Puisi
Puisi Denny Ardiansyah

Puisi Denny Ardiansyah

Di Sukaraja Nuban

Jalanan menjelma pita rekaman.
memutar lagi adegan-adegan
menyusuri cerita-cerita rumah papan

Kebun kikim1 seperti bercakap-cakap
tentang harga jual yang lebih sering turun
dan bikin bingung

Pekarangan menerima perantau layaknya tamu.
perlahan membuka pagar kenangan
mengurut tapak-tapak menuju pintu
menyusun kisah-kisah purba sebagai jamuan

Pepadun2 di ruang tamu pun berbisik-bisik
tentang kota yang membuat orang gagap
bicara dalam bahasa puaknya

Lantai tempat tanjaran3 bergumam:
Seruit4 paling lezat selalu diracik
tangan kanjeng5
Baung6 paling gurih harus dibakar
tangan kiyay7
Kopi paling nikmat setelah diaduk
tangan daying8

Foto-foto di dinding turut berbincang,
“yang pergi harus kembali.”
“yang mengenang tak boleh hilang.”

Metro, April 2022

Keterangan:
1Kikim: ubi kayu; Manihot utilissima.
2Pepadun: tempat duduk para Suttan ketika acara adat di daerah Lampung Abung
3Tanjaran: makan bersama dengan hidangan yang tertata rapi di lantai
4Seruit: makanan khas Lampung yang terdiri dari ikan, sambal terasi, tempoyak (fermentasi durian). Orang paling tua, ketika makan bersama, biasanya didapuk untuk mencampur semua bahan makanan menjadi seruit sebagai bentuk penghormatan.
5Kanjeng: panggilan untuk anak tertua
6Baung: ikan air tawar yang besar dan tidak bersisik; Macrones spp.
7Kiyay: panggilan untuk anak kedua
8Daying: panggilan untuk anak ketiga

Menonton Cangget

Talo Balak1 tak henti berbunyi
selalu setia memanggil
menganai dan muli2
yang sering mendegil

“Pulanglah, hai anak-anak adat.
Di sini, kalian boleh menari sampai pagi.”

Di Sessat Agung3, nama-nama disebut
tak pernah keliru.
Di Kutomaro4, para muli mematut.
Satu-satu menari tak terburu-buru

“Pulanglah, hai anak-anak adat!
Di sini, kalian bahagia menari sampai pagi!”

Metro, April 2022

Keterangan:

1Talo Balak: seperangkat alat musik tradisional yang mengiringi acara adat Lampung
2menganai: bujang; muli: gadis
3Sessat Agung: tempat berlangsungnya acara adat Lampung
4Kutomaro: tempat berbentuk rumah di dalam Sessat Agung yang diperuntukkan bagi muli saat berlangsungnya acara adat Cangget

Bumbang Aji

sebelum engkau menjadi sungai yang menyimpan ikan
sebelum ada perahu yang boleh berlayar mengikuti aliran
orang-orang harus duduk dan merapatkan: barang bawaan,
waktu canang lunik dibunyikan, serta tanggal penjemputan

dua hati berpaut sehasta tali
patuh kepada para penyimbang
karena cinta tak bisa dibeli
keluarlah engkau dengan pinang

di depan pintu, air mata mengalir bersama kata-kata
tentang kasih ibu yang tak bisa dibawa
dan kampung yang hanya bisa menerima janji:
walau jauh di mata, tak akan hilang di hati

Metro, April 2022

Juluk

: teringat Ibu Suttan Pujian

kami diajarinya mengeja nama-nama
mencerna kisah-kisah yang tersembunyi
agar tak keliru saat bersama menikmati kopi
sebab lidah salah ucap bisa jadi perkara

Nama serupa takdir perkawinan
mendapatkan anak lelaki atau perempuan
atau bahkan tak memiliki keturunan

Kisah-kisah mirip lekukan aksara
tak pernah terduga; mana yang bahagia
mana yang penuh lara tersebab angkara

dia mengajari kami menghafal nama-nama
sekaligus mengajak kami untuk menerima
takdir dari cerita-cerita yang fana

Metro, April 2022

Di Rumah Sajak

Kata sedang leha-leha di beranda
ketika datang serombongan kalimat
membuka pagar dengan paksa
“Kami lelah. Kami butuh istirahat,
Seharian dipakai tuan dan nyonya
yang fasih ngoceh di layar kaca,
yang asyik ngetik di percakapan maya.”

Di dapur, alinea sedang sibuk mengorek
sumsum tulang kata untuk dihidangkan
kepada penyair yang sering bokek
yang kalau bicara selalu bersedan-sedan

Metro, April-Mei 2022

Kebingungan di Kotamu
Yang Katanya Tempat Bertemu

kebingungan mencari kata asli di sini
padahal orang-orang membuka diri
dengan perayaan di jalanan setiap hari,
bersama lantunan yang biasanya basi

kebingungan di kotamu karena ternyata
hanya tempat orang-orang bertukar harapan
dengan satu tusukan di lembaran kertas suara
bersama keyakinan yang pelan-pelan jadi kesepian

Metro, Mei 2022


Penulis:

Denny Ardiansyah, lahir di Jakarta, 21 Desember. Tahun 2001 merantau ke Jember untuk berkuliah di Program Studi Sosiologi Universitas Jember, hingga lulus pada tahun 2009. Salah satu puisinya masuk ke dalam Sepuluh Puisi Terbaik pada Krakatau Award 2006. Salah satu puisinya dibukukan dalam Nubuat Labirin Luka, Sebuah Antologi Puisi Untuk Munir (2005). Puisinya pernah dimuat beberapa media cetak dan online. Pernah menggunakan pseudonim Dhe A Sujana untuk beberapa cerpennya pada tahun 2007-2010. Selain merangkai puisi dan mengarang cerpen, juga menulis esai dan tinjauan buku yang dipublikasikan di media cetak dan daring sejak tahun 2003. Saat ini bermukim di kota masa kecilnya, Metro, Lampung. Sehari-hari ikut menggerakkan kegiatan di Salama (Sastra Bulan Purnama) Kota Metro.  Saat ini berkegiatan sebagai Penggiat Budaya Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemdikbud untuk wilayah kerja Kota Metro. Mengumpulkan karyanya yang tersebar di berbagai media pada laman https://denniology.blogspot.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *