Esai
Gosip sebagai Strategi Penceritaan

Gosip sebagai Strategi Penceritaan

Dalam menilik sebuah cerita, ada dua hal yang perlu diperhatikan, yakni cerita dan penceritaan. Biasanya cerita dinilai bagus atau tidaknya. Namun, menilai sebuah cerita bagus atau tidak rasanya kurang pas. Bagus adalah kata sifat, dan segala kata sifat itu abstrak. Karenanya, indikator untuk menilainya menjadi tidak jelas. Lagi pula bagus atau tidaknya sebuah cerita seringkali berhubungan dengan selera. Jadi, untuk menilai sebuah cerita, diperlukan indikator yang lebih konkret, baru atau tidak cerita itu. Artinya, tema yang diangkat apakah menawarkan kebaruan atau tidak.

Sebagai sebuah cerita, Upacara Ona cerpen karya Kiki Sulistyo yang terbit di Kompas edisi Minggu, 5 Juni 2022, mungkin tidak menawarkan kebaruan tema. Tema yang diambil Kiki adalah tema yang sudah umum dan cukup sering hadir di Kompas—orang hilang. Bahkan jika kita menarik ke belakang, ketiga cerpen Kiki yang sebelumnya terbit di Kompas pun memiliki tema yang serupa. Jika dari segi cerita, tema yang diangkat Kiki tidak menawarkan kebaruan, lalu bagaimana dengan penceritaannya?

Dalam bercerita, Kiki menggunakan strategi yang umum hadir pada cerita-cerita misteri. Informasi disebarkan dengan sepenggal-sepenggal. Cerita tentang Ona sama sekali tidak datang dari sudut pandang Ona. Ceritanya datang dari orang-orang sekitar Ona lewat tuturan narator serba tahu. Sebagai strategi penceritaan, ini bukan sesuatu yang baru, tapi juga bukan sesuatu yang banal. Biasanya dalam cerita-cerita yang mengangkat tema ini, pengarang lebih banyak mengeksplorasi cerita menggunakan sudut pandang korban, dan itu membuat kesan cerita menjadi melodrama.

Pada cerpen Upacara Ona, Kiki membuang kesan melodrama dan berupaya bermain dengan desas-desus. Gosip justru menjadi strategi penceritaan. Tokoh Ona dikenalkan kepada pembaca lewat pelbagai potongan informasi yang datang dari pelbagai sumber yang cukup berjarak dari Ona hingga kebenaran informasi itu patut diragukan. Itu membuat cerita dengan tema orang hilang yang sebenarnya sudah terlalu umum menjadi menarik.

Hal lain yang menarik dari cara Kiki bercerita adalah deskripsi yang konkret. Metafora visual bekerja dengan baik dalam cerita ini. Misalnya ketika mendeskripsikan sebuah beringin, narator menyebut “sebatang beringin yang sulur-sulurnya seperti janggut moyang”. Dengan ungkapan metaforis ini, penggambaran pohon beringin menjadi lebih kaya. Pembaca diberikan penggambaran yang lebih visualistik. Jika narator hanya menyebut beringin saja, maka penggambaran menjadi terbatas. Bahkan jika menambahkan sulur-sulur pun, penggambaran masih terbatas, karena hanya ada satu referen di sana. Dan jika pembaca adalah orang yang tidak pernah melihat sulur-sulur beringin, pembayangannya akan miskin. Untuk mengakali hal itu, Kiki menambahkan referen lain—janggut moyang. Frasa ini pun tidak kosong makna. Ia membawa fitur-fitur semantis lain yang membuat pembaca merasakan kesan sakral. Ini terjadi karena kata moyang dalam konteks kebudayaan kita dipandang sebagai sesuatu yang sakral. Jika kata yang muncul hanya janggut, maka fitur semantisnya pun masih kurang kaya. Ia mungkin memberikan pembaca visual lebih baik, akan tetapi masih miskin pemaknaan. Ia tidak akan membawa pembaca ke efek sugestif Bahasa.

Itu baru satu contoh saja. Kiki melakukannya beberapa kali di cerpen ini. Ia tampak betul-betul memikirkan setiap kata dan efeknya akan seperti apa di benak pembaca. Hampir di setiap kata sifat, ia tambahkan referen konkretnya. Misalnya, pada kata kuning mentega. Hal ini dilakukan untuk menambah terang penggambaran pembaca atas cerita yang ditulisnya. Penggambaran setting Ampenan pun sangat berhasil. Itu membuat pembaca dapat membayangkan Ampenan seolah mereka benar-benar berada di Ampenan.

Selain deskripsi yang konkret, yang menarik dari strategi penceritaan Kiki adalah teknik pembingkaian yang dilakukan narator. Narrator memasukkan tiga unsur orde baru ke diri Ona lewat benda-benda yang melekat pada tubuh Ona; ada kabah pada payungnya, ada tanduk banteng pada tali sepatunya, dan ada pohon beringin pada baju terusannya. Ketiganya merupakan simbol dari ketiga partai politik yang punya kuasa pada masa orde baru. Pembingkaian ini membentuk pemaknaan bahwa ketiganya sama saja. Ketiganya menempel pada korban sampai di masa-masa mendatang. Sampai ketiganya berevolusi dan mendapat bentuk-bentuk baru, ketiganya tetap tidak mampu (mau?) menyelesaikan masalah ini. Sejak mereka berkuasa sampai mereka hanya sisa bayangannya saja, kasus orang hilang tidak pernah menjadi perhatian mereka. Hal ini semakin dipertegas lewat perkembangan cerita ketika Ona menyanyi di kuburan ditemani keluarga-keluarga korban, dan negara ini malah sibuk melakukan pemilihan umum. Narator membingkai situasi yang melahirkan tafsir bahwa negara memang tidak peduli pada apa yang terjadi pada korbannya.

Pembingkaian situasi adalah salah satu teknik pembingkaian yang mampu mengurangi kesan tendensius suatu cerita. Itu membuat cerpen ini, meski berusaha menyuarakan sesuatu, tidak terasa tendensi hendak memojokkan pihak lain. Itu terjadi karena bingkai muncul tidak dari apa yang dikatakan narator, melainkan dari situasi yang dibangun narator. Itu membuat kesan suaranya menjadi lebih halus dan lebih samar. Meski begitu, tetap saja ada bagian yang masih terasa tendensius ketika narator membicarakan mantan presiden yang lebih tiga dekade berkuasa itu.

Pada saat membicarakan mantan presiden itu, narator masuk ke pikiran komunal masyrakat. Suara narator yang minim terdengar dalam narasi tiba-tiba muncul. Narator berkata, “Mereka seperti ingin membicarakan peristiwa itu sebagaimana mereka membicarakan kenalan yang meninggal, tapi ada perasaan tertentu dalam diri mereka sehingga mereka merasa segan: orang yang wafat selalu orang yang baik, orang-orang yang hidup bersaksi untuk itu. Mantan presiden itu adalah pemimpin yang baik, begitu ucap mereka dalam lisan, maupun dalam hati. Namun, kata “baik” itu selalu terdengar meragukan di telinga mereka masing-masing. Mereka tidak tahu kenapa.”

Narator memberitahu pembaca bahwa masyarakat tampak ragu-ragu apakah mantan presiden yang wafat itu orang baik atau bukan. Lalu tendensi menguat lewat perbandingan antara pikiran komunal masyarakat yang yakin Ona adalah orang baik. Narator berkata, “Sementara, meskipun Ona masih hidup, semua orang akan berani bersaksi, apabila diminta, bahwa Ona adalah orang baik.”

Ada Teknik ping pong yang digunakan Kiki Sulistyo di sini lewat frasa orang baik. Ketika menyebut mantan presiden itu, masyarakat tampak ragu menyebutnya orang baik. Tapi untuk Ona, masyarakat sangat yakin bahwa Ona orang baik. Dari sini, semakin terang saja sikap pengarang terhadap isu ini.

Setelah membaca cerpen ini saya bisa mengatakan bahwa cerita dalam cerpen ini memang belum menawarkan kebaruan. Namun, ia mampu menawarkan kesegaran di tengah maraknya cerita serupa. Kiki mengakali tema yang sudah umum dengan strategi penceritaan yang tidak umum. Tapi, tetap saja itu membuat saya bertanya-tanya, mengapa Kiki sampai perlu melakukan ini. Mengapa ia harus bernegosiasi menyiapkan cerita ini?

Saya memikirkan ini karena di luar Kompas, cerita yang ditulis Kiki sangat berbeda. Jangan-jangan ada kanonisasi atas tema-tema ini yang membuat Kiki berpikir sebaiknya menulis cerita ini. Memangnya untuk tembus Kompas harus menulis cerita-cerita seperti ini? []


Penulis:

Aliurridha, penerjemah dan pengajar penerjemahan di suatu kampus. Sehari-hari menulis esai, puisi, dan cerpen. Tinggal di Gunungsari, Lombok Barat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *