Resensi Buku
Kenduri Arwah: Cerpen yang ‘Dipaksa’ Menjadi Novel

Kenduri Arwah: Cerpen yang ‘Dipaksa’ Menjadi Novel

Judul : Kenduri Arwah
Penulis : A.R. Rizal
Penerbit : Pustaka Obor Indonesia
Cetakan : Desember 2021
Tebal : 297 halaman
ISBN : 978-623-6421-18-5

Gradasi besar perbedaan antara cerpen dan novel menurut Burhan Nurgiyantoro dalam Teori Pengkajian Fiksi terletak pada formalitas bentuknya yang jelas lebih panjang dari cerpen. Sesuai dengan namanya, panjang cerpen relatif pendek, namun tak ada kesepakatan yang mutlak tentang batas pasti ukuran sebuah cerpen. Seorang sastrawan kenamaan asal Amerika, Edgar Allan Poe mempermudah batasan cerpen dengan cerita yang khatam dibaca dengan satu kali duduk—kurang lebih 30 hingga 120 menit. Satu hal yang pasti, tak ada karangan yang bisa disebut cerpen jika terdiri atas ratusan halaman. Karena berjumlah ratusan halaman, novel melibatkan banyak tokoh dalam jalinan ceritanya dengan berbagai permasalahan yang lebih kompleks daripada cerpen. Sampai di sini dapat ditarik sebuah benang merah, bahwa novel memiliki halaman yang jauh ‘lebih tebal’ gegara kompleksitas permasalahan banyak tokoh.

Pada pengujung tahun 2021, penerbit Pustaka Obor menghadirkan novel baru dengan tema misteri yang berjudul Kenduri Arwah karya A.R. Rizal. Setelah melakukan pembacaan secara utuh dan menyeluruh, saya sepakat menyebutnya novel jika hanya melihat bagian sampulnya—karena terdiri atas ratusan halaman. Namun jika melihat berdasarkan kompleksitas permasalahan para tokoh, (dengan berat hati) saya menyebutnya sebagai sebuah cerpen yang ‘dipaksa’ menjadi novel. Seharusnya Kenduri Arwah cukup menjadi cerpen dengan ke-unity-an yang cukup padu dengan ide menariknya. Sayangnya, A.R. Rizal nekat memperpanjang cerita yang seharusnya pendek tersebut menjadi cerita panjang dengan detail cerita yang banyak mengalami pengulangan garis besar cerita, alur yang terkesan datar sebab ketiadaan dramatisasi konflik, hingga sajian ending yang kurang mengejutkan.

Perulangan Garis Besar Cerita
Inti cerita dari Kenduri Arwah adalah seorang lelaki yang mencari ilmu pengasihan untuk menaklukkan hati seorang gadis agar bisa dinikahi, namun gadis yang dicintai itulah yang dikorbankan menjadi tumbal. Tebakan awal saya sebagai penikmat beberapa novel adalah sang gadis mati gegara ditumbalkan oleh suaminya sendiri, sedangkan sebuah novel yang menarik seyogianya mematahkan tebakan awal saya tersebut—atau paling tidak jika sama dengan tebakan saya, namun ia menghadirkan olah konflik yang akrobatik. Sayangnya novel tersebut menghadirkan cerita yang sama persis dengan tebakan saya dan banyak melakukan perulangan garis besar cerita di bab-bab selanjutnya. Sebut saja seperti cerita tentang Farida yang berkali-kali diceritakan ulang sedang melamunkan suaminya, Kamaruzzaman sebagaimana dalam kutipan berikut ini,

Di sudut ruangan, ia membuka jendela. Dari balik jendela, Farida bisa melihat samar-samar kuburan Kamaruzzaman. (halaman 170 pada bab meminta tumbal)

“Peci dan jas hitam ini kesukaan ayahmu. Ia merasa sangat bangga memakai benda ini ketika meminangku. Ayahmu itu akan kembali untuk sesuatu yang dicintainya.” (halaman 42 pada bab bau asap kemenyan)

“Ayahmu yang mengambil kalung itu. Ia pasti menyimpannya di suatu tempat yang sangat disukainya. Tenang saja. Kalung itu akan ketemu dengan sendirinya.” (halaman 66 pada bab kehilangan mestika)

Tiga kutipan tersebut memiliki makna yang sama, yakni Farida membayangkan suaminya yang telah meninggal. Hebatnya lagi, lamunan tersebut memiliki pola kejadian yang sama, yaitu lamunan Farida ditegur oleh putrinya yang bernama Arini. Agaknya perulangan cerita seperti ini memiliki kesan ‘memaksa’ untuk memanjangkan cerita demi berujung pada penciptaan sebuah novel.

Alur yang Datar
Faktor kedua yang membuat saya menganggap penciptaan novel Kenduri Arwah seolah terpaksa adalah penciptaan alur cerita yang datar-datar saja, tanpa dramatisasi konflik. Alur cerita novel ini cenderung simple, yakni Kamaruzzaman meninggal, lalu istrinya sering mengalami kejadian gaib, kemudian sajian flash back Kamaruzzaman menggunakan ilmu pengasihan, hingga ditutup dengan kematian istrinya gegara dijadikan tumbal. Tak ada kejutan yang membuat kepala saya bergeleng-geleng karena saking terkejutnya. Sebuah alur cerita yang telah lazim terjadi di film-film misteri Indonesia, yakni menjadikan keluarganya sebagai tumbal dan yang dijadikan tumbal akhirnya meninggal.

Kedataran alur kian terasa saat penghadiran seorang tokoh yang pada awalnya diceritakan karakter yang penting dalam cerita, namun tiba-tiba hilang begitu saja—tak tahu entah ke mana. Tokoh tersebut adalah Sarkawi yang merupakan saudara laki-laki Farida. Sarkawi dikisahkan memiliki andil penting dalam menilai keputusan Farida ihwal ritual memasang batu nisan sebagaimana kutipan berikut ini,

“Kau terlambat memasang batu nisan,” seorang laki-laki uzur berbicara kepada Farida di tengah kerumunan. Laki-laki tua itu memasang raut muka kurang bahagia. (halaman 23)

Berdasarkan kutipan tersebut, tampak jelas bahwa Sarkawi menjadi tokoh yang ucapannya memiliki pengaruh besar terhadap keputusan dan kondisi hati Farida. Namun hingga halaman terakhir selesai dibaca, Sarkawi tak pernah disebut lagi. Menghilang begitu saja tanpa bekas, padahal Sarkawi dalam sebuah cerita novel bisa menjadi bagian dramatisasi konflik yang cukup menarik.

Ending yang Sama Sekali Tidak Mengejutkan
Harapan terakhir dari novel Kenduri Arwah adalah sajian penutup yang manis, namun lagi-lagi kalimat yang muncul di dalam benak saya saat membaca ending-nya adalah benarkah penutupnya hanya seperti ini? Satu alasan besar yang membuat ending ini sangat mengecewakan adalah sebuah akhir cerita yang sudah disebutkan secara implisit pada bab-bab sebelumnya, sehingga cerita di dalam novel ini seperti tidak menemui pintu keluar yang bisa membuat saya sebagai pembaca menemui akhir tujuan perjalanan ini. Sederhananya seperti ini, apa yang bisa dinikmati dan dipahami dari sebuah ‘akhir’ jika hal itu telah dapat dilihat selama proses perjalanan? Bukankah sebuah ‘akhir’ adalah sajian yang paling berbeda dari awal hingga pertengahan? Bagaimana jika akhir itu terasa sama dengan awal dan pertengahan?

Akhir kata, Kenduri Arwah seharusnya menjadi cerita yang memikat jika dikemas menjadi cerita pendek. Namun dalam kemasan novel, apakah ada maksud tersembunyi yang belum bisa tertangkap oleh ‘mata lemah’ saya? Biarlah ini menjadi bahan diskusi yang terus berkelanjutan, bukti sebuah tulisan telah menemui jalan keabadian. 


Penulis:

Akhmad Idris. Seorang lelaki lulusan Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang terdampar di Bumi dengan selamat Sentosa pada tanggal 1 Februari 1994. Saat ini menjadi seorang dosen bahasa Indonesia di Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa dan Sastra Satya Widya Surabaya. Seorang lelaki pecinta wanita, tetapi bukan buaya; sebab tiada kesalahan dalam mencintai. Seorang lelaki yang mencintai dunia kepenulisan, meskipun tulisan-tulisannya biasa-biasa saja. Dapat dihubungi di 082139374892 (akun gopay) dan 089685875606 (WA), fb Akhmad Idris, dan ig @elakhmad & @wnkuri_official. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *