Puisi
Puisi Muhammad Asqalani eNeSTe

Puisi Muhammad Asqalani eNeSTe

Bayangan Chairil Jadi Guguran Mawar

sepasang bibir yang getir tersadai di pantai pekat takdir,
hujan jahat membawa badai kesumat,
petir kejam menyambar setajam pisau pembunuhan,
sunyi terasa akan sampai ke langit tinggi,
juga senyap akan menyerap ke dasar bumi.

bibir atas tak lupa berdoa dengan keyakinan penuh kepada ruh
yang membawanya pada alam manusia.

bibir bawah tak henti mengiba dengan pengharapan utuh kepada tubuh
yang menjinjingnya pada alam baka

mereka beradu, saling memeluk dengan kekuatan paling khusyuk,
bibir atas rukuk, bibir bawah tekuk, bibir bawah tafakur, bibir atas terpekur.

agama-agama retak, pucat pasi, tetapi direkat, tetapi dimerahkan,
oleh sepasang bibir di hadapan pantai yang tiba-tiba pasang.

sebuah pagi, membangunkan gelombang mimpi yang berdebur,
di kepala penyair yang jarang bersisir, tiba-tiba di depan kaca,
bayangan Chairil jadi guguran mawar, ia pun berenang dari Ida ke Ida*
dari ada ke ada. sedalam kata-kata dalam dada.

Kubang Raya, 15 November 2021
*Ida adalah salah satu nama yang sering muncul dalam sajak-sajak Chairil Anwar

Di Pasar Mimpi

ia tahu, hanya di pasar mimpi orang orang dapat
tawar menawar matahari
memilih bulan dalam keranjang,
menarik bintang yang digantung lucu ke jenjang.

ia bertanya pada Tuhan,
cahaya mana yang paling purna untuk menghapus
kegelapan kepala. menyinari semaksemak napsu
dalam dada.

ia buruburu berlari ke pantai antariksa, berharap
bertemu hiu hiu doa. yang akan terbang ke langit.
bersirip mirip sayap yang sulit

tapi hujan lebat menyekat pandang yang berkunang, ia balik
tubuhnya seringan orang hidup tanpa pertanyaan. ia kembali
ke pasar mimpi. lalu membeli matahari
berjalan dan berjuang menakhlukkan dirinya sendiri

2013 – 202

Ceritakan Padaku tentang Taman Ismail Marzuki

Ika, ceritakan padaku Taman Ismail Marzuki,
dalam liang sempit ingatan masa kecilmu.
bukankah ayahmu seniman semua iso dari Jogja. melawat Jakarta,
melewati Jalan Cikini, berhari-hari henti di Taman Ismail Marzuki?

katamu,
orang-orang berpuisi, berdrama, mentas dengan pantas,
di hari-hari akbar, di denyar-dengar harapan seniman,
mengubah kehidupan dengan jiwa warna-warni.

kau kerap heran, melihat buku-buku dipajang di rak PDS H.B Jassin,
yang terselip sebuah buku karangan ayahmu,
mengembangkan senyum kembang sepatumu,
meski buku itu utuh diliputi kawanan debu.

teater kecil, teater besar, mana yang kau pilih jika bicara kenyamanan
kala nonton ragam pertunjukan, katamu keduanya sama butuh hati lapang,
mata lapang, juga napas lapang, sebab keindahan mampu tiadakan ruang.

di toko Yose Rizal Manua, buku-buku tua dan buku-buku yang mendua
karena dicopy mahasiswa, lazim ditemukan juga bak lazim disembunyikan.

kau mengirimiku sebuah buku murah, warna coklat, agak abu-abu,
agak hijau, agak hitam, benar-benar dalamnya kuning berabu,
bagiku kunang-kunang debu, buku itu tentang bayi dalam perut ibu,
yang hidup di semesta luas rahasia ruh, yang entah sesat atau tepat,
adalah keajaiban cerita.

Ika, kau dosen IKJ bukan? jangan terlalu sibuk dengan anak didikmu
yang tak melulu apresiasi seni ini dan itu. lihat Taman Ismail Marzuki,
di bawah sayup-sayup Rayuan Pulau Kelapa yang diputar dari ponselmu
berlayar retak sudah tidak layak itu. adakah bebinatang, kijang, rusa,
babi jantan, tupai albino, juga kera, lutung bergayut dari pohon ke pohon,
dari konon ke konon, saat kau benar-benar terperangkap sejarah awal
Taman Ismail Marzuki?

ah, apakah sampai padamu kisah Bang Ali, Ika?
tolong, di antara lorong-lorong pameran, puja dan puji harap diberi.
sebab ia pahlawan sejati bagi pemuisi, pemuasa, dan siapa saja
yang kembara jiwanya mukim bahagia di sini.

Salam Taman Ismail Marzuki, Salam Acep Zam Zam Noer,
Salam Tuan Sunu. Salam atas nama teriakan personifikasi,
dari lambai gedung tergusur di revitalisasi yang kelewat hak asasi.

Kubang Raya, 28 November 2021 – 8 Juni 2022

Bung, Bunga-bunga di Kepalamu adalah Buku (1)

Kepada Bung Hatta 

Bung,
proklamasi adalah nasi, bagi nasib yang lapar
kemerdekaan hakiki

darahmu ibarat terasi, bagi orang-orang miskin
yang bergantung mimpi pada wangi.

kau sungguh sederhana Bung, dari Bukitinggi hatimu rendah,
dari Padang jiwamu lapang, dari Jakarta tugu doamu melampaui
keaguangan monas.

maka Bung, desa-desa tumbuh jadi harapan, bahwa ratapan harus terbakar,
serupa koloni yang harus enyah atau mati, di kaki yang lelah menjalani rodi.

Kubang Raya, 25 Juli 2021

Sábado

kenyataan adalah harapan yang terkubur dalam liang doa yang lindur.
kuharap ibu akan datang membawa surga yang tidak pikun,
sekeranjang buah zaitun, dan ajakan bertemu Tuhan
bukan sekadar sampiran pada pantun. namun hanya rumah ibadah hening
dan gelap, serta sayatan suara jangkrik dan hujan yang berisik,
mengusik sumber air di liang mataku.

Kubang Raya, 6 Juni 2022

Riwayat Cinta yang Melata

Sayang,
telah kutuang kaki di Semarang, di sunyi tabung malam. Arafat mengajakku
ziarah ke kota tua, Kota Lama namanya.

sepedamotor tarik tiga, bersama penyair Arif Fitra, mataku tertumbuk meta kota,
bagiku ini asing semata: perempuan yang terus menjaga lengang, pahanya
mengangkang minta dipanggang, hotdog lelaki yang dioles oleh uang.

demikiankah wanita mengurung harinya dari garang kota? atau semata slogan
senang yang terampas selokan silam, dimana kasih sayang adalah kedalaman
lumpur hitam, pemberian orang-orang yang mengaku karib.

//
hidup memang rahasia redup di ujung mata, tualang tubuh tak mampu diukur
dengar rasa dan bahasa. demikianlah aku sayang, terdampar di kota-kota berkat
ciumanmu yang akbar.

sebab ciuman-ciumanmu telah kusulang ke dalam gelas-gelas puisi, yang bergambar
ular sunyi dari abad azali. puisi-puisi itu sayang, ibarat apel ajaib
yang menggelindingkan tubuhku ke kota-kota yang sesak oleh penyair.
mereka menyapaku sebagai penyihir, atau sebagai penyinyir. keduanya bagiku sama;
dusta yang dibalut sutra mantra.

//
ibu menyusuiku yang melingkar bak bayi ular, sisik kasih sayang. ibu berkata:
“Abrakadabra! tersesatlah kau ke kota-kota yang mencakar cakrawala tanpa lupa
mendaki ketinggian ta’ala, pulanglah kau ke desa-desa bagai bunga edelweis
terperangkap di baju sempit lelaki semesta, pulanglah kau ke dalam rahimku
sebagaimana ayahmu kemandangkan sperma ke kelenjar zuriat bunda”
jadilah jiwaku ular ibu, yang menjalar-julur sepanjang takdirku. sesatku adalah rindu,
kepada godaan-godaan yang membuat orang percaya bahwa neraka adalah surga yang dijatuhkan

//
semesti kata puisi ini belum rangkum selesai, sisanya tersangkut di batas kota-kota tua
minta dijaga. lainnya tersadai di kota-kota muda minta dicinta. raihlah ia. kembalikan
ia ke dalam jiwamu, meski puing mesti kaubangun sedari doa.

Pekanbaru, 2015 -2021 – 2022


Penulis:

Muhammad Asqalani eNeSTe, kelahiran, Paringgonan, 25 Mei. Adalah seorang Youtuber di channel Dunia Asqa. Pemenang II Duta Baca Riau 2018. Alumnus Pendidikan Bahasa Inggris – Universitas Islam Riau (UIR). Mengajar Bahasa Inggris di Smart Fast Education, serta menjadi mentor Kelas Puisi Online (KPO) di bawah naungan WR Academy. Buku puisinya berjudul “doksologi” memenangkan sayembara buku fiksi, Komunitas Menulis Pontang – Tirtayasa (Komentar). Puisi-puisinya dimuat di media cetak dan online.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *