Cerpen
Buka

Buka

KANTIL dan melati ronce menggantung indah, di kanan-kiri kerudung Singgih. Dempul telah mengering di wajah perempuan bangir itu, begitu juga ukiran hena di punggung tangannya, telah kering pula. Kutek merah delima itu sungguh menggoda. Ahad ini masa legan Singgih akan purna. Pemuda dari Magetan yang menjaminnya.

Hujan bahagia basahi tenda putih biru persegi itu. Semua orang bungah. Pagar ayu telah siap dengan gaun maron dan bunga tempel di kerudung, para tetangga sigap membantu ke sana-sini, dua hansip berkumis kelabu membenahi sabuknya siap berjaga. Orang-orang KUA yang saling bercengkrama di kursi akad menunggu mempelai. Dari jendela kamar, Singgih yang memantulkan situasi di luar, mendorong jantungnya untuk terus berdebar.

Profil kontak Arjun di WhatsApp Singgih tampak kosong, seperti karangan kehidupan mereka ke depan yang telah disepakati mulai dari nol. Info terakhir dilihat Arjun pun persis seperti pertemuan akhir mereka. Pun janji itu dibuat. Di kedai kopi Lesehan Lereng Lawu daerah Tawangmangu, Arjun dan Singgih memutuskan untuk los kontak sementara.

“Dek, apa kau pernah berbuka rindu?”

“Belum. Aku belum pernah mencoba puasa temu.”

“Mari kita coba, sebulan sebelum kita menikah. Setuju?”

“Siapa yang mau nolak? Oke.”

“Termasuk blokir semua akun sosmed?”                                                                        

“Ya, aku udah blokir semua sosmed kamu,” ucap Singgih dengan tangan lincahnya mengunjungi semua akun Arjun dan memblokirnya satu-satu.

Senyum Singgih kontan merekah. Ranum bibir merah kecokelatan akibat perpaduan dua pewarna bibir itu melebar. Anggun sekali di wajah ia yang mungil. Singgih pandangi terus dirinya yang bagai disulap oleh para mua itu. Sebentar lagi seluruh kecantikannya akan ia serahkan pada Arjun. Mereka juga akan berbuka rindu yang faktanya menggelisahkan.

“Bajul keparat!”

Singgih kaget. Sugih—bapaknya— berteriak murka. Telepon yang semula digenggam Sugih menjatuhi sepatunya. Giginya merapat, tangan sebelah mengepal dan satunya memegangi dada kiri. Sugih memang punya  riwayat darah tinggi. Dan sering merasakan nyeri dada sebelah kiri, maka kali ini hal itu terjadi. Orang-orang di sekitar meja akad terkejut. Sambungan telepon yang belum terputus itu pun diangkat oleh Pakde Jamil, ketua RT 16 yang kebetulan diundang menjadi saksi.

Orang-orang di dalam rumah pun satu per satu menuju meja akad, termasuk Singgih yang digandeng ibunya. Singgih merangkul Sugih yang kesakitan, tetapi pandangannya tak berpindah sekelebat pun dari Pakde Jamil.

Kenapa sih, Pak, kamu ini?”

Iya, Bapak. Kenapa? enggak enak badan lagi?” tanya Singgih kalem. Namun tetap tak direspon Sugih.

Penelepon menutup panggilan. Nelangsa menyembul di kerut wajah Pakde Jamil. Mulutnya bak disumpal kenyataan. Lelaki brewok itu hanya sanggup menatap Sugih, Siti—ibu Singgih dan Singgih bergantian.

“Pernikahan itu terdiri dari dua mempelai, tidak bisa hanya kau saja, Nduk, Singgih.” Kalimat itu keluar patah-patah dari mulutnya. Orang-orang bergumam kecil menafsirkan maksud Pakde Jamil, lalu dua orang petugas KUA itu pun saling pandang.

“Maksudmu apa to, Pakde!” sahut Siti ketus. Perempuan berjanggut terbelah itu tampak mulai naik pitam.

“Mas Arjun baik-baik saja, kan Pakde?” kali ini Singgih mulai was-was, takut terjadi sesuatu pada tambatan hatinya itu. Pikiran ia tidak karuan.

“Ya, dia baik-baik saja. Buktinya dia pergi ke Jogja.”

Kelesak-kelesik  mulut orang-orang membuat Sugih dan Siti wirang. Pun, mata Singgih membulat. Entah akan disebut apa perasannya saat ini. Ia pun tak tahu. Tak terungkap. Kantil dan melati ronce di kanan-kiri kerudung Singgih tetiba jatuh. Satu dua melati berguguran, pula Singgih yang menjadi bopongan.

***

Bangku di jalan Malioboro bersaksi atas dua orang yang kerap disangka pasangan itu bergeming. Kalut dengan perasaan masing-masing. Sepasang muda-mudi ini bungkam sejak sang lelaki— Arjun, membuat keputusan dari perencanaan panjangnya. Sepanjang 0 kilometer Jogja dengan Lempuyangan. Lalu-lalang roda dua ataupun kalang kebut bus trans Jogja menyalip sedan tak ubahnya menjadi hiburan kecut bagi lelaki berambut cepak itu. Sampai-sampai Kar beberapa kali membenahi kerudungnya yang nyaris diterbangkan angin.

Perempuan berkacamata oval itu sudah tak tahu harus berkomentar apalagi pada Arjun. Keras kepalanya tak berubah sedari SMP. Kar bingung berpadu dengan takut yang tak tanggung-tanggung. Bagaimana kalau semua tuduhan akan bertandang padanya. Bukannya tidak ingin disebut biang masalah, tetapi nalurinya sebagai perempuan seakan merasakan posisi Singgih saat ini. Ia dan Singgih lama akrab, Arjun sendiri yang mengenalkan perempuan energik itu padanya. Paras cantik dan humblenya pada semua orang, kadang membuat Kar cemburu sebagai perempuan.

Lagi, bayangannya pun tak tembus bagaimana kalau Singgih tahu Arjun sedang bersamanya. Apakah pertemanan mereka akan berujung benci atau Singgih yang pemaaf itu mengerti. Singgih tahu bahwa dirinya berdomisili di Jogja, dan bisa saja Singgih hubung-hubungkan dengan pelarian Arjun. Ia melirik Arjun yang sudah habis lima botol sprite dan tiga botol cocacola. Jogja kini panas, mungkin alam memang sedang menggambarkan kecil suasana hati lelaki itu.

“Minuman bersoda tidak baik untuk terlalu banyak dikonsumsi,” celetuk Kar. Arjun hanya menatapnya sebentar dan kembali menenggak cocacolanya yang tinggal sekali teguk.

“Seharusnya kau juga menjaga dirimu kalau memang keputusanmu menjaga orang lain itu sudah bulat.” Kar tetap menasihati Arjun walau Arjun mungkin tak mendengar suara lirihnya yang kabur dengan bunyi laju kendaraan.

Kar menyentuh pundak Arjun, “Juna juga dokter, tapi ia tak pernah menyarankan seseorang sepertimu untuk tidak menikah. Itu bisa disiasati dengan kontrasepsi.”

“Kau pikir hanya itu yang aku pikirkan? hanya aku, Singgih, dan keturunan kami kelak?”

Kar diam. Pikirannya berkelana jauh. Ada benarnya juga Arjun. Masalah besar tidak akan selesai di Arjun dan Singgih saja. Ini bukan sinema yang modal kenekatan cinta lantas semua beres tak tersisa. Arjun semakin menunduk, memegang rambut legamnya yang tampak kilau oleh terik matahari. Diam beberapa saat, seluruh tubuhnya bak tergetar, pundaknya naik turun. Sesenggukan terdengar oleh Kar.

“Aku tidak pernah melanggar ketentuan agama, Kar, tapi kenapa Gusti Allah enggak pikir-pikir mengujiku!” ucapnya dengan suara serak.

Kesedihan Arjun menyetrum cepat jiwa Kar. Perempuan lemah lembut itu pun mbrebes. Kata-kata lebur bersama dengan air matanya yang luruh. Pahit langit-langit mulutnya, sesak pula di dada ia. Pelan, jemarinya menjamah punggung Arjun yang makin terisak. Bukan penyakit itu yang menyiksa, melainkan perpisahan yang telah ia rencanakan jauh sebelumnya.

“Kenapa sih, Kar, Gusti Allah tidak puas telah merenggut Bapak semenjak aku belum lahir, lalu Ibu diambil-Nya pas aku masih haus kasih sayang …,” ucapnya gelagapan sebab terisak.

“Sekarang aku harus menjauh dari dambaan jiwaku juga.” Darah mendesir tak teratur terasa betul dari punggung Arjun.

“Takdir macam taikah, ini? Gusti Allah asu tenan!”

“Hus! Istighfar, Arjun!” tegas Kar sambil mengusap derai air matanya sendiri.

Langit Malioboro seperti mendengar umpat Arjun pada pencipta-Nya. Ia selayak tak terima, dan tampak akan menumpahkan apa saja yang ditahannya sejak tadi. Jalanan Malioboro diguyur hujan deras tanpa aba-aba dalam waktu beberapa detik. Kar menyeret tangan Arjun berteduh di depan ruko yang tutup.

“Tidak semestinya kau menyalah-nyalahkan Tuhan yang memang berhak mengatur hidupmu, Jun.”

Napas Arjun memburu. Ia rasa, ia memang keterlaluan dalam bersikap kepada Tuhan. Kini tatapan Arjun kosong, pandangan ia hanya tertuju pada hujan yang menghajar aspal tanpa ampun. Mungkin juga ini karenanya. Menyebabkan para malaikat penurun hujan murka atas ucapannya tadi. Masih baik ia tak tersambar petir. Itu ia artikan bahwa Gusti Allah memakluminya.

“Coba kalau yang diuji adalah kau, Kar. Apa kau akan memuji-muji kebaikan Tuhan?”

“Yang jelas aku akan jujur pada Singgih. Sepahit apapun kejujuran, itulah kebenaran, Jun.”

Arjun tertawa. Sesekali kepalanya menggeleng, “Apa kau mau merepotkan orang yang kau cintai untuk terus memikirkan masalahmu yang entah mana ujungnya?” ucapnya sambil tersenyum masam.

Lagi-lagi Kar buntu jawaban. Rasanya dari seluruh ucapan Jun itu tak ia temukan ruang sanggah barang setitik. Tiba-tiba Jun mundur selangkah darinya, menyenderkan tubuhnya ke pintu ruko dan disusul Kar yang menyejajarinya. “Sekarang memang baiknya begini. Singgih akan sangat membenciku sebab aku sudah mengkhianatinya di depan keluarga, kerabat, dan semua orang.” Arjun kembali menyunggingkan senyum, walau pahit.

“Aku tidak tahu lagi. Semoga semua sesuai keinginanmu, Jun.”

Pelan-pelan hujan nyaris habis dari mata langit. Arjun dan Kar harus berpisah. Arjun akan mencari kos di sekitar PT. Mirota KSM sementara Kar harus pulang ke rumahnya di daerah Parangtritis. Arjun akan menggantikan posisi HRD yang sedang cuti di pabrik susu itu dan ia tetap berpuasa temu dengan Singgih. Tanpa menanti waktu berbuka itu tiba.

***

Sadar dari siuman, Singgih menyebut nama Arjun tiga kali berturut-turut. Siti menempelkan tangannya ke dahi Singgih, hangat. Perempuan itu demam. Sugih, setelah kondisinya lebih baik dari sebelumnya, dapat banyak masukan dari para tetangga dan kerabat. Misalnya usulan untuk mempolisikan Arjun. Namun tentu usulan itu tidak ditelannya seorang diri, ia tetap harus meminta izin pada Siti dan Singgih. Kalau Siti, tentu setuju. Kalau Singgih, mungkin ia harus dibujuk untuk sepakat dengan keputusan itu. Bagaimanapun Arjun itu seseorang yang menghuni hatinya.

“Tidak, Pak. Singgih enggak setuju Mas Arjun dipolisikan.”

“Mas Arjun pasti punya alasan kuat dengan hal ini. Singgih akan menunggu sampai ia menghubungi Singgih kembali.”

Hati Singgih memang remuk sekali. Walau begitu, banyak kata tapi yang ditampiknya. Singgih memang perempuan yang tak mudah dipengaruhi. Ia benar-benar mengeratkan pendiriannya. Walau orang tuanya telah menjelaskan, bahwa wali Arjun membatalkan pernikahan ini tidak hormat. Percayanya pada Arjun tidak rubuh dengan insiden besar begini sekalipun.

“Tapi aku mau menunggu, Bu,” kekehnya menanggapi rayuan sang ibu untuk menurut.

Siti dan Sugih mengalah. Mereka pasrah dengan kemauan putri semata wayangnya. Tetangga dan kerabat yang ada, membantu beres-beres meski dengan dumalan-dumalan. Tukang tenda dan dekorasi bergerak cepat membongkar tenda. Beberapa membongkar dengan emosi karena bayaran mereka terancam tak sesuai perjanjian. Beberapa yang lain, justru kasihan dengan keluarga Singgih. Betapa berat menanggung malu. Sudah pasti akan menjadi bahan gosip besok pagi dan entah gosip itu akan enyah berapa hari.

Malam itu, dan malam-malam seterusnya selalu menjadi rutinitas Singgih saat salat istikharah masih meminta Arjun sebagai jodohnya. Begitu merendah dirinya di hadapan Sang Pencipta, dimaksudkan agar Sang Pencipta berbelas kasih padanya. Ia sudah membuka blokir semua akun sosmed Arjun sebagai ikhtiar, berharap Arjun pun lakukan hal yang sama dan menghubunginya. Ia akan sabar, walau setiap kali membuka mata dan akan menutup mata kembali tak kunjung ada perkembangan. Foto profil dan seluruh status Arjun masih kosong.

Mungkinkah Singgih memikirkan betapa malang kondisi lelaki itu di Jogja? Bahkan Kar sekalipun sudah tidak berhubungan dengan Arjun sebab sibuk mengurus pernikahannya dengan Juna. Paling-paling hanya mengingatkan, “Jangan lupa minum obat.” atau “Jangan lupa terapi rutin ya, Jun.” Selainnya tak ada yang menjamin pasti Jun melakukan semua itu atau tidak.

Badannya semakin kurus, ia sering sesak napas, virus itu telah menguasai betul tubuhnya. Imun yang terserang semakin hari semakin kalah. Juga keinginan berbuka rindu dengan Singgih yang tak kunjung tunai, memperparah penderitaannya. Enam bulan, semua telah berubah. Dan semakin buruk saja seluruh waktunya.

Bulan bulat sempurna di langit, mengantarkan Jun untuk tidur nyenyak sejak malam itu. Tepatnya setelah terang-terangan ia meloloskan kata rindu pada Singgih dari mulutnya. Sayang waktu berbuka sudah tiada, takdir yang menghapusnya.(*)


Penulis:

Uniqia Solu adalah mahasiswa STKIP PGRI Ponorogo. Program studi yang diambilnya sangat mendukung sekali hobi menulisnya. Beberapa kali memenangkan lomba menulis cerpen dan puisi, tergabung dalam Competer Indonesia dan Kepul. Dia admin komunitas kepenulisan Sarasayu Books Community dan Jamedia Publisher lini Elsage Publisher. Dia punya Mading kesayangan di kamar yang berisi harapan dan tulisan-tulisan lainnya. Sapa dia di Ig: Solu.ryka26 FB: Solu Rika Twitter: UniqiaS

1 thought on “Buka

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *