Resensi Buku
Mrs. Dalloway: Lanskap Sebuah Mahakarya dan Dua Catatan Atasnya

Mrs. Dalloway: Lanskap Sebuah Mahakarya dan Dua Catatan Atasnya

Judul               : Mrs. Dalloway
Penulis             : Virginia Woolf
Penerjemah      : Fela, Liliani, Sabila, Kenanga
Penerbit           : Penerbit Narasi
Terbit               : Cetakan Pertama, 2022
Tebal               : 252 Halaman
ISBN               : 978-623-7586-66-1

Dalam perkembangan kesusastraan Inggris kontemporer, nama Virginia Woolf menjadi salah satu nama yang paling dikenal. Kekhasan citra kepengarangannya yang lekat dengan tradisi Stream of consciousness, atau yang kita kenal dengan Arus Kesadaran, menjadikan posisi Woolf sama pentingnya dengan pengarang sezaman lainnya—James Joyce atau William Faulkner, sekadar menyebut dua contoh. Di samping itu, sebagai pengarang modern yang berkiprah di abad 20-an, ada kesadaran lain juga menjadi ciri khas dari Woolf: Ketimpangan gender yang mesti dienyahkan. Dari situ, karya-karya Woolf kerap dikaitkan dengan semangat feminisme yang kuat. Dua hal itulah yang bisa pembaca raba manakala kita menyelami salah satu mahakaryanya, yaitu Mrs. Dalloway.

Awalnya, ada kekhawatiran dalam benak saya ketika hendak membaca novel Woolf terbitan Narasi ini. Saya pernah membacanya langsung dalam versi aslinya, berbahasa Inggris; tetapi menundanya di seperempat bagian buku lantaran struktur narasi Woolf yang sedemikian menuntut kesabaran. Tidak hanya dari struktur bahasanya sendiri, tapi lebih kepada implementasi dari teknik Arus Kesadaran yang ada di dalam novel ini. Di dalam novel, definisi Arus Kesadaran sebagai teknik karakterisasi yang hadir dari alam bawah sadar mental dan pola pikir manusia yang mencangkup pikiran, persepsi, perasaan, dan asosiasi yang mengalir begitu saja (Minderop, 2005); memang terejawantahkan ke dalam diri karakter-karakternya. Dari situlah, kekhawatiran saya timbul: apakah penerjemahan novel ini bisa menghadirkan kekhasan Woolf tersebut tanpa penyelewengan yang berarti?

Ada dua catatan terkait pertanyaan itu. Pertama, memang benar kalau kekhasan dan ciri khas Woolf bisa pembaca raba dalam proses pembacaan mereka atas novel ini. Pembaca akan tahu kalau novel ini hanya latar satu hari: Dimulai saat tokoh utama, Mrs. Dalloway pergi mencari bunga untuk persiapan pestanya nanti malam, dan berakhir saat pesta itu digelar. Pembaca pun tahu kalau karakter utama dari novel ini, Mrs. Dalloway, menjadi pusat cerita. Seperempat novel menggambarkan prosesi dirinya yang hendak membeli bunga dengan pembukaan khas sekaligus membuat penasaran, “Nyonya Dalloway berkata bahwa ia akan membeli bunga sendirian.” Lensa cerita lantas membingkai suasana pagi kota London dengan jalanannya yang dipenuhi orang beserta anjing-anjing mereka, juga cuaca pagi yang membuat betah siapa saja yang melaluinya.

Detail cerita adalah hal yang memikat dalam kisah Mrs. Dalloway ini. Melalui narasinya yang sepenuhnya bertumpu pada teknik “ngoceh”, yang kadang beraturan, tapi kadang juga tidak; pembaca bisa membayangkan secara jelas apa saja yang dilewati oleh Dalloway sepanjang perjalanan, siapa saja yang ia ajak bicara, dan pikiran apa saja yang melintas dalam benaknya. Di sini, persinggungan pembaca atas Arus Kesadaran pun dimulai. Narasi sepenuhnya bertumpu pada suara batin, seliweran persepsi, pikiran, memori, yang berlintasan dalam benak “siapa yang sedang ditampilkan”. Manakala lensa cerita diarahkan ke diri Dalloway, kita tahu kalau di usianya yang kelima puluh, mendadak ingatan tentang figur dari masa lalunya, yaitu Peter, merasuk dalam benaknya. Narasi lantas mengisahkan persinggungan keduanya, tentang kisah cinta mereka, betapa mereka pernah saling jatuh cinta, sampai bagaimana hubungan mereka berakhir dan Dalloway memilih pria lain.

Apakah itu keputusan yang tepat? Kita mendapati sepercik keraguan dalam diri Dalloway, sembari kesadaran bahwa ia tengah dalam perjalanan untuk membeli bunga disadari oleh kita. Lalu tahu-tahu, kita bisa saja mendapati narasi berbeda saat Dalloway bertemu karakter lainnya dalam perjalanan itu. Dalloway sejenak disingkirkan, dan kita mesti menyimak pengisahan—secara detail—atas karakter lainnya: siapa mereka, apa saja sifat mereka, bagaimana hubungan mereka dengan Dalloway. Perpindahan yang kerap kali terbaca liar ini terus terjadi di sepanjang isi novel. Narasinya bergerak dengan bebas, liar, dan detail; ia mengupas kedalaman batin dan pikiran para tokohnya, di samping juga menggambarkan seperti apa gambaran diri tokoh tersebut. Perpaduan antara pikiran, persepsi, dan perasaan yang dikupas itu tampak mengalir begitu saja. Dalam beberapa bagian, mungkin aliran itu seperti menubruk batu dan membuat kita kaget, tapi lebih sering ia mengalir setenang aliran air tanpa terhalang apa pun.

Aliran itu pun tidak saja berhenti pada diri Dalloway dan orang-orang yang ditemui semata, sebab pengisahan novel ini juga menyebut tokoh penting lainnya, yakni sosok pria bernama Septimus. Lensa itu sampai pada pengisahan mengenai karakter ini manakala Dalloway melewati taman tengah kota; di sana, sepasang suami-istri Septimus dan Rezia, sedang memandangi air mancur. Narasi pun berpindah, kita dikisahkan soal sosok Septimus yang memiliki trauma pasca perang yang dulu ia ikuti; bayangan temannya yang tewas menjadi mimpi buruk, dan pikiran untuk mengakhiri hidup bukan sekali dua kali bertandang di kepalanya. Di situ, kita mendapati satu paradoks yang ada dalam diri Rezia, sebab ia berpikir kalau “hidupnya akan lebih baik lagi bila Septimus sudah tiada” (hal. 30), keinginan itu ada lantaran ia menderita dengan fakta bahwa gangguan jiwa yang diidap Septimus membuatnya selalu terabaikan dan sendirian; tapi tidak ada siapa pun yang bisa diajaknya bercerita tentang kondisinya (hal. 31). Situasi itu yang membuat diri Rezia mati langkah, sebab apa yang bisa dilakukannya hanyalah menemani suaminya.

Dari dua figur karakter itu, keberagaman watak manusia yang timbul akibat keadaan psikologi tertentu berhamburan di dalam novel ini. Persinggungan mereka memang tak selalu secara gamblang, sebab sering kali mereka hanya bertemu di satu jalan yang sama, dan sebatas mengenal “oh, itu Nyonya Dalloway dan oh, itu Septimus yang punya gangguan mental”; tapi pengupasan tiap-tiap karakternya bisa membentangkan keterhubungan, alias mereka punya benang merah yang tak saling disadari. Dalam satu dugaan, bisa jadi benang merah itu hadir lantaran setiap anggota masyarakat, yang ditampilkan dalam novel ini, menyimpan persepsi diri masing-masing atas orang-orang di sekitar mereka. Namun, pengupasan atas persepsi itu sebatas terkuliti di benak mereka, tanpa mempersilakan orang lain mengetahuinya. Dan di sini, pembacalah yang menjadi pihak lain yang diperbolehkan mengintip suara di kedalaman batin itu.

Pembaca pula yang bisa menentukan, apakah benar novel ini bernapaskan feminisme sebagaimana yang digadang-gadang narasi utama di sekitar kita. Seturut pembacaan saya, benar kalau terdapat spirit feminis yang hadir dalam figur beberapa karakter di dalam novel. Misalnya, kita bisa mencermati spirit itu dalam narasi Clarissa Dalloway yang berkata: “Menurutnya, bila ia terikat pernikahan, ia takkan lagi punya kebebasan. Pasangan yang sudah menikah harus hidup bersama, melewati hari demi hari di rumah yang sama. Itu sangat membosan bagi Clarissa (hal. 8).” Bisa kita cermati, Dalloway sadar akan anggapan yang hidup kala itu bahwa pernikahan dipandang sebagai pagar bagi kebebasan diri perempuan. Manakala perempuan memasuki ranah pernikahan, tugas mereka sedemikian jelas: hanya urusan domestik semata. Selain itu, Dalloway memandang kalau jiwanya yang bebas akan terbatasi, sebab ia tinggal di satu rumah dengan orang yang sama, seolah-olah ia tak bisa bertemu siapa pun dan menghabiskan sepanjang hari di rumah tersebut.

 

Kendati tiga kalimat itu mengandung hal-hal yang masih bisa kita pertanyakan, tapi setidaknya mereka memiliki spirit pembebasan (feminisme) yang berhubungan erat dengan ruang hidup perempuan. Barangkali, ini juga beririsan dengan esai Woolf yang terkenal itu “A Room of One’s Own”, yang memperkarakan ruang gerak, dalam hal ini situasi perempuan untuk berkarya, mesti ditopang kelowongan waktu, uang, dan kebebasan yang cukup. Manakala hal-hal itu tidak didapat, bisa saja perempuan kehilangan kesempatan untuk berkarya lebih baik lagi, sehingga Woolf berargumen kalau hal-hal itu diperlukan, terutama bagi mereka yang menggeluti dunia tulis-menulis. Oleh sebab itu, keterhubungan argumen Woolf ini bisa kita kaitkan dengan penggalan paragraf atau tiga kalimat tersebut, dan itu mewakili semangat pembebasan, keseimbangan ruang dan kesempatan, yang ada dalam gerakan feminisme.

Gambaran lainnya, bisa kita cermati saat narasi diarahkan ke sosok bernama Lady Bruton, teman dekat suami Clarissa, Richard Dalloway. Ada petikan yang berbunyi: “Lady Bruton memiliki reputasi lebih tertarik pada politik, daripada membicarakan orang, apalagi membicarakan tentang pria (hal. 143).” Kalimat ini, kalau kita hubungkan pada kondisi zaman ketika novel ini ditulis, tentu berhubungan dengan gerakan perempuan yang mulai memasuki ranah di luar ranah domestik. Urusan perempuan bukan lagi urusan dapur, sumur, dan kasur semata; melainkan juga urusan lain yang sebelumnya lama dipegang laki-laki saja. Di sini, Lady Bruton menjadi salah satu yang merepresentasikan perempuan yang ada di jalur ini, sebab ia lebih suka mengurusi apa-apa yang berhubungan dengan politik, alih-alih hal remeh seperti membicarakan orang. Lalu, apa dengan begitu, novel ini menjadi karya feminis?

Untuk menjawabnya, agaknya kita perlu sedikit membedah secara singkat bagaimana sebuah karya bisa dikategorikan sebagai karya feminis. Seturut pengetahuan saya, sebuah karya dianggap karya feminis manakala di dalamnya terdapat representasi gerakan feminisme, sebab feminisme menjadi sesuatu yang dilakukan secara kolektif. Hal ini tidak sama dengan anggapan yang disebut di awal, bahwa karya ini bernapaskan feminisme; sebab bernapaskan bukan berarti menjadikan karya ini sebagai karya feminis. Dengan begitu, cukuplah kita menganggap kalau novel ini bernapaskan feminisme, dan itu pun tidak ditampilkan secara gamblang, tetapi lebih dengan cara yang samar-samar.

Kendati samar, lagi, kita tidak bisa menafikan kalau itu menjadi kekhasan dari karya Woolf ini. Tapi sayangnya, karya sepenting ini tidak dihadirkan dengan kepengrajinan penerjemahan yang ajek. Dan inilah catatan kedua saya. Bahwa benar, kalau kualitas terjemahannya cukup baik, sebab membuat proses pembacaan atas novel ini tidak begitu sulit, bahasannya cukup berterima dan terkesan mengalir; tapi pada separuh bagian terakhir, editor novel ini tampaknya mulai enggan untuk berajin-rajin dalam memeriksa typo atau salah tik. Awalnya, itu didapati hanya di bagian tertentu dan typo-nya sepele saja; tapi seturut pembacaan, tipo itu makin sering saya dapati dan begitu mengganggu proses kenikmatan membaca. Dari situ, saya berharap, pada cetakan selanjutnya, kesalahan tik itu bisa ditangani dengan baik.

Sebab, kita tahu, karya-karya Woolf tidak banyak dihadirkan ke dalam terjemahan bahasa Indonesia. Sangat disayangkan kalau kehadiran novel ini sebagai salah satu sumbangsih menghadirkan karya dari khazanah global yang jarang disentuh, justru digarap tanpa penggarapan yang benar-benar matang. Hal ini bisa saja mencederai nilai atas karya-karya Woolf sendiri, lantaran pembaca jadi mengingat kalau karya Woolf yang mereka baca adalah terbitan yang penuh salah tik yang sulit untuk dimaafkan.


Penulis:

Wahid Kurniawan, penikmat buku, mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *