Resensi Buku
Sastra sebagai Penafsir Ulang Peristiwa Keseharian

Sastra sebagai Penafsir Ulang Peristiwa Keseharian

Judul Buku  :  Uang yang Terselip di Peci
Penulis        :  Satmoko Budi Santoso
Penerbit       :  BASABASI
Cetakan       :  Pertama, April 2022
Tebal           :  144 halaman
ISBN           :  978-623-305-275-7

Ada upaya penyublimasian cerita-cerita keseharian dalam kehidupan kita, setidaknya itulah hal pertama yang akan didapatkan ketika menamatkan buku fiksi ini. Hal-hal biasa, yang terlewat dari orang-orang yang terlanjur disibukkan oleh pandemi yang membawa efek domino ke semua sendi kehidupan, hingga hal tersebut luput, diabaikan, bahkan tak dipedulikan. Padahal saat berbagai macam peristiwa keseharian itu dipotret, dibekukan, dan disuguhkan dalam bentuk yang sublim, ternyata ada banyak yang luput dari renungan kita.

Upaya penyublimasian itu bisa kita tangkap melalui penyimbolan atas tokoh dan peristiwa yang dibangun oleh penulis. Meski perkara ini bukanlah hal baru dalam sastra, namun amat layaklah kita tengok kisah-kisah di dalamnya. Agar—sebagaimana salah satu tujuan sastra, terpenuhi; penafsiran dan pemaknaan, yang mana di dalam sastra sebuah peristiwa bisa membawa beragam penafsiran atau pemaknaan sesuai kacamata pembaca.

Kita bisa baca melalui “Uang yang Terselip di Peci”, judul yang menjadi etalase buku ini. Persoalan yang disuguhkan dalam cerpen realis ini memang nyata adanya dan sering kita lihat dan atau dengar langsung. Perihal tuduhan terhadap seorang ketua RT yang apakah menerima suap tersembunyi dari salah seorang kandidat lurah ataukah tidak. Penulis tampaknya “sengaja” menghadirkan sosok yang lurus meski dalam realitanya sosok semacam ini jarang kita jumpai. Dalam bingkai cerpen ini, kita pun kemudian “dipaksa” untuk berpikir ulang perihal makna cerpen ini saat terkoneksikan dengan kejadian nyata yang terjadi di sekitar kita. Hanya gara-gara uang yang terselip di peci, pandangan (baca; prasangka) warga pun bisa langsung berubah dalam sekejap, apalagi ketika kemudian Pak RT yang tertuduh kemudian mendapatkan rezeki nomplok berupa umroh yang sebenarnya hadiah dari teman lama. Kita diberi tontonan perihal efek atas realitas masyarakat yang kadar pendidikannya ternyata masih jauh terbelakang meski perubahan zaman di sekeliling telah nyata adanya.

Buku ini juga menghadirkan beberapa cerpen yang membidik tema konseptual, yang potretnya ternyata bisa kita temui dalam kejadian keseharian. Sebut saja cerpen “Alamat Kebahagiaan” dan “Dua Keris”. Dalam tema ini, penulis tampaknya sengaja ingin membenturkan tokoh-tokoh yang memiliki perbedaan konsep (baca; keyakinan hidup) yang mewakili sosok-sosok nyata dalam realitanya. Sebagaimana permasalahan umum yang terjadi dalam cerpen yang membidik tema ini; penghitamputihan tokoh, namun bisa kita rasakan upaya penghindaran dari jebakan struktural itu. Dunia yang terbangun dari persinggungan dan pertarungan konsep hitam dan putih, panas dan dingin, keras dan lembut, biasanya akan menjadi klise saat dihadirkan dalam sebuah cerpen. Dalam karya model begitu, tidak ada proses kreatif pembaca dalam menafsirkan peristiwa, sehingga kesannya seperti disuapi belaka. Satmoko yang menyadari jebakan struktural semacam itu tampaknya berusaha melawan, dengan menghadirkan ending yang mengajak berpikir pembacanya. Apa sih kebahagiaan itu? Apa sih kesialan itu?

Yang juga menarik untuk dibicarakan dari buku ini adalah beberapa gambaran sosial budaya yang tanpa kita sadari sebenarnya telah hilang dari kehidupan masyarakat masa kini (jika tak mau menyebut kata modern). Tentu hal itu tak mengherankan mengingat rentang lima belas tahun kelahiran cerpen yang terkumpul dalam buku ini. Kita pun jadi seolah disuguhi perjalanan perkembangan zaman, meski beragam persoalan yang berkelindan di dalam makna-makna simbolisnya masih banyak tak berubah. Kita bisa dengan mudah mengidentifikasinya melalui perbandingan atas judul-judul “Ke Kota”, “Alamat Kebahagiaan”, “Roman Sekolah Dasar”, “Angkringan Pandemi”, “Sirkus”, dan yang lainnya. Cobalah fokus pada setting, tema persoalan yang dibidik, dan makna simboliknya. Kita pun kemudian menjadi semakin mafhum, sastra adalah salah satu wadah terbaik untuk mengabadikan pergerakan zaman dan lalu menafsirkannya ulang. Justru melalui peristiwa keseharian, kita jadi mudah mengidentifikasi tentang banyak hal yang sudah berubah.[]


Penulis:

Nur Hadi, nama pena Adi Zam Zam. Lahir dan berkarya di Jepara. Buku kumpulan puisi terbarunya berjudul Hujan, Laron, dan Rumah Cinta, segera terbit.

1 thought on “Sastra sebagai Penafsir Ulang Peristiwa Keseharian

Leave a Reply to Bon Yosi (Rosa Indiarto) Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *