Cerpen
Lelaki yang Memeluk Bulan

Lelaki yang Memeluk Bulan

Malam menggerayangi. Lelaki itu terjaga. Ia baru saja memeluk bulan dalam mimpi. Tubuhnya beranjak dari tempat tidur. Kakinya bergerak  menyeret sandal jepit. Menuju sumur tua. Mengerek. Menimba air. Berwudhu. Lima menit kemudian sudah berada di mushala.  Dengan khusuk, ia sholat malam. Lalu berdoa lama. Ditandaskan dengan zikir. Hingga dua jam.

Pukul dua dini hari. Lelaki itu beranjak dari atas sejadah. Kembali ke pembaringan. Tangannya melepas peci. Pakaian kebesaran khusus menghadap Sang Kholik masih melekat. Jubah putih yang panjangnya hingga tumit. Sorbannya dilepas, ditaruh di meja kecil tak jauh dari tempat tidur. Barulah tubuhnya terbaring setelah mematikan lampu.

Matanya terpejam, tetapi tidak tidur. Ia selalu mimpi memeluk bulan.  Sudah berminggu-minggu, berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Terngiang-ngiang ucapan teman seperguruannya yang sama-sama mendalami ilmu mistik. Jika seseorang bermimpi memeluk bulan, maka ia akan mendapat sesuatu hal yang menakjubkan. Salah satunya rezeki yang besar. Lelaki yang terpejam, namun tak tidur itu yakin, tak akan lama lagi, mimpi itu akan menjadi kenyataan.

“Aku sedang berjuang demi umat,” begitu ucapannya pada Ardi, yang menyewa rumah sebelah. Ardi tersenyum simpul. Sudah bosan dengan ucapan serupa dari orang yang sama. Berjuang demi umat. Ingin ditanyakannya namun percuma karena khawatir menjadi perdebatan. Sementara berdebat dengan orang yang menurut sebagian orang ‘sinting’ alias ;’tak waras, adalah suatu perbuatan sia-sia. Hanya membuang-buang waktu. Apalagi ucapan pemilik rumah  sesuatu yang tak rasional. Ardi hanya mesem-mesem saja sebagai bukti menanggapi padahal sebenarnya tidak. Dan ingin segera pemilik rumah itu berlalu agar tak lama-lama mendengar omong kosongnya.

“Jika perjuangan ini berhasil, aku akan memberimu dua puluh juta.”  Ucapan begitu pun untuk yang kesekian kalinya.

“Kakak iparmu… si Gunawan…akan kuberi dua puluh juta juga. Aku peduli padanya. Tak tega melihat kemiskinannya,” tambahnya.

Terkadang Ardi tergelak. Bagaimana dengan tanpa beban lelaki itu menyebut ‘Gunawan miskin’, sementara yang berbicara sendiri pun lebih dari miskin. Ya, punya rumah yang cukup besar. Namun rumah besar terlebih tanpa perabotan, bukan jaminan bisa dianggap tak miskin. Lelaki itu—pemilik rumah yang disewa Ardi sekeluarga—menurut Ardi, jauh lebih miskin dari kakak iparnya yang memiliki pekerjaan—menjadi kuli bangunan, meski tak saban minggu.  

“Ya, terima kasih atas kepedulian Akang…” basa-basi dari mulut Ardi.

“Ardi… kita ini sama-sama sedang berjuang. Sedang berupaya. Sedang bekerja. Mencari materi. Bedanya aku dan kau… kau bekerja mengandalkan fisikmu sementara aku dengan kekuatan batin,” jelasnya. Ini pun sudah kerap Ardi dengar.

Itu salah satu penggalan episode perbincangan tempo hari antara Ardi dengan lelaki bernama Ahmad Sodikin. Lelaki yang kini tengah berbaring di atas tempat tidur. Matanya terpejam namun tidak tidur.  Usianya lima puluh enam tahun. Ia tak tahu kapan tepat tanggal dan bulan lahirnya. Yang diingatnya, ibunya pernah mengatakan weton lahir Jum’at. Hari yang bagus menurut banyak orang.

Semenjak kecil, orang tuanya sudah bercerai. Ibunya sekuat tenaga membesarkan ketiga anak yang semuanya laki-laki. Ahmad Sodikin anak kedua.  Demi mencukupi kebutuhan, ibunya  berjualan makanan basah depan sekolah dasar. Ayah ketiga anaknya tak pernah sekalipun memberi biaya. Suatu ketika, Ahmad Sodikin pernah berkunjung ke toko ayahnya. Ia berjalan kaki karena tak punya ongkos. Di toko itu, ia sempat meminta permen pada ayahnya. Ibu tirinya mendelik tak suka. Lalu ayahnya melemparkan dua buah permen ke arahnya.    

“Jika kau besar nanti, kau akan punya toko permen yang sangat banyak! Jauh lebih besar dari toko ayahmu!” teriak ibunya, sakit hati melihat anaknya pulang dengan derai air mata.

Perempuan bernama Ijah itu mengumpulkan sedikit semi sedikit uang, hingga bisa menyewa warung untuk berjualan nasi. Karena dagangannya laris, lalu menyewa toko kecil di pinggir jalan dan laris. Lalu dibelinya sepetak tanah dan membangun rumah. Ia rajin beribadah, bersedekah dan  pantang menyerah. Rumahnya bertambah. Satu, dua dan tiga. Di beda tempat. Rumah-rumah itu pun sangat besar bahkan menjadi rumah kontrakan.  Tahun demi tahun, janda itu terus  mengumpulkan uang hingga  bisa berangkat naik haji.

Ahmad Sodikin  taat beribadah. Lama di pondok pesantren. Sesekali berguru ilmu kebatinan di tempat-tempat keramat. Namun, untuk urusan dunia, ia jauh sekali dengan kedua saudaranya. 

“Kau itu sudah dewasa… tapi tak ada sedikit pun kedewasanmu,” ucapan ibunya yang kesal memerhatikan anak yang malas mencari uang. Ahmad Sodikin tak perlu mencari pekerjaan jika mau. Bisa  mengelola salah satu toko ibunya. Ijah yang berubah dipanggil Hajah Khodijah dikenal perempuan yang pandai mencari uang.

“Harta itu tidak perlu dicari dengan keluar keringat, Mi. Buat apa, cape-cape. Lagipula Umi sendiri kan yang mengajariku untuk selalu taat dan patuh pada Allah…” jelas Ahmad Sodikin santai.

“Ya… tapi yang kau cari itu hanya akhirat!” seru ibunya cerewet.

“Bukankah dalam sebuah hadist ditegaskan… bekerjalah kau untuk akhiratmu tapi jangan lupakan sedikit duniamu! Berarti… yang paling penting itu akhirat, Mi. Bukan dunia!”

Lantaran tinggal Ahmad Sodikin yang belum menikah,  Hajah Khodijah mencarikan jodoh. Lia—perawan yang usianya  lebih muda lima belas tahun dari Ahmad Sodikin. Cantik, dengan bulu mata lentik, kulit putih dan rambut bergelombang.  Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki. Semua kebutuhan hidup ditanggung Hajah Khodijah. Namun  lama-lama, perempuan yang sebelumnya patuh pada suami, orang tua dan mertua itu  bekerja di pabrik tekstil. Ia terjerat cinta terlarang dengan mandor muda berwajah tampan.

Perselingkuhan mereka terbongkar setelah istri si mandor menemui Ahmad Sodikin dan ibunya. Hajah Khodijah meminta anaknya menceraikan Lia. Setelah melewati masa idah, Lia dinikahi selingkuhannya yang telah menceraikan istrinya.

Setelah ibunya meninggal dunia, Ahmad Sodikin hanya mendapat warisan sebuah rumah. Sebenarnya warisan ibunya  sangat banyak. Namun kedua saudaranya licik. Ia tak mau berdebat di samping memang ia mudah dibodohi.

Untuk kebutuhan makan sehari-hari dan bayar listrik, ditanggung adiknya. Rumah itu ketika masih ada ibunya, penuh disewakan. Namun semenjak ditempati Ahmad Sodikin, jadi tidak laku meski dengan biaya sewa yang  murah. Konon  lelaki itu doyan mengintip perempuan mandi yang membuat calon penyewa rumah mengurungkan niatnya.

Belum setahun, Ardi, istri dan ketiga anak perempuan mereka menjadi penghuni rumah sewaannya. Selain besar juga murah. Mereka sangat betah. Namun terkadang sebal jika membayangkan pemilik rumah yang terkadang aneh. Lelaki itu taat beribadah namun sangat suka menonton video bokep. Uang sewa rumah ia gunakan membeli kuota internet. Di dunia maya, ia mengenal banyak perempuan. Sekitar empat puluh perempuan dipacarinya. Sebagian ada yang menuntutnya menikah. Lelaki yang otaknya sudah dipengaruhi porno, tak kuat menahan hasratnya. Ia  berniat memperistri beberapa perempuan di duna maya. Barulah ia mulai sadar butuh materi. Dengan ilmu mistik yang didalaminya, ia berpuasa dua puluh tujuh bulan. Sebagai syarat untuk mendapatkan dua karung uang dan emas.

Dua puluh tujuh bulan ritual puasa, harta itu tak kunjung didapat. Padahal mimpi memeluk bulan sudah kerap mengusiknya. Kini ia lebih banyak mengurung diri.  Ia masih rajin shalat dan mengaji. Namun di waktu senggang merayu perempuan di media sosial menjadi candu diselingi menikmati konten-konten porno.

Lelaki itu kian malas manampakkan hidungnya di luar rumah.  Ia pun  bingung dengan perempuan-pereman yang menuntut menikahinya karena disangkanya Ahmad Sodikin itu lelaki yang mapan lantaran terkadang media sosial itu penuh tipu daya.

Sudah seminggu keluarga Ardi tak mendengar suara lelaki itu. Rumah sewaan memang berhimpitan, satu dinding hingga langkah kaki bisa terdengar. Pasutri itu sedikit was-was. Malam itu, mereka berdua tak seperti biasanya merasa takut meski sedari awal tahu rumah berpenghuni 36 jin yang dirawat pemilik rumah.  

“Kita ke kamar mandi sebelah…” ajak Ardi.

Ruangan bagian belakang bersatu dengan pemilik rumah. Di kamar mandi itu ada sumur tua berair banyak. Biasanya Ahmad Sodikin mencuci di sana malam hari. Namun bunyi kerekan lama tak terdengar.

Berdua   mendapati sepasang sandal jepit. Rasa penasaran yang maha tinggi sesaat setelah mencim bau yang tak biasa. Sumur itu menganga. Dan sesosok tubuh berjubah putih mengambang.(*)

~Bandung, 25 Juni 2020


Penulis:

Komala Sutha yang lahir di Bandung, 12 Juli 1974, menulis dalam bahasa Sunda, Jawa dan Indonesia. Tulisannya dimuat dalam  koran dan majalah, di antaranya Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, Jawa Pos, Kompas.id, Republika, Kedaulatan Rakyat, Solopos, Minggu Pagi, Harian Rakyat Sultra, Harian Fajar, Merapi, Mercusuar, Radar Bromo, Denpasar Post, Lampung Post, Padang Ekspres,  Malang Post, Bangka Post, Analisa, Medan Post, Kabar Cirebon, Tanjungpinang Post, Radar Banyuwangi, Radar Jombang, Madrasah Digital, Sinar Indonesia Baru, Joglo Pos, Regaksimagz, Ceritanet.co, Lensasatra.co, Lensarakyat.co,  Diksi Jombang, Karebaindonesia, Ayobandung. Com, Veasna, Tribun Kaltim, Radar Tasik, Kabar Priangan, Galura, Target, Femina, Hadila, Potret, Veasna, majalahAnak Cerdas, majalah Utusan, Mayara, SundaUrang, WartaSunda, Beat Chord Music, Manglé, SundaMidang, Djaka Lodang,  Mutiara Banten, Kandaga, Cakra Bangsa, Metrans, Buletin Selasa, Redaksi Jabar Publisher, Utusan Borneo dan New Sabah Times. Buku tunggalnya, novel Separuh Sukmaku Tertinggal di Halmahera (MujahidPress, 2018) dan kumpulan cerpen Cinta yang Terbelah (Mecca Publishing, 2018).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *