Cerpen
Setelah Nenek Dan Kakek Punya Hp

Setelah Nenek Dan Kakek Punya Hp

Nenek mulai sering duduk di dekat jendela. Memakai kacamata kuno yang ukuran lensanya mirip kerupuk bundar. Kedua matanya selalu menyipit dengan posisi kepala agak miring agar penglihatannya tepat terarah ke layar HP Nokia polyphonic yang dipegangnya.

Sejak tiga hari lalu—sejak diterimanya HP itu yang dikirim oleh paman dari rantau—nenek mulai jarang terlihat di dapur. Jarang pergi ke ladang. Jarang ke kandang sapi. Ayam-ayamnya pun sering telat ia kasih pakan sehingga kerap membuat keributan di halaman. Sementara kakek sering marah-marah karena pekerjaannya di ladang tak selesai oleh sebab nenek tak lagi membantunya. Cangkir kopinya sering kosong. Nasinya bau gosong, mungkin karena tungku perapian yang tak terkontrol.

“Sejak kau memegang HP, banyak pekerjaan yang jadi berantakan. Bagaimana kamu ini kok jadi anak-anak lagi?”

Suara kakek meninggi dan penuh emosi. Kadang disertai pukulan telapak tangan ke datar meja. Aku mengintipnya dari balik pintu. Nenek tak menyahut apa-apa. Kedua matanya masih fokus ke layar yang agak kuning itu. Jari-jemarinya sibuk memencet tombol hingga kemudian terdengar suara melodi Kucing Garong dengan volume tinggi.

Nenek menggoyang-goyangkan kepalanya dengan asyik, sengaja demikian agar tak mendengar omelan kakek.

“Jika kau terus begitu, akan kupatahkan HP itu!” ancam kakek sambil berlalu.

***

Pengalaman nenek yang pernah sekolah SR membuatnya bisa membaca. Meski dengan ejaan yang tertatih, tapi kemampuan membacanya bisa membuat dirinya menelusuri aneka menu yang ada di HP itu, hingga tiba suatu hari nenek memintaku untuk membeli headset.

Headset, Nek?”

“Iya. Yang dipasang ke telinga itu. Aku mau mendengar musik dan berita di radio.”

Aku bingung mau mengangguk atau menggeleng karena setelah punya HP, kehidupan nenek seperti berubah pada kehidupan anak-anak; sering hanya uring-uringan di dekat jendela, tak peduli pada beberapa pekerjaan yang semestinya harus ia selesaikan. Dampak dari itu semua, aku pun harus rela lebih sibuk mengurus beberapa pekerjaan nenek yang terbengkalai.

“Rina! Apa kau bersedia untuk  membelikanku headset? Jika tidak bersedia, besok aku akan menelepon pamanmu agar mau mengirimkannya padaku,” suara nenek setengah emosi.

“Itu HP tua, Nek. Headsetnya sudah tak ada lagi di konter-konter.”

“Apa? Kau bilang ini HP tua? Kamu jangan menghina ya, awas akan kusampaikan ke pamanmu,” ancam nenek dengan kedua mata menyala-nyala.

***

Aku tidak tahu dari mana nenek dapat headset. Kini ia mulai menggunakannya sambil tiduran atau duduk di dekat jendela. Ia semakin tak peduli pada semua hal, baik pekerjaannya maupun omelan kakek. Semakin hari, kakek semakin rajin marah-marah, rajin meninju meja, dan rajin mengancam untuk mematahkan HP nenek, tapi semua itu tak terbukti hingga membuat nenek semakin manja dan tak hirau.

Aku pun mulai ada rasa kesal melihat perubahan hidup nenek yang hari-harinya lebih banyak dihabiskan dengan HP. Ia semakin menggila setelah kedua telinganya sering ditutup headset, hingga tak jarang ia tertidur dalam keadaan memegang HP dan headset menyumbat kedua telinganya.

Saat nenek tertidur, aku mencoba mendekati kakek di beranda untuk membicarakan kebiasaan buruk nenek.

“Kek! Sebagaimana yang kakek ketahui, sekarang nenek tak mau memasak, tak mau memberi pakan ayam dan sapi, dan tak mau lagi membantu kakek ke ladang. Itu semua karena nenek terlalu berkutat dengan HP. Aku sering mendengar kakek mengancam untuk mematahkan HP nenek, kapan itu akan kakek laksanakan? Aku juga sudah tak kuat, Kek!”

Kakek tak langsung menjawab, ia mengisap kelobotnya agak lama, melepasnya dengan buraian asap. Meneguk kopi, kemudian menghela napas panjang, dan melepasnya perlahan. Ia lalu menoleh ke wajahku.

“Kalau benar-benar kupatahkan, aku khawatir nenekmu akan depresi, juga tak nyaman pada pamanmu yang telah memberikan HP itu,” suara kakek datar.

“Jadi ancaman kekek itu sebenarnya hanya…”

“Hanya menakut-nakuti nenekmu.”

“Tapi nenek tak merasa takut, bahkan ia merasa jika ancaman kakek hanya sandiwara belaka, sehigga ia malah semakin menggila.”

Kakek kembali termangu. Ia lebih banyak menunduk sambil mengisap kelobotnya dan menyemburkan asap begitu saja, membiarkannya merayapi kulit wajahnya yang keriput. Kedua matanya berkedip pelan seperti menanggung beban yang berat. Sebentar kesenyapan menyergap kami berdua di beranda.

“Coba kamu telepon pamanmu. Ceritakan semua itu,” getar suara kakek terdengar agak dalam.

***

Aku menguping pembicaraan nenek sambil mengintip dari balik pintu. Nenek sedang berbicara dengan seseorang di ujung telepon. Headsetnya lekat di kedua telinganya sehingga yang terdengar hanya suara nenek saja. Kadang tertawa dan kadang nada suaranya memelas seperti mengadukan sesuatu.

Dari obrolan itu, aku bisa menebak bahwa yang sedang nenek telepon itu adalah paman. Pantas saja saat kutelepon paman, notifikasinya selalu “sedang menunggu”, dan panggilanku tak diangkat  meski sudah berkali-kali.

Sejak dari awal menguping, aku mendengar nenek menceritakan kehidupan keluarga kami di sini. Kata nenek, berkat nenek punya HP, kakek jadi bahagia karena urusan jadi ringan. Jika perlu sama seseorag cukup ditelepon sudah datang. Katannya, kakek juga sering pinjam HP itu, minta diajari main ular-ularan atau kadang menyetel melodi Kucing Garong dan melodi dangdut lainnya. Mendengar itu semua, ingin rasanya kuteriakkan pada paman bahwa itu semua bohong. Tapi, itu tak etis karena bisa membuat nenek tersinggung, lagi pula, mustahil paman untuk tak percaya pada omongan nenek.

“Agar lebih bahagia lagi, ayo dong ibu kirimi HP android.”

Tiba-tiba nenek membujuk paman agar mau dibelikan HP android. Sontak aku bangkit dengan dada yang berdebar-debar, sembari membayangkan apa jadinya jika nenek punya HP android, sudah pasti dia semakin tak ingin keluar kamar. Sudah pasti banyak pekerjaan semakin terbengkalai, dan itu pasti akan membuatku depresi dan semakin kurus.

Setelah mendengar permintaan nenek kepada paman, aku langsung menyusul kakek ke ladang untu memberitahu hal itu. Kakek berhenti mencangkul setelah aku datang. Sambil  mengipas tubuhnya dengan topi pandan yang sedari tadi ia pakai, kakek mulai menyimak pembicaraanku di bawah rindang pohon ketapang yang tumbuh di tepi ladang.

“Ya, mestinya kamu segera beritahu pamanmu kalau nenekmu itu bohong. Tak usah dikirmi HP android, pakai HP biasa saja sudah lupa kerja apalagi pegang HP android,” tegas kakek padaku.

“Saya sudah berkali-kali menelepon paman, Kek. Tapi tak pernah diangkat. Lagi pula percuma jika saya yang cerita. Paman pasti lebih percaya kepada omongan nenek daripada omongan saya.”

“Kalau begitu, biar aku langsung yang bicara pada pamanmu.”

Segera kutelepon paman, tapi tetap tak menerima panggilanku. Aku kirim pesan lewat WA jika yang ingin bicara adalah kakek. Tapi paman tetap tak merespon meski chatku sudah centang biru. Enam kali panggilanku tetap tak diterima. Akhirya aku menyuruh kakek bicara lewat WA dengan pesan suara, lalu kukirim ke paman. Dalam pesan itu, kakek menyatakan dengan suara tegas agar paman tidak mengirim HP android kepada nenek, sebab perilaku nenek jadi buruk setelah punya HP.

Aku sedikit lega. Kakek pun tersenyum

***

Segera aku ke beranda setelah terdengar dua kali panggian salam. Seorang lelaki berjaket dan bermasker berdiri di depan pagar. Ternyata seorang kurir, ia memegang paket dan menyebut nama nenek dengan nada suara yang bertanya. Aku pun menjawab apa adanya. Lelaki itu menyerahkan paket itu kepadaku dan sejenak memotret wajahku sebelum akhirnya pergi dengan motornya.

Kuamati paket yang kupegang. Nama pengirimnya paman. Spontan aku menyimpulkan kalau paket itu berisi HP Android. Setelah beberapa saat berpikir, akhirnya kuputuskan untuk menyerahkan paket itu kepada kakek. Kakek pun bersedia menerimanya, dan dugaku betul, ternyata kiriman paman itu HP android.

Hari-hari berikutnya, sambil sembunyi-sembunyi, kakek meluangkan waktu sekitar 30 menit untuk belajar mengoperasikan HP itu kepadaku setiap hari. Aku pun mengajarinya beberapa hal hingga suatu hari kakek menyuruhku mengisi paket data. Setelah kuisi paket, kakek semakin rajin membawa HP itu ke ladang. Di ladang, ia jarang bekerja. Waktunya lebih banyak digunakan untuk bermain HP.

“Rina! Apa kau tak pernah menerima paket dari kurir? Tanya nenek seketika suatu pagi. Aku bimbang hendak menjawab apa. Tapi kemudian spontan kepalaku menggeleng. Nenek meninggalkanku tanpa bicara apa-apa. Sebentar kemudian ada panggilan dari paman. Sungguh sangat tidak biasa. Paman yang berkali-kali tidak menerima panggilanku, pagi itu malah tiba-tiba memanggilku. Kubiarkan panggilan itu. Beberapa kali HPku menyala sambil berdering. Bukannya aku dendam, tapi bingung mau bicara apa pada paman jika bertanya tentang HP kirimannya.

Semakin hari, kehidupan keluargaku semakin tak karuan; nenek masih selalu diam di kamar menghabiskan waktunya dengan HP polyphonicnya dan kadang menangis karena HP kiriman paman dikiranya masih belum datang. Sementara kakek jarang pulang ke rumah, bahkan sering bermalam di ladang. Ia mengaku jujur kepadaku; ia lebih banyak main HP di ladang agar tidak diketahui nenek. Kakek sudah sama dengan nenek; sama-sama kecanduan HP. Aku bingung mau berbuat apa. Andai mereka anak-anak, mungkin bisa kutakut-takuti, tapi mereka bukan anak-anak.

Akhirnya kukatakan saja pada nenek bahwa HP nenek yang dikirimi paman sudah diterima kakek dan sering digunakan saat ada di ladang. Sontak nenek geram. Ia langsung bergegas menuju ladang. Aku berharap mereka akan bertengkar, biar HP itu rusak, sebelum HP itu yang merusak keluargaku.(*)

~Rumah FilzaIbel 2022


Penulis:

A. Warits Rovi, lahir di Sumenep, Madura, 20 Juli 1988. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai dan artikel dimuat di berbagai media  antara lain: Kompas, Tempo, Jawa Pos, Horison, Media Indonesia, Republika, MAJAS, Sindo, Majalah FEMINA, dll. Memenangkan beberapa lomba karya tulis sastra.  Buku Cerpennya yang telah terbit Dukun Carok & Tongkat Kayu (Basabasi, 2018). Buku puisinya adalah Kesunyian Melahirkanku Sebagai Lelaki (Basabasi, 2020). Sedangkan buku puisinya berjudul Ketika Kesunyian Pecah Jadi Ribuan Kaca Jendela memenangkan lomba buku puisi Pekan Literasi Bank Indonesia Purwokerto 2020. Ia mengabdi di MTs Al-Huda II Gapura. Berdomisili di Jl. Raya Batang-Batang PP. Al-Huda Gapura Timur Gapura, Sumenep, Madura 69472.

1 thought on “Setelah Nenek Dan Kakek Punya Hp

Leave a Reply to Dyah Kurniawati Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *