Cerpen
Rumah Abu-Abu dan PI

Rumah Abu-Abu dan PI

Sering timbul pertanyaan dalam benakku pada Ferdian, namun pertanyaan-pertanyaan itu tak mampu aku lontarkan, lalu semua seperti menjadi teka-teki yang cukup menghantui sepanjang pertemanan kami, hingga akhirnya aku ingin mengungkapnya sendiri.

Ferdian adalah rekanku mengajar di sebuah sekolah swasta, Sekolah Menengah Kejuruan. Aku guru bagian mata pelajaran produktif, sementara Ferdian mengampu mata pelajaran normatif, Bahasa Indonesia. Kami sangat akrab meski Ferdian tergolong guru baru di sekolah kami, belum sampai dua tahun. Sejak ia mengajar di sekolah kami, aku sering terbantu olehnya. Ia sering mengantarku pulang ke kontrakan atau mengantarku ke tempat lain jika aku membutuhkan semisal promosi ke sekolah lain atau mengunjungi murid yang sedang sakit. Kadang Ferdian juga datang ke kontrakanku sambil membawa bungkusan makanan, meski tak sering juga karena bagaimanapun aku tahu berapa penghasilannya sebagai seorang guru.

Seusai jam kerja pada pukul tiga sore hari—walau tak setiap hari—Ferdian dan aku juga mengajar di sebuah Bimbingan Belajar yang sama. Aku yang menawari dia untuk mengajar di situ karena pada saat itu bimbel sedang membutuhkan pengajar untuk pelajaran yang diampu Ferdian di sekolah. Aku senang Ferdian diterima mengajar di tempatku. Itu artinya aku sering berangkat dan pulang bersama. Sebenarnya Ferdian tinggal cukup jauh dari tempatku tinggal, tapi ia akan mengantarku sampai kontrakan.

Sebelum kedatangan Ferdian di sekolah dan bimbel, aku sering keteteran dalam hal keuangan. Berangkat ke sekolah dan ke bimbel, aku sering harus pesan ojol. Pengeluaranku sering membengkak untuk ongkos transportasi. Terlebih jika pada tanggal tua atau akhir bulan, aku benar-benar pusing tujuh keliling. Aku sendiri tak bisa mengendarai sepeda motor, jadi kurasa percuma juga jika aku harus mengambil angsuran motor untuk saat ini, entahlah untuk lain kali nanti.

Kedekatanku dengan Ferdian membuat rekan-rekan guru mengira aku punya hubungan khusus dengannya, walau kemudian mereka tahu bahwa kami dekat sebagai rekan kerja saja. Ferdian termasuk tipikal seorang pendiam dan jarang bicara, walau ia ramah. Karena kami dekat, perlahan Ferdian bisa bercerita padaku, walau sesekali. Sepertinya Ferdian memiliki hubungan yang tak harmonis dengan istrinya. Ia tinggal sendirian, sementara istri dan anaknya tinggal bersama mertua Ferdian. Itu hanya asumsiku, selebihnya aku benar-benar tak tahu.

***

Saat mengantarku pulang ke kontrakan, Ferdian senang sekali mengambil jalan memutar yang jaraknya lebih jauh. Dulu jika aku naik ojol, tak pernah sekali pun pengendara motor lewat jalan ini, sebuah gang sempit yang harus memutar jika menuju ke kontrakanku, Gang Santri namanya. Ferdian selalu melewati dan masuk ke gang ini, padahal yang kutahu, arah rumah Ferdian juga jauh dari gang ini. Begitu juga saat pulang dari kontrakanku, ia akan pulang lewat gang itu. Aku pernah bertanya padanya tentang itu yang ia jawab dengan senyuman tipis, seolah sebagai pengganti anggukan kepala.

Saat pertama kali Ferdian mengantarku pulang melewati gang ini, aku bertanya padanya, ia menjawab bahwa ia ingin saja lewat jalan ini. Aku tak banyak berkomentar karena aku hanya penumpang di kendaraannya, jadi tak perlu protes. Namun, karena setiap mengantarku pulang, Ferdian selalu melewati Gang Santri, aku mulai memperhatikannya.

Ternyata setelah sekitar seratus meter masuk gang, Ferdian selalu mengarahkan pandangannya ke samping kiri sambil melambatkan laju sepeda motornya. Pernah beberapa kali kendaraan yang kami tumpangi oleng karena ban melindas batu atau tergelincir di pinggiran pembatas ber-conblock. Ferdian kurang konsentrasi dan tatapan matanya tidak mengarah ke depan, tapi mengarah ke samping.

“Pak Ferdian. Hati-hati, Pak!” Aku memperingatkannya.

“Tak apa, Bu Laila. Aman kok,” Ferdian menjawab santai dan tenang.

Peristiwa sepeda motor Ferdian yang sedikit oleng itu terjadi beberapa kali, dan mungkin Ferdian merasakan kecemasanku. Setelah itu, jika memasuki Gang Santri, Fedian akan berhenti sejenak dengan macam-macam alasan. Aku membiarkan dan pura-pura tidak tahu, padahal sungguh aku sangat penasaran.  

Aku mulai tahu jika Ferdian selalu menatapi rumah bercat abu-abu yang terletak agak menjorok ke dalam saat kami melewati Gang Santri. Rumah itu tak begitu besar, terletak di sebelah kiri jika kami mengambil jalan dari arah depan, terhalang sedikit bangunan kecil serupa pos ronda di sebuah pekarangan yang agak luas.

Karena sering Ferdian berhenti di pinggir jalan sebelah pekarangan sambil mengarahkan pandangannya ke rumah itu, aku tak kuasa menahan diri untuk tidak bertanya, “Kenapa, Pak Ferdian?”

“Cek ban motor, Bu Laila. Sepertinya kempis.”

Tapi aku tahu itu hanya asal jawaban karena pada kenyataannya ban motor memang tak kempis. Ferdian hanya mencari alasan, ia hanya ingin menatap rumah bercat abu-abu itu.

Pada lain kali Ferdian berhenti di jalan dengan alasan ingin membersihkan sepatunya yang katanya kotor. Lain kali, ia melepaskan helm dengan mengatakan, “Mata saya kelilipan, Bu Laila.” Pernah lagi Ferdian berhenti dan turun dari sepeda motor hanya untuk mengecek dan memperbaiki risleting tasnya yang sebenarnya tak terbuka, dan masih banyak lagi. Ferdian akan mengambil posisi di sebelah kanan sepeda motor hingga ia bisa mengarahkan pandangan matanya ke rumah abu-abu tersebut.

Siapa sebenarnya pemilik rumah bercat abu-abu yang membuat Ferdian senang sekali menatapinya. Kebetulan jika kami melewati rumah itu, sering terlihat sepi di situ. Jika toh aku pernah melihat ada orang, aku tak bisa melihat dengan jelas karena letak rumah memang agak ke dalam.

***

Suatu hal yang membuatku yakin tentang rumah abu-abu di Gang Santri itulah yang membuat Ferdian selalu lewat situ adalah kebiasaan lain Ferdian di sekolah. Ia sering mencoret-coret pada lembaran kertas berupa gambar rumah. Aku tahu itu rumah bercat abu-abu di Gang Santri. Ferdian memberi polesan warna abu-abu pada coretan rumah tersebut dengan stabilo, tapi aku sering diam dan pura-pura tak tahu. Sebab jika aku bertanya, Ferdian juga akan menjawab dengan kalem. (Oh ya, sekadar aku sedikit ceritakan, meski masa pandemi murid-murid belajar daring dari rumah, kami para guru tetap datang ke sekolah.)

Ada hal lain lagi yang biasa Ferdian lakukan. Di balik gambar rumah abu-abu itu, pada lembaran yang masih kosong, Ferdian sering menulis puisi. Sebagai guru Bahasa Indonesia, Ferdian memang mahir menulis puisi. Aku tak begitu suka puisi. Namun, aku sering tergelitik juga untuk sekadar melihat—aku tak membaca serius—puisi Ferdian yang sering ia tinggal di meja kerjanya untuk kemudian ia bawa pulang.

Aku sering membaca nama PI di puisi-puisi tersebut, atau kadang Ferdian menulis ‘untuk PI’ di bawah judul puisi yang ia tulis. Aku sangat yakin jika itu adalah nama inisial karena Ferdian menulis nama tersebut dengan huruf kapital. Aku menduga jika itu adalah inisial nama istri atau anak Ferdian yang masih batita.

“Memang siapa nama istri dan anak Pak Ferdian?” suatu ketika aku iseng bertanya padanya pada saat jam istirahat.

Seperti biasa Ferdian sedang mencoret-coret pada lembaran kertas kosong. Aku yakin ia sedang menggambar rumah. Meja kerja kami kebetulan bersebelahan. Ternyata nama istri dan anak Ferdian tidak berinisial PI. Tentu aku agak penasaran juga dengan nama PI tersebut. Ferdian juga terkadang sering memakai nama PI saat iseng sedang membacakan puisinya di depan para guru.

Aku yang mulai cukup paham karakter Ferdian, bisa tahu jika Ferdian sebenarnya sedang mengekspresikan gejolak batinnya. Dengan cara itulah sebenarnya Ferdian menutupi semua persoalannya, khususnya persoalan rumah tangganya. Bu Novia, Bu Linda, Pak Miftah, Pak Yusri, Pak Teguh, dan beberapa guru lain mungkin hanya menganggap Ferdian iseng membacakan puisi tersebut. Tidak bagiku, aku benar-benar penasaran, walau aku juga tak enak hati bertanya sesuatu yang bersifat pribadi pada Ferdian.

Pernah suatu ketika aku melihat soal penilaian yang dibikin Ferdian. Waktu itu pandemi belum menghantam dan para murid datang ke sekolah untuk belajar. Aku mengawas ujian untuk soal Bahasa Indonesia. Di lembaran soal kelas X, aku membaca sebuah soal pilihan ganda mengenai majas. Begini bunyi soalnya, PI, jika dadaku berguncang makin dahsyat melebihi dentum meriam yang kuat, itu artinya kau sedang berada dekat.” Tak ayal, soal itu cukup menggelitik bagiku. Betapa sepertinya Ferdian mengagumi sosok bernama PI ini.

***

Liburan sekolah masih cukup lama. Bimbel juga sedang libur. Bosan juga aku di rumah saja. Ferdian yang sering mengantarku dan main ke rumahku sedang pulang kampung. Rasa penasaranku pada rumah abu-abu di Gang Santri itu mengusikku, ingin sekali aku tahu siapa pemiliknya. Aku ingin pergi ke sana. Aku harus menyusun alasan untuk menjawab jika pemilik rumah nanti bertanya.

Kebetulan Tanti, adikku, sedang berkunjung ke rumahku. Dengan alasan bosan di rumah, aku mengajak Tanti jalan-jalan. Aku mengajaknya ke Gang Santri dan menuju rumah abu-abu itu. Di sana tampak seseorang sedang duduk di teras. Aku meminta Tanti memasuki pekarangan dan mendekat ke sana. Aku seperti akrab dengan wajah perempuan itu saat ia melambai ke arahku sambil sedikit berteriak. 

“Bu Laila, mampir, Bu!” teriak ramah perempuan itu dari jarak yang masih cukup jauh.

Begitu dekat, aku terkejut melihat siapa dia. Ternyata benar, parasnya begitu akrab denganku. Dia adalah muridku di SMK, kelas XII OTKP. Pitri Imelda namanya. Ternyata ia tinggal di rumah itu. Pikiranku lalu melayang akan suatu nama berinisial PI yang sering ditulis Ferdian. Begitu banyak pertanyaan muncul kembali di benakku, dan itu membuatku makin bingung. Apa maksud Ferdian dengan semua ini?

Kini aku benar-benar ingin membaca dengan sungguh-sungguh puisi-puisi Ferdian untuk PI yang ditulisnya di balik gambar rumah bercat abu-abu![]


Penulis:

Mahan Jamil Hudani adalah nama pena dari Mahrus Prihany, lahir di Peninjauan, Lampung Utara, 17 April 1977. Meluluskan studi di Akademi Bahasa Asing Yogyakarta (ABAYO) dan jurusan Komunikasi Penyiaran Islam STAI Publisistik Thawalib, Jakarta. Saat ini bergiat di Komunitas Sastra Indonesia Tangerang Selatan (KSI Tangsel), kepala sekretariat Lembaga Literasi Indonesia (LLI), serta sebagai Redpel di portal sastra Litera.co.id.

Karyanya tersiar di sejumlah media massa seperti Fajar Makassar, Batam Pos, Riau Pos, Sumut Pos, Lampung Pos, Bangka Pos, Solopos, Medan Pos, Pontianak Pos, Tanjungpinang Pos, Koran Merapi, Singgalang, Utusan Borneo, SKH Amanah, Bhirawa Surabaya, Haluan Padang, Palembang Ekspress, Magelang Ekspress, Padang Ekspress, Cakra Bangsa, Dinamika News, Rakyat Sumbar, Rakyat Aceh, Rakyat Sultra, Kabar Priangan, Analisa Medan, Majalah Semesta, Majalah Mutiara Banten, Majalah Kandaga, Majalah Elipsis, maarifnujateng.or.id, kareba.id, gadanama.my.id, lensasastra.id, iqra.id, magrib.id, himmahonline.id, detik.com, cendananews.com, madahetam.com, sastramedia.com, sabah360online.com, madrasahdigital.co, labrak.co, Lampung News, Radar Bromo, Radar Malang, Radar Kediri, Radar banyuwangi, dan Radar Mojokerto. Karyanya juga tersiar dalam sejumlah antologi bersama. Kumpulan cerpen tunggalnya yang telah terbit adalah Raliatri (2016), Seseorang yang Menunggu di Simpang Bunglai (2019), Bidadari dalam Secangkir Kopi (2021), dan Di Way Kulur, Tak Ada Lagi yang Kucari (2022).

1 thought on “Rumah Abu-Abu dan PI

Leave a Reply to Serpong doeloe Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *