Cerpen
Tabu

Tabu

Lengan kekar secara reflek mengayun ke arah pipi gadis muda itu. Sontak, si gadis terduduk memegangi pipinya yang panas. Air matanya menggenang menahan sabak yang meruak. Namun demikian, hatinya lebih gusar menerima perlakuan kasar dari laki-laki itu.

“Pantas saja ibu pergi,” ucapnya.

Bibirnya dikatup rapat, rahang mengeras, dan hari ini, hatinya yang getas telah pecah berkeping-keping. Sembari masuk kamar, ia memunguti HP-nya yang layarnya sudah memunculkan corak baru berupa retakan kecil dan berkumpul. Ia masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu serapat mungkin, seperti bagaimana ia dulu sempat mengunci hatinya sebelum bertemu pemuda yang tidak direstui ayahnya itu.

***

Sejak ditinggal ibunya—yang kabur bersama pria lain—ia dibesarkan oleh ayahnya seorang diri. Lelaki yang hitam legam seperti tiang hangus terpanggang api itu bekerja keras demi cita-cita agar anaknya tidak mengalami nasib malang serupa dirinya yang hanya tamatan SMP, apatah lagi seperti ibunya—perempuan lacur sialan yang dikenalnya ketika bekerja sebagai buruh di sebuah daerah pedalaman. Wanita penjaga karaoke malam itu teramat menarik hatinya. Wajah yang lembut dengan kulit sawo matang, dada padat dan pinggul yang sintal itu kerapkali membuat jakunnya naik turun. Jadilah ia menabung gaji beberapa lama hanya demi dapat berkencan dengan perempuan itu.

Benar saja, ia jatuh cinta dengan perempuan itu tanpa harus menidurinya, meskipun uang yang terkumpul sudah lebih dari cukup untuk dapat berkencan beberapa kali. Mereka hanya berbincang sambil menyanyi lagu-lagu lawas. Ah, lagu pun seperti mendukung suasana hatinya.

Si perempuan pun begitu. Ia merasakan sosok kebapakan dari laki-laki itu, dan tanpa pikir panjang, ia menerima ajakan dari lelaki itu untuk menikah dan meninggalkan hidup sebagai pramuria. Kemana si lelaki pergi, ia pun turut serta dengan cinta.

Pernikahan mereka semakin berbahagia sejak si istri telat haid kali pertama, dan sembilan bulan setelahnya, lahirlah seorang bayi yang cantik jelita yang diberi nama Cinta.

Cinta tumbuh menjadi anak yang sehat dan cerdas, dan sangat disayangi kedua orang tuanya. Saat Cinta berusia empat tahun, ibunya yang ketika itu pergi ke pasar, secara tidak sengaja bertemu dengan kekasih lamanya—yang kepadanya diserahkan kegadisannya dengan sukarela. Pria yang menghilang setelah mengisap madu si perempuan hingga ia nyaris gila. Ia menyisir jejak-jejak dusta yang ditinggalkan pria itu pada setiap sudut kota. Merasa diri sudah tidak suci lagi, dan desakan kebutuhan ekonomi membuatnya terpaksa menjaja diri.

Pertemuan tidak sengaja itu menumbuhkan kembali cinta yang telah menjadi tunggul dan bersemi menjadi tunas yang menetas di kamar sebuah penginapan murah. Si pria yang sudah mapan (katanya) mengajak perempuan itu pergi dari kota itu, untuk hidup bersama. Memulai kisah baru dan meninggalkan kehidupan lama, meski harus meninggalkan Cinta dan ayahnya.

Si lelaki yang dikhianati sempat frustrasi dan ingin bunuh diri. Namun, setelah dilihatnya mata Cinta yang bulat jernih tanpa dosa, timbul keberaniannya untuk menjalani dan mendedikasikan hidupnya untuk Cinta.

Cinta yang juga mencintai ayahnya sepenuh jiwa, tumbuh dewasa melebihi usia sebenarnya. Ia kemudian memutuskan bekerja setamat sekolah menengah pertama, melamar kerja di sebuah pusat perbelanjaan ternama di kotanya, Pekanbaru. Meski harus memupus harapan mendapat pendidikan yang lebih tinggi sebab ketiadaan biaya.

Di tempat kerjanya, Cinta cukup disenangi oleh atasannya sebab cerdas dan rajin. Teman-temannya yang bekerja lebih lama darinya merasa iri dan cemburu, lalu dengan gelap mata, ia dituding sebagai wanita penggoda. Terang saja Cinta tidak terima hingga ia hampir dikeroyok oleh teman-temannya sesama wanita, andai tidak lekas dilerai oleh Rizki.

“Sudah, jangan diambil hati,” bujuk Rizki.

Cinta diam mengamati Rizki. Sosok pemuda yang—menurut taksirannya—usianya lebih tua beberapa tahun darinya. Sama seperti Cinta, Rizki juga kerap menjadi bahan olok-olokan dari teman-teman lelaki akibat cara bicaranya yang mendayu, serta jalan yang kemayu. Bahkan ia dipanggil Putri, sebuah olok-olokan yang menegaskan status kebanciannya.

Rizki tidak pernah melawan. Dia hanya diam, dan tersenyum, meski tidak ada yang tahu apa arti senyumannya.

“Aku juga tidak mau hidup seperti ini,” keluhnya suatu hari.

“Seperti ini bagaimana maksudmu?”

“Yah, kamu tahu. Seperti …”-ia diam dan terlihat ragu, namun setelah melihat Cinta mengangguk sambil tersenyum lembut, ia menjawab-“seperti banci.

Cinta diam.                                

Rizki juga diam.

Mereka seperti terhanyut dalam pikiran masing-masing.

***

Sering berjumpa dan bercanda menyadarkan Cinta bahwa tidak ada persahabatan yang tulus antara perempuan dan laki-laki. Bagaimanapun, ia melihat Rizki sebagai seorang lelaki yang tegar dan lembut. Sosok yang tidak didapatnya dari ayahnya yang meski menyayanginya sepenuh hati, namun tegas dan cenderung kaku. Rizki pun menemukan naluri kelelakiannya ketika dekat dengan Cinta.

“Seringkali aku merasa seperti wanita yang terkurung dalam tubuh lelaki.”

Cinta mendengarkan setiap ucapannya sambil memerhatikan gerak bibir Rizki yang terkadang terkulai sambil memiringkan kepala, kadang sambil memonyongkan bibir dengan mata yang berkedip-kedip. Sebenarnya ia geli sendiri melihat tingkah aneh Rizki, alih-alih kelakuannya yang malah lebih aneh lagi.

“Lalu, apakah kamu tidak memiliki ketertarikan sama sekali terhadap lawan jenis?”

Rizki sontak, tidak menyangka ditodong pertanyaan seperti itu. Dengan gugup, ia menjawab, “Ada. Kamu orangnya.”

Cinta diam, seolah sudah mengira. Hanya saja pada sudut matanya menggenang air yang sebentar lagi tumpah membasah pipinya yang bulat seperti jambu masak.

***

Sejak pengakuan Rizki yang terakhir, mereka pun memutuskan untuk merajut kasih. Rizki perlahan berubah, mulai menunjukkan sikap sebagaimana fitrah setiap laki-laki.

Untuk itu, ia memutuskan berhenti bekerja dari pusat perbelanjaan—yang hanya membunuh karakter kelaki-lakiannya.

“Aku diterima bekerja sebagai admin di toko bangunan. Kerjanya cukup gampang. Hanya mencatat pengeluaran dan pemasukan harian, kemudian mencocokkan dengan stok yang ada di gudang. Sedikit banyaknya mirip dengan kerjaan lama.”

“Syukurlah, semoga kamu betah,” balas Cinta.

“Kamu sendiri, kenapa terlihat begitu lelah?”

“Yah, kamu tahu. Hubunganku dengan ayah akhir-akhir ini kurang bagus.

“Selama ini beliau membesarkanku seorang diri. Aku paham bahwa dia khawatir dengan masa depanku. Takut, kalau aku dipermainkan oleh laki-laki, seperti bajingan yang membawa kabur ibuku.”

“Maksudmu?” Rizki bertanya dengan nada yang agak meninggi. Bola matanya terlihat bergetar. Ada semacam penolakan dari perkataan Cinta barusan.

“Kau tahu, seperti yang pernah kucerita sebelumnya, ibuku kabur dengan seorang laki-laki meninggalkanku yang masih berumur empat tahun, dan ayah yang mencintainya selama bertahun-tahun.”

Cinta diam sejenak. Teh telur pada gelas itu diseruputnya hingga tandas tinggal ampas. Di luar hanya terdengar suara knalpot motor yang digeber oleh pemuda-pemuda tanggung sambil mengangkat roda depannya. Beberapa dari pengunjung kafe meneriaki kelakuan bocah yang membahayakan tersebut, dan beberapa lainnya menyumpahi agar anak tersebut jatuh dan cacat, bahkan kalau bisa, mati.

“Lalu?” Rizki masih belum mengerti arah pembicaraan ini.

“Beberapa hari yang lalu, tepat setelah kamu mengundurkan diri dari tempat kerja kita, ayah bertanya padaku, apakah ada lelaki yang menarik hatiku. Aku hanya tersenyum. Ayah kemudian melanjutkan pertanyaan yang lebih berupa introgasi bagiku. Ia ingin tahu rupa laki-laki yang mencuri hati anak gadisnya.”

Wajah Rizki bersemu merah. Sesuatu dalam dadanya bergemuruh dan melesak keluar. Kupingnya panas. Ia tersipu.

“Tapi …”

“Tapi apa?”

“Ketika kutunjukkan fotomu, ayah marah besar. Kami bertengkar hebat tentang pendapat siapa yang benar. Ayah tidak mau aku menikah dengan (mantan) banci. Maaf.” Cinta menangis.

Rizki yang terhenyak, kemudian pergi meninggalkan Cinta dalam kegundahan hatinya.

Banci. Lagi-lagi karena aku banci, pikirnya.

***

Malam itu Cinta pulang lebih lama dari biasanya. Toko tempatnya bekerja mengadakan acara midnigth sale ‘belanja hingga lewat tengah malam’. Biasa acara ini dilakukan ketika capaian penjualan masih jauh dari target, dan kebetulan bertepatan dengan hari libur yang mengakibatkan kunjungan ke pusat perbelanjaan meningkat.

Lepas berberes toko, Cinta tak langsung pulang. Ia menyusur jalan Pekanbaru yang lengang ketika lewat tengah malam. Sebenarnya, ia masih kesal dengan ayahnya yang menilai secara sepihak. Hal itu jua yang menjadikan hubungannya dengan Rizki harus berakhir.

Ia berjalan tak tentu arah. Dengan lampu penerangan seadanya, jalan Arengka yang remang disusurinya. Angin malam itu menusuk tulangnya, berbanding terbalik dengan siang yang membakar kulit. Dipacunya motor matic itu dengan kecepatan yang sedang—tidak begitu kencang, namun tidak jua pelan.

Di ujung jalan, nampak olehnya sekumpulan wanita berpakaian seksi dengan rok mini sibuk melambai-lambai mencari pelanggan. Setelah dekat, barulah diketahui kalau ternyata sekumpulan banci tengah beroperasi.

Tiba-tiba ia teringat Rizki. 

Ah, apa kabar Rizki?

***

Cinta terkejut setengah mati. Ia mencari u turn terdekat dan memutar motornya ke arah tadi. Ia ingin memastikan betul.

Benar saja. Setelah dekat, ia menghentikan motornya.

Dengan suara tertahan, ia berkata, “Rizki?”

Sontak, Rizki—yang berpakaian serupa wanita, tengah berbincang dengan seorang pria yang wajahnya tersamarkan lampu yang temaram—terperangah melihat Cinta di hadapannya. Lelaki yang bertransaksi dengannya pun terkaget dan tanpa sengaja menoleh. Cinta semakin terhenyak.

“Ayah?”(*)



Ws. Djambak
saat ini bermastautin di Pekanbaru, Riau. Menyukai dunia tulis-menulis; puisi, cerpen, esai, dan novel. Beberapa cerpennya dimuat media cetak (lokal dan nasional) seperti; Harian Singgalang, Kompas, Republika, dan Jawa Pos

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *