Puisi
Puisi Rehan Naza

Puisi Rehan Naza

Rumah Bersalin

ketika rumah terjaga dari lelahnya. sesekali
ia membangunkan ibu. untuk sekadar
menemani buang air atau untuk meminta air.
ibu tak pernah marah, meski terkadang
ibu sedikit berwarna merah.

untuk beberapa waktu, rumah menyalin dirinya sendiri.
dia berhasil melahirkan seorang anak. dengan
tiga pintu di depan ruang keluarga. namun,
daun pintu harus diganti dengan daun telinga.
agar bisa disebut anak, katanya.

namun anak rumah tidak punya teman.
dia selalu dituduh karena pencurian lahan.
anak rumah yang malang; kepalanya sering
dilepas paksa dengan surat gugatan.

hingga keluar seluruh isinya dan berhenti menjadi
tempat singgah. rumah berhenti menyalin dirinya sendiri.
sebab, ibu sudah lelah untuk terus terjaga.

2022

Hutan Rahim

hari ini ibu mengajakku berjalan-jalan
ke rahimnya—tidak bersama bapak tentunya.
gerbang utama dibuka, dijelaskannya
makna kesendirian. tidak bersama siapa-siapa.
tidak dengan apa-apa.

ibu hanya diam sebab kata ibu:
“diam adalah puncak keramaian.”

gerbang berikut-berikutnya ibu juga tidak banyak
bicara, hewan buas mengintai kami berdua rupanya.
kepalanya besar dan memiliki ekor panjang.
ramai sedikit, kami akan kembali ke dunia.

ibu membuka gerbang yang terakhir. menghilang,
menjadi kunci. sedang aku, terlahap hewan buas
yang berpura-pura lelap.

2022

Mencari Arah

tersesak dan tersesat. jutaan kepala
memilih jalan yang sama. dengan sisa napas
separuh dada, mereka merangkak menuju arah
utara. untuk mencari rangka.

“mengapa kita tidak berbalik arah?”
satu di antaranya bertanya. namun mereka menjawab
pertanyaan tersebut dengan pertanyaan itu sendiri:
“mengapa arah tidak berbalik pada kita?”

tercekat dan tersekat. mereka berbaris di depan
gerbang pemberhentian. satu per persatu kepala diperiksa.
dibongkar isinya. “harus sesuai kriteria!” seru si penjaga.
banyak dari mereka yang harus balik arah sebab isinya
hanya perihal senang dan tenang.

tidak ada yang membawa kata pulang di dalamnya.
“jika saja ada nafas yang lebih panjang.”
maka mereka tidak harus terus berjalan.

2022

Punggung Tanah Ibu

ibu pergi pagi sekali sebelum aku menjadi
kata kerja: bangun, berhasil, dan berbicara.
memikul banyak bunga dan berharap
mekar pada ingatanku.

pergi menuju pasar mencari harapan
untuk anak-anaknya yang merasa lapar.
ibu hanya membawa sedikit kata-kata yang bisa
ditukar menjadi kenyang; menjadi tenang;
menjadi senang; menjadi pulang.

dan datang ketika aku menjadi kata sifat:
dewasa, bimbang, dan cemas. sebelum akhirnya
kembali menanam bunga-bunga lelah di benaknya.

adalah punggung tanah ibu:
kau bisa menuai apapun kecuali kebencian.

2022

Cerita Kamar Mandi

kutemukanmu dalam bab-bab sedih yang tersusun
pada kamar mandi. mendidih dan menindih.
seperti ingin memarahi sikat gigi
karena tak bisa menjadikan mulut itu bersih.

setiap hari, kau menggambar pintu dengan lukamu.
membayangkan jalan raya yang penuh sabun muka
sebab debu sudah jarang ditemui. dan bermain
dengan lampu lalu lintas. tidak ada merah, kuning, dan hijau.
kau menghapus semua warna menggunakan mantra.

kutemukanmu, yang tergambar dalam bab-bab sedih.
dan kemudian mendidih. pintu kamar mandi
sedang penuh dengan pembuluh arteri.
sebab kau dan emosi sama-sama tidak bisa pergi.

2022


Penulis:

Rehan Naza, lahir di Surabaya tahun 2002. Aktif bergiat di Komunitas Rabo Sore. Saat ini sedang menyelesaikan studi Sastra Indonesia di Universitas Negeri Surabaya. Beberapa puisinya telah terbit di media lokal. Buku puisinya yang akan terbit berjudul “Siklus”.

1 thought on “Puisi Rehan Naza

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *