuk melihat,
kubiarkan naluri menuntun melewati kegelapan.
Ikatan pada mimpi lebih kuat dari dinding yang dapat menghalangi.
Karena aku tidak ingin mati hari ini.
Jika besok takdir membawaku ke tempat aku hendak menjadi,
aku ingin hidup 1 abad lagi.
Akan kutemukan kebahagiaan untuk menghidupi bangunan-bangunan yang tidak bernyawa,
akan kukenali orang-orang baru dan temukan belahan jiwa,
akan kutanam bunga yang indah dan merawat binatang yang lucu.
Ketika kegagalan tak lagi mengekang, aku akan berada di tempat itu.
Tidak peduli berapa tahun lagi kubutuhkan,
aku takkan berhenti melangkah meski kakiku tersandung,
dan menghindari kerikil yang sama di rute selanjutnya.

Bermimpi memang begitu menakutkan.
Tetapi kau ‘kan temukan keberanian,
kau ‘kan temukan keadilan dan miliki kesetiaan,
dan kau akan menuntun usaha-usaha kecilmu sendiri,
hingga tak seorangpun bisa tahu sebesar apa kau nanti.

200522

2

Pergelangan Tangan

Kata apa itu? Aku tak bisa membacanya.
Kurva itu terlalu samar, bukan?
Mungkin kau belum sempat memperbaikinya.
Apa kau melakukannya semalam?
Pantas saja matamu hitam. Aromanya masih baru.
Gunting mana yang kaugunakan? Atau mungkin pisau?
Kau ceroboh dalam bersembunyi.
Dan kau melakukannya dengan tidak rapi.
Tetapi itu hal yang kausuka,
dan sialannya aku menyukai kebodohanmu.
Meja makan masih belum kau lap sepenuhnya.
Ada bercak merah di gelas birmu kemarin.
Apa kau menemukan cara baru?
Biar kupinjamkan kau gelangku,
asal kau biarkan aku berguru padamu.
Dan kita akan memiliki corak yang sepasang.
Katakan, apa itu ide cemerlang?
Bagaimana jika kau menoreh bulan?
Dan aku akan menindik bintang.
Tetapi milik hari ini terlalu kentara,
jadi tunggulah hingga kering semua.
Tidak apa kau mengotori mantelku lagi,
atau rintihan aneh dari kamarmu tengah malam.
Kautahu setiap lurus dan lengkung yang tanpa sengaja,
kaubuat begitu sempurna.
Dan ada cekungan yang terlalu dalam,
lubang yang kaubalut dengan noda hitam,
kini menganga lebih besar dari yang orang lihat.
Tidak apa,
aku akan tetap menggenggamnya.
Apakah mulutmu masih terkunci?
Kupikir hanya di antara kita,
dan kupastikan dinding kamarmu takkan bicara.

Jadi kita akan tinggal malam ini?
Bagaimana dengan segelas air putih?
Kau masih membenci asbakku dan sepotong roti lapis.
Meringkuk di bawah lampu dan menempelkan telapakmu di lantai.
Apakah dingin?
Dan aku takkan menghitung lagi,
sudah berapa banyak pembuluh teriris?
Jika sudah, mari pamerkan pada langit malam Paris.
Tanyakan, “Bagaimana kelihatannya?”
Mungkin besok pagi akan kaututupi dengan yang cekikik dan bangga.
Hahaha!

Kautahu segitiga dan bengkok yang tanpa sengaja,
kau izinkan bertahan dan menyiksa.
Aku tak tahu bagaimana candu membunuh akalmu,
sejenak kau melebihi iblis.
Dan aku tetap menutup telinga saat kau menjerit,
meski segera lidahmu kaugigit.
Dan saat kutawarkan sarapan kau hanya menyeringai,
dan membelai wajahku dengan tangan kirimu yang belum selesai.

Dan kurasa sudah cukup kutuliskan surat ini,
kau takkan punya waktu membaca semuanya.
Tetapi kau akan sampai di bagian terakhir,
dan kau akan tahu,
betapa aku mencintai semua luka di tubuhmu,
terobsesi pada isak dan derita setiap lenganku bergelayut di milikmu.
Tidak peduli meski ujung kukuku juga berdarah,
aku akan selalu menjilatnya,
seperti anak kucing yang tertembak peluru di dadanya.
Dan sesayat kulitku yang segar tetap melingkar di pergelangan tanganmu.

290422

3

Aku, Dia, dan Puisi

Tangan kita yang tak pernah berhenti menulis,
seolah seperti jantung yang takkan berhenti berdetak.
Imajinasi yang semakin liar,
bercerita bahwa kita telah lama mengambil awal.
Mata yang selalu menerawang kejauhan,
berseru bahwa hidup adalah apa yang kita diskusikan dalam mimpi.
Dan kaki yang tak pernah berhenti menapak,
seakan seperti takdir kita yang takkan berhenti mencipta.

Mari berpuisi lagi malam ini,
selagi kita berteduh dari derasnya hujan di kepala.
Kau akan lahirkan karya agung lewat sajakmu,
dan akan kuabadikan di atas balok piano ini.
Suara kita yang selalu menyisakan lagu,
seperti lantai ruangan ini yang tak pernah melupakan aksen kita dalam pembatas buku-buku.
Kita adalah penyair, semua orang tahu.
Kau tercipta sebagai judul,
dan aku adalah titimangsa.
Siapa yang mampu hadir di antara kita?
Beranda pun berangin, ide-ide meledak-ledak seperti kembang api di festival musim panas,
dan tidak ada setetes pun tinta yang tersisa untuk menyudahi kisah.
Hanya kau, aku, dan bulan.

Mari berpuisi lagi pagi ini.
Seperti sarapan telur dadar hangat di sampingmu,
jendela kaca yang memperlihatkan kejernihan langit,
tulisan tanganmu yang berbekas di atas meja menyisakan memori indah selama bertahun-tahun.
Dan aku tak pernah melupakan bagaimana suaranya.
Nomor-nomor halaman yang tercetak di sekujur tubuh kita,
siapa yang tahu waktu bisa membeku sementara,
dan mereka yang buta warna menemukan keajaibannya.
Kautahu kau tak pernah meninggalkan bait yang tak sempurna,
spasi-spasi yang menyela tiap wujud serenada,
mungkin itulah yang membuat lebah-lebah yang kehausan tak pernah berhenti menyesap nektar dari putik kecerdasanmu.

Mari bersama lagi senja ini,
ada angkasa yang sunyi dan taman yang sejuk untuk kausirami ramuan majasmu.
Dan biarkan aku hanya berceloteh pada piano di sana,
selagi bibirmu yang cantik tak berhenti membisikkan rahasia,
yang takkan mampu diterjemahkan dalam semua bahasa.
Kau akan lahirkan tema kehidupan yang abadi,
dan akan kuselipkan aroma aram-temaram di bukit ini,
seperti tanda kurung yang memenjarakan kita,
jam dan menit yang tak mampu kubaca,
dan hari kedua puluh tiga dalam bulan yang hangat di tahun kabisat,
sebagai titimangsa singkat bukti keberadaan jiwa kita.
Dan ketika orion mulai mengintip kita dari galaksi yang lain,
tidak ada yang tersisa pada lensa mata yang letih,
dan tanda titik yang telah sampai di ujung sampul belakang.
Hanya kau, aku, dan puisi.

Suatu hari ketika tidak ada lagi halaman kosong di antara kita,
adalah nanti ketika surga tidak lebih dari perpustakaan kedua.
Kini kurasa aku sudah terlalu banyak menulis album puisi tentangmu,
dan aku mulai khawatir kau akan segera tahu.

300422

4

Rajutan di Tas Biru Tuamu

Aku menjahit namamu di tas biru tuamu.
Aku menutup tepi yang sobek, kuselipkan warna favoritmu di tiap helai benang.
Aku mengganti resleting yang rusak, kautinggalkan noda di bawahnya dan kusembunyikan dengan lukisan senyum.
Kau berkata akan temukan yang baru, tetapi aku ingin kautahu,
aku menjahit sebagian duniaku di tas biru tuamu.

Aku mengabadikan tawamu dalam pigura foto.
Aku menyimpannya di kamarku, kuukir tanggal lahirmu untuk menandainya.
Aku menunjukkannya padamu, baju yang kaukenakan dan gaya rambutmu, aku menyukainya.
Aku tahu kau tidak suka melihat dirimu sendiri, tetapi ini lebih dari yang bisa kaupahami.
Orang-orang mengabadikan momen berharga mereka.

Aku merangkaikanmu setangkai daffodil.
Aku menanamnya sendiri, kulilitkan pita sewarna bola matamu di tengah.
Kau selalu lupa tentang bunga favoritmu, kukirimkan itu padamu agar kauingat.
Aku tahu ini tak berarti besar bagimu, tetapi aku tak pandai berkata-kata.
Aku hanya bisa menunjukkannya.

Aku tidak peduli siapa yang tahu,
ketika jariku menyusuri kata demi kata dalam buku novel,
dan aku menemukan kamu setiap membuka halaman baru.
Aku merendam lelah di perpustakaan, kulihat sosokmu di pantulan bayangan orang-orang di jendela.
Aku berhimpitan dengan penumpang di bus, kurindukan aroma parfummu saat kemejamu basah oleh hujan.
Aku mengobrol dengan teman-temanku, kudengar suaramu yang lembut menyahutiku dari kejauhan.
Aku duduk di cafe dan mengiris panekuk, tetapi kusadari bekal makan siangmu lebih lezat dari ini.
Dan,
kau selalu menceloteh kau tidak sesempurna orang lain,
kau tidak suka lesung pipi dan tinggi badanmu,
kau benci selera humormu dan saat kau tidak percaya diri.
Tetapi aku ingin kau memerankan sudut pandangku,
sebagai seseorang yang jatuh cinta padamu.

Aku menyulam kalimat motivasimu di sapu tanganmu.
Aku mengukurnya sesuai tanganmu, kau ‘kan membawanya kemanapun kau pergi.
Aku meluruskan bagian yang kusut, kau akan membacanya dan teringat pada hidupmu.
Meski aku takkan beritahu bagaimana aku bersahabat dengan jarum-jarum itu,
ini adalah lebih dari yang bisa kauatasi.
Aku menyulam kisahku dalam setiap hal tentangmu,
dan aku tak tahu kapan akan berhenti melakukannya.
Karena aku sudah menyatakannya:
aku tak pandai menari di lantai dansa atau menelponmu dari fajar hingga senja.
Aku hanya bisa menunjukkannya.

180522

5

Daftar Putar

Lagumu, laguku,
keduanya berhimpit di daftar putar yang sama.
Lintasan album, foto sampul, dan judul-judul seperti dua jiwa dalam satu musik.
Saat kau berkelana sendiri,
aku kehilangan separuh harmoni dalam instrumenku.
Kau membunyikan sajak-sajak yang indah dengan senar-senar gitar,
merajut melodi di kepalaku tengah malam,
membuatku terjaga saat kau akhirnya melengkapi bait terakhir ini.

Laguku, lagumu,
adalah pembuka dan penutup hari yang berat saat musim dingin menggila.
Mereka tersenyum, mereka tertawa, mereka berbagi rasa,
tanpa tahu inspirasi yang merangkai riwayat kita menjadi karya.
Sebelum kau membungkukkan badan, orang-orang menyanjung, mereka terpana,
dan mereka mulai belajar siapa kita.
Lirik yang bertaut, metafora sosok yang sempurna,
kau ajari mereka perjuangan kita menundukkan semesta.
Apakah itu tentang dia? Apakah itu perihal mereka?
Kita dengarkan mereka berkata apa saja,
kita saksikan mereka mengarang apa saja,
kita takkan menjadi hakim untuk siapapun.
Seandainya mereka tahu,
kita akan dicintai dengan cara yang berbeda.

Namaku, namamu,
tidak pernah bersanding di akhir lagu yang sama.
Kau obati mereka saat luka itu berlindung di bibirmu,
kau temani mereka dari petang hingga fajar menjemput,
dan sekali kau meninggalkan panggung itu,
orang-orang merindukanmu, dan memohon kau datang kembali.
Kau sudah tahu.
Kita hanya manusia biasa yang lahir di tahun yang berbeda.
Namun kita bertemu, bersenandung, jatuh cinta, dan terpisah.
Karyaku, karyamu,
terpuji dalam penghargaan yang sama.
Orang-orang melihat, mereka mendengar, mereka memahami.
Aku tak menulis banyak, tetapi ini bukan orang lain.
Lagumu, laguku,
keduanya berhimpit di daftar putar yang sama.
Saat orang-orang tidak lagi ingat tentang kita,
mereka akan pergi dan mulai menemukan kita di hal-hal tak terduga tentang cinta.

150522

6

Dua Tuan Rumah di Ruang Tamu

Guci keramik di meja, siapakah yang kautatap hingga terpana begitu?
Nampan besi untuk dua cangkir teh, dua tahun tanpa percakapan bagaikan ampas di ujung sendok.
Bibir merah, bulu mata basah, dan lesung di pipi, adakah yang lebih dinanti dari akhir pekan di bulan Juli?
Menyusun ulang waktu yang terbuang dan kesempatan yang sia-sia, punggung yang bersandar dan kaki yang terlipat.
Dua pasang sepatu di teras, apakah sinar mentari lebih hangat dari tahun lalu?
Ruang tamu terlalu luas untuk dua kawan lama, membesuk rindu kembali pada empat mata yang segan bertemu.
Bernapas dalam hidup untuk ke sekian kali, kau dan aku tersandung dan tenggelam tanpa henti.
Kita membohongi luka, mengorbankan rasa, dan bersembunyi pada sandyakala yang singkat saat berpura-pura menjadi seseorang.
Dua ponsel mati di atas meja, sudahkah lelah mencari sempurna di balik pintu yang terkunci?
Sekeping tawamu yang tertidur di saku jeansku, sehelai senyumku yang beristirahat di lipatan kemejamu.
Berapa banyak orang-orang tak bersalah kita libatkan?
Gorden yang tertiup angin dan dua ujung kuku yang menyatu, cukupkah isi kepala kita tertuang hingga akhir hari?
Mungkin kita perlu dua cangkir minuman lagi.
Guci keramik di dekat jendela, burung merpati yang tersesat telah pulang ke rumahnya.
Pigura foto dan jam dinding yang mengintip, bisakah kita memiliki momen ini selamanya?

040522

7

Gadis Brengsek di Kursi Gereja

Genggam batang mawarnya, hanya jika kau akan berteduh denganku malam ini.
Karena purnama semakin seram, dan asteroid berserakan di lintasan planet.

Apa yang kau sayembarakan tentangku?
Aku hanyalah Cancer,
dewa Juni mungkin memberkati aku,
tetapi tetaplah aku kekasih musim panasmu,
sekadar.
Hantuku ‘kan membakarmu di tengah samudra,
perahu sampan berpenumpang janji-janjiku,
udara makin tipis di ruangan ini,
dan jam dinding mengemis hasrat ’tuk bergerak lagi.
Apa yang kauharapkan dari gadis brengsek di kursi gereja?

Meja makan membenci bayanganku di dapur,
nama anjingku adalah syair paling indah,
aku bisa mengejanya sepanjang hari saat orangtuaku tidak di rumah.
Gaun sobek bergelayut di lemari bauku,
botol-botol bir kosong dan asbak retak di bagasi,
dan aku suka tulisan ulang para tetangga di berita koran tentangku.
Pendeta sialan itu tak lagi mau membaca suratku,
anak-anak dengan penyumbat telinga memergokiku meludah,
tetapi aku turut tertawa pada burung dara tersesat di lorong hutan.
Kautahu bekas telapak tangan di wajah sahabatku?
Dia suka itu, sejak lidahnya tersangkut di milik mantan kekasihku.
Klub dansa dihadiahi rumor tentang pemangsa laki-laki,
aku mengisap ujung garpu, seperti humor kuno di semangkuk kecap asin.
Bahkan sarapan lusa laluku masih menetap di bawah selimut,
petugas hotel itu selalu mengganti menunya setiap minggu,
kartu ATMku terjebak di saku jeans pria itu,
dan aku bahkan tak peduli di sofa siapa aku terbius sampai pagi.

Beritahu aku apa yang cantik dari lesung pipi dan alis lengkung?
Apa yang lezat dari hembusan napas dan sentuhan tangan?
Apa yang memberimu nyawa saat berbaring di sini?
Rambut cokelat basah dan sesuatu di balik kemeja itu.
Apa yang membuatmu haus tentang sisa keringat di sarung bantal?
Anak kucing yang lapar mencuri ikan dari nelayan,
kini ia mencoba pertaruhan di sungai yang kering.
Apa yang kau investasikan tentangku?
Aku hanyalah Cancer tanpa nasib baik untuk kauramal.

Baluti mata pisaunya dengan tanganmu, hanya jika kau ingin menyantap malam bersamaku.
Karena iblis bersembunyi dalam mataku, dan planet-planet memutari matahari secara terbalik.
Aku hanyalah gadis brengsek di tengah antrian setetes cinta,
apakah kau tetap ingin aku mencabut mawar itu dari kepalamu?

260522


Penulis:

YS, penulis berasal dari Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Gemar menulis di buku harian selayaknya dia senang mendengarkan musik di waktu senggang. Satu hal yang paling dinikmatinya ketika menulis puisi adalah karena penulis dapat menyembunyikan perasaan aslinya dalam himpitan kata-kata beragam makna, dan melihat bagaimana para pembaca menginterpretasikannya berdasar pengalaman dan perasaan pribadi mereka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *