Esai
Transendensi dan Hegemoni

Transendensi dan Hegemoni

TRANSENDENSI menjadi bagian obsesi penyair. Transendensi merupakan salah satu pijakan daya cipta, yang mengalirkan puisi hadir ke hadapan pembaca mutakhir. Puisi-puisi  Kiki Sulistyo sengaja menyingkap tabir  transendensi yang menyelubungi kultur kehidupan sehari-hari ke dalam puisi-puisi bernas dengan kekuatan kontemplasi diksi. Transendensi  dipertaruhkan sebagai penjelajahan ekspresi daya cipta penyair. Obsesi penyair pada  dunia agraris dan maritim terasa sangat kental dalam kumpulan puisi Tuhan Padi (CV Halaman Indonesia, 2021) yang terpilih sebagai buku puisi terbaik Tempo 2021. Buku kumpulan puisi ini dicipta senapas dengan Rawi Tanah Bakarti (Diva Press, 2018) yang terpilih sebagai buku kumpulan puisi terbaik Tempo 2018.  

Makna transendensi adalah kesadaran ketuhanan atau kesadaran vertikal manusia, bukan secara agama semata, tetapi secara makna apa saja yang melampaui akal kemanusiaan. Ini  merujuk pada cara pandang keilahian, untuk memaknai kultur kehidupan di sekitar penyair. Dengan berpijak pada kultur kehidupan, Kiki Sulistyo mengukuhkan pencarian obsesi penciptaan puisinya. Bagi saya,  kumpulan puisi  Tuhan Padi berobsesi pada konflik sosio-kultural yang sama dengan kumpulan puisi Rawi Tanah Bakarti. Kumpulan puisi ini menjadi penawar pergolakan batin penyair untuk membebaskan diri dari hegemoni kekuasaan  yang membelenggu kehidupan petani dan nelayan. .   

Saya takjub pada kesadaran transendensi yang menyusup sebagai motif puisi-puisinya. Ia melakukan perlawanan terhadap  hegemoni kekuasaan yang menghancurkan tradisi agraris dan maritim.  

*** 

SAYA tertarik pada kekuatan transendensi dan pembebasan hegemoni kekuasaan yang menindas manusia. Dalam  puisi “Sembaluni”, pada mulanya penyair menyingkap transendensi yang melingkupi atmosfer kehidupannya: hamba menyembah pada yang ketinggian, utusan dengan/ berkat di tangan telah membagi seluruh lembah, menyebar biji,/ menyalakan pohonan hingga demikian terang lingkar gunung//.  Kekuatan transendensi itu pada akhirnya dimanfaatkan penyair untuk melakukan perlawanan terhadap hegemoni kekuasaan pemerintah: “utusan itu akan datang lagi, mengenakan seragam kerani/ meletakkan batu pertama sembari membagi brosur pariwisata,/ nanti, lembah ini, tak lebih dari surga biasa tempat hamba tak lagi menyembah siapa-siapa//.  Hegemoni kekuasaan pemerintah yang menyertai kekuatan birokrasi, mencipta narasi yang berkedok dunia pariwisata, yang melenyapkan tradisi agraris, spiritualitas, dan transendensi yang menyelubunginya.

Kesadaran transendensi mengalirkan larik-larik puisi untuk mencapai perlawanan hegemoni kekuasaan. Dalam puisi “Tuhan Padi” transendensi dunia agraris yang disimbolkan dengan “ibu pertiwi”  mesti berhadap-hadapan dengan modernitas, gaya hidup, dan kekuatan kapitalisme: ibu yang ditinggalkan melihat tuhan padi dikuburkan dalam televisi/ waktu itu malam begitu berisi tapi api sudah padam, dapur hanya/ menyisakan sekam serta guguran kapur dari bangunan di tengah areal/ tanam. Maka bernyanyilah ibu, lagu paling bisu yang ditenun/ dengan jari-jari luka. mata ibu merah,  kata-kata ibu tak memberi sedikitpun berkah//.    

 Transendensi  yang menjaga toleransi beragama ditenggelamkan hegemoni kekuasaan kaum kapitalis dapat dipahami dalam puisi “Mayura”. Puisi ini menyingkap  kisah abad 18, ketika perang berkobar. Penyair menyingkap panorama hegemoni kekuasaan kaum kapitalis yang menenggelamkan keberagaman spiritualitas dan transendensi: adalah lontar perjanjian, adalah taruhan yang tak pernah dimenangkan/ dalam mimpi pelancong tua; barisan pura, potret-potret tuan guru/ tanda salib di bawah jendela, genta bodhisattva, membentangkan panorama/ pegunungan tropis, lukisan manis dalam tatapan mata kamera setelah mata/ uang membuatnya benar-benar nyata//.  

Penaklukan hegemoni kekuasaan muncul dalam puisi “Buleleng-Singaraja” dengan bahasa yang jernih dan diksi terpilih: dalam dagingku mengalir darah Raffles,/apabila raja penakluk itu menolak/aku punya alasan untuk menyebutnya pemberontak. Hegemoni  kekuasaan telah  mencipta kekuatan koersif untuk menundukkan pihak lawan, tanpa mempertimbangkan moralitas. Kekuatan militer menjadi bagian hegemoni kekuasaan, sebagai ancaman perang.  

***

DALAM puisi-puisi yang lain, yang terhimpun dalam kumpulan puisi Tuhan Padi, Kiki Sulistyo menyingkap kekuatan kesadaran transendensi yang memasuki ruang sosial. Ia masih meneruskan tradisi penciptaan puisi Rawi Tanah Bakarti. Ia  memiliki napas panjang penciptaan puisi dan tak pernah kekeringan imajinasi untuk mengekspresikan ide dari kultur yang menjadi atmosfer kehidupannya sehari-hari. Terdapat banyak puisi dalam buku ini yang menyingkap tabir hegemoni kekuasaan: “Mandalika, 2”, “Sunggar Tutul”, “Kuda Jepun Putih Madu”, “Hijrah Jaelani”, “Tumbak Datu Rompak”, “Laporan Surat Kabar tentang Penampakan Piring Terbang di Atas Gang Pelacuran”, “Martiria”, “Perhimpunan Marga”, “Di Seberang Hotel”, “Kijang Mentaram”,  “Situasi Politik, 1987”, dan “Pikiran Terlarang”.  Saya memperoleh kesadaran bahwa  hegemoni kekuasaan  itu menjelma dalam: mitos, kaum kapitalis, kekuatan koersif militer, ideologi, kolonialisme, dan cengkeraman partai.  Ia telah menciptakan  obsesi katarsisnya terhadap aneka ragam hegemoni kekuasaan yang mencengkeram kaum agraris dan maritim dengan menyentuh kesadaran transenden. Hampir semua perlawanannya dikemas dalam suasana transendensi. .  

Kiki Sulistyo  mencapai “identitas sastra” dengan cara  mempresentasikan ciri-ciri kultural dan ciri-ciri literer yang dikembangkannya secara bersama-sama. Ia  mempertaruhkan proses kreatif yang lebih intens: jati diri penciptaan teks sastra. Yang mengasyikkan, penyair berobsesi pada ekspresi bahasa yang mengemas konflik sosio-kultural masyarakatnya. .     

Sebagai penyair, Kiki Sulistyo telah menemukan “identitas sastra” yang berpijak pada atmosfer kehidupan masyarakatnya yang memiliki keberanian untuk memberontak dari penindasan: strata sosial, kaum feodal,  kaum kolonial, dan hegemoni kekuasaan pemerintah. Puisi-puisinya menandai kegelisahan orientasi kreativitasnya untuk menyusun arti dan merancang bunyi. Saya teringat pesan W.S. Rendra agar penyair mencipta puisi dengan cara melisankannya untuk mencapai harmoni diksi dan bunyi. Puisi-puisi Kiki Sulistyo pun mencapai tataran “musik bahasa” yang diperoleh melalui  “pergumulan komunikasi”.

Dalam cakrawala kepenyairan, saya melihat Kiki Sulistyo melakukan pencarian kreativitas yang pernah ditempuh Amir Hamzah, Chairil Anwar, dan Goenawan Mohamad. Ia berketetapan hati untuk menelusuri  pembebasan terhadap hegemoni kekuasaan dengan bahasa dan imaji sejarah, mitologi, ritus, dan sistem sosial-budaya masyarakat zamannya.  []


Penulis:

S. Prasetyo Utomo, sastrawan, doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *