Esai
Piknik ke Bacaan (Anak)

Piknik ke Bacaan (Anak)

Cerita menawarkan pelawatan imajiner. Pasti tapi terkadang tidak cukup. Pelawatan imajiner perlu digenapi tindakan raga mendatangi, menghadiri, atau mengandaikan diri berlaku seperti tokoh di dalam cerita. Latar penulis lahir, tempat tinggal melahirkan karya, atau berpindah menghabiskan masa tua lumrah teridentifikasi dalam cerita. Bagi pembaca atau pelancong bahkan belum pembaca, tempat-tempat itu jelas melampau fiksi.

Michael Pearson menulis Tempat-tempat Imajiner, Perlawatan ke Dunia Sastra Amerika (YOI, 1994). Ia mengunjungi tempat-tempat yang pernah menjadi tempat tinggal para pengarang sekaligus dimunculkan dalam cerita-cerita—dari Frost, Faulkner, O’Connor, Hemingway, Steinbeck, ke Twain. Pearson mengakui, “Steinbeck dan Twain adalah pengarang yang karyanya membuatku keranjingan pada masa kanak-kanak.” Ketika tiba di Hannibal, Missouri, kota tempat Mark Twain mempersembahkan cerita Tom Sawyer dan Huckleberry Finn kepada pembaca, Pearson merasakan, “Kota itu telah berusaha menggunakan menggunakan setiap cara agar legenda Twain tetap diimajinasikan.” Twain adalah master, penyembuh, dan berkah bagi kota. Dibandingkan promosi dilakukan oleh televisi atau majalah, karya-karya Twain lebih menarik orang-orang berkunjung.

Perjalanan membawa diri meresapi lingkungan, menandai meski situasi teks dan realitas di luar teks (ternyata) berbeda, dan mengobrol dengan orang-orang setempat yang ditemui. Terpana nuansa jalan atau para petani sama ramah seperti dituliskan dalam cerita. Mungkin saja ada perasaan tidak siap atau kecewa, tapi tetap ada keinginan kuat untuk menghubungkan diri dengan kehidupan pengarang dan lingkungan yang menyokong penciptaan dunia cerita.

Harian Tribun Jateng, 20 Februari 2021, mewartakan museum yang pada musim panas tahun ini dibuka di tempat kelahiran Andersen, Odense, Denmark—H.C. Andersen”™s House sengaja dirancang menyerupai negeri dongeng dari cerita-cerita Andersen. Rancangan arsitektur salah satunya difondasi oleh dongeng The Tinderbox. H.C. Andersen”™s House menawarkan pengalaman “mengalami” sastra melalui arsitektur, tata cahaya-suara, dan gambar. Tempat ini terutama bukan untuk menceritakan tentang Andersen, tapi lebih menginginkan setiap orang membayangkan diri sebagai Andersen. Ada keyakinan bahwa Andersen dan cerita-ceritanya yang klasik telah hidup di benak banyak orang. Maka, seperti pernyataan Torben Grongaard Jeppesen, kepala Odense City Museums, “Idenya bukan menceritakan kembali cerita-cerita tersebut, namun mengkomunikasikan keakraban mereka dan menginspirasi untuk membaca lebih lanjut tentang Andersen.”

Jika Andersen menempati khazanah klasik, di jagat fantasi modern pasti mengingatkan pada dunia sihir Harry Potter ciptaan J.K. Rowling. Kesuksesan buku lalu film menjadikan Harry Potter sebagai tujuan piknik (cerita) sihir yang paling diminati orang-orang di dunia, bahkan meski mereka bukan seorang pembaca atau penggemar Harry Potter. Industri hiburan lekas tanggap bahwa piknik imajiner harus digenapi dengan piknik sungguhan.

Setelah Warner Bros membuka dunia hiburan sihir Harry Potter di Florida, Amerika, dan Hertfordshire, Inggris, taman bermain bertema Harry Potter direncanakan dibuka di taman Toshimaen Tokyo pada 2023 oleh Tokyo Itochu Corp dan Warner Bros Ent. Saat orang mengunjungi Edinburgh yang menjadi cikal kelahiran Harry Potter, secara tidak langsung ada kewajiban untuk menjenguk kafe Elephant House—tempat Rowling menyusun naskah pertama. Di Edinburgh juga, adegan-adegan di Hogwarts Express diambil.

Tempat-tempat memang telah ada sejak semula, beberapa diciptakan setelahnya. Kota, perdesaan, kafe, stasiun, atau jalan merasa dimiliki bersama karena biografi pengalaman membaca bersama. Lumrah saat peluncuran seri keempat, Harry Potter and the Goblet of Fire 8 Juli di London, J.K. Rowling menaiki kereta api Hogwart Express yang akan berhenti di tujuh stasiun demi menemui penggemar dan berbagi tanda tangan (Tempo, 2 Juli 2000). Agak mustahil jika Rowling menaiki sapu terbang atau mobil terbang keluarga Weasley. Kereta Hogwart Express adalah kendaraan paling mungkin menghubungkan sekaligus mengaburkan batas nyata dan fiksi.

Dunia tidak hanya dibayangkan melalui buku dan cerita lisan, tapi juga dikunjungi dan didatangi. Majalah Scala (No.1/ 1986) terbitan Kedutaan Besar Jerman di Indonesia pernah menyajikan liputan “Jalan Menuju Kota-kota Dongengan Jerman”—penggenapan dari keakraban dengan dongeng-dongeng Jakob Grimm dan Wilhelm Grimm. Piknik dengan cara bersepeda ini sengaja dirancang oleh pemangku kebijakan “Olahraga dan Rekreasi” distrik Mainz-Kinzig, Hanau. Dikatakan, “Lintasan “Jalan Dongeng Jerman” menelusuri jejak-jejak kegiatan Grimm bersaudara, serta menyinggahi beberapa lokasi dongeng mereka; perjalanan yang benar-benar menakjubkan, dari daerah Main sampai ke laut. […] Dalam hari pertama pengembaraan, kita menempuh jarak 70 kilometer dari Hanau ke Steinau, lingkungan masa kanak-kanan Jakob dan Wilhelm Grimm. Tempat tinggal mereka di situ, kini dijadikan museum dengan nama “Deutsches Märchenhaus” (Rumah Dongeng Jerman).”    

Ada penghormatan besar dan abadi yang diberikan kepada penulis cerita anak. Kemakmuran imajinasi itu menjadi pengikat orang-orang setempat dengan masa lalu dan wilayahnya, masa depan pembentukan kota, dan tidak disangkal tentu pariwisata berbasis sastra. Mereka bangga menjadi bagian dari dunia fiksi pengarang yang tidak benar-benar fiksi. Tempat-tempat menjadi pertemuan sekaligus kepemilikan komunal.


Penulis:

Setyaningsih. Tinggal di Ngemplak Boyolali. Menulis esai dan telah melahirkan buku Kitab Cerita 2 (2021). Penekun pustaka anak ini bisa disapa melalui: email: [email protected]. FB/ IG : Setya Ningsih/ @langitabjad.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *