Cerpen
Sedekat Mei Juni

Sedekat Mei Juni

Azan Magrib tiba. Di kantin Jetlag Cart Corner, Bandara Soetta, dua orang berebutan sekotak nasi goreng hangat. Kalau sudah azan Magrib, semua orang buru-buru ingin mendapatkan makanan untuk buka puasa.

Kedua tangan orang itu sudah sama-sama memegang kotak makanan, tapi begitu wajah beradu pandang, mereka sama-sama terkejut karena keduanya jadi ingat pernah menjalin hubungan khusus di Kampus Hijau Sawo Kecik.

“Mei?! Mei Lan Handayani?!” tanya si lelaki ingin meyakinkan diri bahwa orang di hadapannya adalah teman dekatnya dulu.

Begitu juga dengan si perempuan, mempertanyakan, “Juni? Juni Riyanto?!”

Mereka saling tatap dengan ingatan terbang ke saat-saat indah masa lalu di Kampus Hijau Sawo Kecik. Keduanya tersenyum, sama-sama yakin. Pecahlh tawa mereka bersamaan.

“Kau ambillah dulu makanannya, Jun!” Mei mengalah.

Juni mengelak, “Kamu saja, Mei, yang ambil makanan ini.”

“Enggaklah,” Mei mengelak tak enak hati.

“Ladies first,” tegas Juni mengingatkan.

Mei tertawa renyah, beberapa helai rambut panjangnya berkibaran terkena kipas angin kantin Jetlag Cart Corner. Sejurus kemudian menyimpulkan, “Ah, kamu itu, Jun, enggak berubah, masih saja seperti dulu.”

“Apanya?” Juni sontak bertanya.

“Suka mengucap ladies first,” jawab Mei.

“Hahaha,” Juni tergelak tawa, mulutnya menganga hingga tampak ompong. Beberapa giginya sudah tanggal.

Juni mengakui dia memang suka mengucap ladies first bukan karena mengalah, tapi karena memang suka dengan kata-kata itu. “Terdengar easy listening di kuping,” Juni menegaskan.

“Emangnya lagu, easy listening gitu?”

“Tak semua easy listening itu lagu, namamu juga easy listening, Mei Wulandary.”

“Sudahlah, Jun. Makanan ini untuk kamu dulu,” Mei mendesak pengertian, kemudian menerangkan, “karena aku tahu kamu pasti puasa. Jadi, secepatnya harus buka. Adab berpuasa itu menyegerakan berbuka.” Setelah jeda sebentar, Mei melanjutkan, “Apalagi aku manis. Jadi, kamu sekarang berbuka dengan yang manis,”

Juni buru-buru meneguk teh botol. Mei ternyata memahami adab berpuasa. Juni melongo. Mei buru-buru memberi tahu bahwa dirinya sekarang mualaf.

“Terus terang, aku masuk Islam karena sangat terkesan dengan dirimu, Jun. Sewaktu kita kuliah dulu, kita dekat, begitu sangat dekat, tapi kamu tidak memanfaatkan kedekatan dengan berbuat seenaknya, bahkan kamu sangat memuliakan aku sebagai seorang perempuan. Kamu bukan tipe orang yang hidup free seks atau apalah, bahkan sepertinya kamu tidak pernah menyentuh kulitku,” papar Mei.

“Ada adab puasa lagi, yakni berbagi makanan berbuka. Jadi, mari kita berbagi nasi goreng ini,” ucap Juni kemudian berdiri dan celingukan tengok kanan-kiri mencari-cari pelayan kantin untuk minta piring agar bisa membagi dua makanan di hadapan mereka.

Tak tahunya pelayan muncul dengan menyodorkan kotak makanan lagi.

“Nah, itu buat kamu, Mei,” seru Juni girang.

Mei meraih kotak makanan itu dan buru-buru menawarkan, “Bagaimana kalau kita buka puasa bersama di sana?”

“Okei,” sambut Juni setuju.

Keduanya membawa kotak makanan ke Taman Pensil yang tidak jauh dari kantin Jetlag Cart Cortner.

***

Di Taman Pensil, Mei dan Juni tak langsung melanjutkan pembicaraan, keduanya tampak canggung. Dua puluh tahun berpisah bukanlah waktu singkat. Setelah sama-sama lulus kuliah, mereka tidak bertemu lagi. Meski sewaktu kuliah sempat dekat, tapi tentu tak semudah mereka kembali akrab. Seperti ada jarak, keterasingan yang membuat mereka butuh waktu kembali akrab bercakap-cakap.

Mereka sama-sama memperhatikan pensil-pensil besar yang berjajar di Taman Pensil. Hati mereka sama-sama deg-degan saking tegangnya menghadapi pertemuan tak terduga itu.

Mei mengumpulkan sejumlah keberanian, “Jun, setelah lulus, kamu ke mana. Kenapa tak ada kabar sama sekali?” Ditanya begitu, Juni hanya terdiam. Wajahnya menunduk tak berani menatap Mei yang sewaktu kuliah dulu sempat dekat dengan dirinya.

“Jun, setelah lulus kamu ke mana?” Mei kembali bertanya. Kali ini pertanyaannya dipangkas lebih singkat.

“A-a-aku ke Jakarta,” jawab Juni tergagap-gagap.

“Serius kamu ke Jakarta?”

“Serius.”

“Kenapa kamu tidak memberi kabar kalau kamu ke Jakarta, Jun?” wajah Mei berubah kecewa, “Kamu tahu kan kalau aku tinggal di Jakarta?”. Juni terkesiap, “Aku tahu kamu tinggal di Jakarta, tapi kata teman-teman, setelah tragedi Mei, kamu eksodus ke Singapura.”

“Kata teman-teman siapa? Papi, Mami, dan adikku memang eksodus ke Singapura, tapi aku tetap di Jakarta karena aku menunggu kabar darimu, Jun!”

Juni hanya membisu.

“Dulu sewaktu kuliah kita dekat, begitu sangat dekat, tapi setelah lulus kuliah kok dengan mudahnya kamu lepas, lepas tanpa ada kabar apa-apa?”

Juni seperti tak berdaya dan Mei terlihat sangat kecewa.

“Mei,” ujar Juni buka suara,  “krisis moneter yang dulu melanda negeri ini sangat berdampak pada ekonomi keluargaku, membuat aku tak bisa apa-apa. Aku hanya sebentar di Jakarta, kemudian pulang ke Tegal, dan aku harus menjual kerbau satu-satunya untuk bertahan hidup. Maafkan aku kalau aku tak sempat memberimu kabar.”

“Ah, kamu Jun, tak seberapa badai kehidupanmu dibanding aku yang bukan hanya untuk dapat bertahan hidup, tapi juga bertaruh nyawa,” ucap Mei getir. “Semestinya kita saling berkabar dan melanjutkan kedekatan kita dengan hidup bersama. Aku menolak ikut eksodus ke Singapura karena aku ingin hidup bersamamu, meski harus tinggal di kampung terpencil. Sekian lama aku menunggumu, dua puluh tahun, Jun!” Suara Mei lalu melemah, “Aku mualaf dan aku butuh bimbinganmu.”

“Aku pun sama, sangat mengharapkan kita dapat melanjutkan kedekatan kita ke jenjang lebih serius,” tutur Juni serius. “Mungkin sudah suratan takdir kita tak bisa hidup bersama.”

“Iya, sudah suratan takdir kita tak bisa menikah,” desah Mei nyaris tidak terdengar.

Setelahnya mereka jadi kikuk kembali dan terdiam. Di sekitar situ semakin ramai dengan orang-orang yang menunggu kedatangan sanak keluarga dari luar negeri. Juni dan Mei pun tersadar pada nasi goreng yang dibiarkan begitu saja.

“Makanlah, Jun! Segerakan berbuka,” Mei mengingatkan.

“Mei juga makan ya, kita sama-sama harus menyegerakan berbuka.”

Keduanya segera makan nasi gorengnya masing-masing, meski sudah tak hangat lagi. Sungguh nikmat dapat buka puasa bersama sehingga membuat mereka begitu lahap.

***

“Jun, kamu di sini lagi nunggu siapa?” tanya Mei.

Juni tak segera menjawab karena perlu beberapa waktu untuk dapat jawaban, “Aku menunggu seseorang.”

Mei serta-merta kembali bertanya, “Istrimu?”

“Bukan. Aku dapat job untuk jemput TKW yang baru pulang dari Arab Saudi.”

“Wah, kamu sekarang hebat, Jun, ngurusin TKW,” Mei memuji.

“Ah, biasa saja, Mei. Kerja di biro TKW ya memang kayak gini, antar-jemput TKW di bandara. Apalagi menjelang Lebaran, banyak TKW yang maksa pulang. Kalau kamu?”

“Aku menjemput suamiku yang pulang tugas dari Singapura. Nanti aku kenalin ya.”

“Sepertinya aku harus cepat-cepat pergi ke depan pintu kedatangan karena orang yang aku jemput sudah mendarat,” ucap Juni terbata-bata dengan dada yang dag-dig-dug berdegub sangat kencang.

“Wah, sayang sekali,” seru Mei kecewa.

Sebenarnya, justru Juni yang sangat menyayangkan sekaligus cemburu karena ia akan dikenalkan dengan suami Mei yang dulu pernah dekat dengan dirinya. Rasanya ia ingin terbang secepatnya menghindari perkenalan itu.[]

~Pengadegan, Pancoran, Jakarta Selatan, 2022


Penulis:

Akhmad Sekhu adalah penulis kelahiran Desa Jatibogor, Suradadi, Tegal, 27 Mei 1971. Kini tinggal di Jakarta. Novelnya: Jejak Gelisah (2005), Chemistry (2018), Pocinta (2021). Kumpulan cerpennya Semangat Orang-Orang Jempolan siap terbit. Ia masih bolak-balik antara Jakarta-Tegal PP demi istri Wanti Asmariyani dan dua anaknya, Fahri Puitisandi Arsy, dan Gibran Noveliandra Syahbana.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *