Esai
Dekonstruksi Cerpen Lelucon Para Koruptor

Dekonstruksi Cerpen Lelucon Para Koruptor

Istilah dekonstruksi dikemukakan oleh Jacques Derrida untuk mengungkapkan cara pembacaan suatu teks.  Derrida merupakan seorang filsuf asal Perancis, pemikirannya banyak dipengaruhi para filsafat fenomenologi. Dekonstruksi atau dikenal juga dengan pascastrukturalisme muncul untuk menentang para kaum strukturalisme yang menganggap bahwa sebuah teks merupakan sesuatu yang sudah bulat dan tidak dapat dibongkar lagi maknanya. Seperti pandangan yang dikemukakan tokoh strukturalis Ferdinand de Saussure mengenai relasi antara signifiant-signifie yang bersifat statis. Bagi Derrida tidak ada ungkapan bahasa dengan makna tertentu semua bisa dibongkar sedemikian rupa untuk menemukan makna yang tidak terbatas. Dengan kata lain, sebuah kata tidak bisa dibatasi hanya pada kata, kalimat, atau teks tertentu yang berdiri sendiri, harus dilihat hubungannya dengan kata lain.

Dalam tulisan ini akan mendekonstruksi cerpen Lelucon Para Koruptor karya Agus Noor. Cerpen Lelucon Para Koruptor merupakan salah satu cerpen yang terdapat dalam buku kumpulan cerpen dengan judul yang sama. Agus Noor dikenal sebagai cerpenis, penyair, dan penulis naskah drama. Karya-karyanya banyak bercerita mengenai kritik sosial yang tengah ramai diperbincangkan di masyarakat, salah satunya cerpen Lelucon Para Koruptor. Banyak paradoks-paradoks yang dihadirkan secara terbalik dalam teks cerpen ini. Sehingga untuk menghadirkan makna yang kompleks, maka dilakukan pembacaan teks secara dekonstruksi sebab konsep dekonstruksi menolak struktur lama yang telah lazim kita saksikan. Pembacaan teks cerpen ini secara langsung bertujuan untuk mengetahui struktur dan pembentukan makna baru dibalik makna pada umumnya. 

Sepintas membaca judul cerpen Lelucon Para Koruptor, kita akan menduga para koruptor yang membuat lelucon atau cerita-cerita lucu. Dugaan tersebut tidaklah salah, sebab judul cerpen memang selaras dengan isi cerita cerpennya. Struktur penggambaran alur, tokoh dan latar tidak ada yang berbeda dengan cerpen-cerpen lain. Hanya saja keunikan Agus Noor mengkonstruksi penjara terlihat sangat berbeda, ia menganggap penjara bukan tempat menakutkan untuk menghukum orang yang melakukan tindak kejahatan seperti yang sering kita dengar atau saksikan di televisi. Tetapi dalam cerpen ini penjara digambarkan sebagai rumah nyaman bagi para koruptor. Sehingga koruptor masih bisa leluasa melakukan kegiatan seperti waktu sebelum masuk penjara.

“Pengacara yang menangani kasusnya itu hanya mengatakan kalau ia tak usah terlalu khawatir selama menjalani delapan tahun tahanan karena segala sesuatunya sudah ada yang mengatur dan mengurus. “Percayalah penjara bukanlah tempat yang menyeramkan bagi koruptor,” katanya setengah tertawa,
“Kehilangan kebebasan, bagaimanapun membuat Otok merasa tertekan. Ia membayangkan kehidupan yang begitu membosankan dan akan mati kesepian. Namun, pengacara berpenampilan parlente itu, yang sudah menangani puluhan kasus korupsi, menentramkannya, “Anggap saja kau hanya pindah tempat tidur. Kau tetap bisa menjalankan bisnismu dan menikmati hal-hal yang kau sukai seperti biasanya.” (Noor, 2017: 120).

Selain masih bisa bebas menjalankan bisnis, penjara juga digambarkan sebagai tempat sekolah, karena di dalam penjara seorang tahanan bisa belajar dengan para tokoh dan pejabat lain yang merampok duit rakyat puluhan hingga ratusan miliar. Supaya setelah tamat dari sekolah penjara bisa korupsi lebih banyak lagi. Asosiasi kata sekolah dalam cerpen ini menjadi buruk bukan tempat untuk belajar menjadi baik tetapi sebaliknya. Berikut kutipannya:

“Tak keliru memang, di dalam penjara ini ia bisa dengan leluasa bertemu tokoh dan pejabat, mulai dari hakim, jaksa, polisi, politisi, bankir, sampai mantan menteri. Di luar penjara belum tentu ia bisa bergaul dengan semua tokoh itu. “Di sini justru kamu punya banyak kesempatan untuk membangun koneksi,” ujar Sarusi. “Kamu pasti pernah dengar lelucon tentang pencuri motor, yang begitu masuk penjara akan makin pintar. Ketika keluar, ia tak lagi menjadi pencuri motor, tetapi pencuri mobil. Pintar-pintarlah bergaul di sini, maka kamu akan makin cerdas. Kalau sebelumnya kamu hanya mengambil ratusan juta, begitu keluar, kamu akan tahu bagaimana caranya menilap ratusan miliar. Anggap saja kamu sedang sekolah S2 atau S3 di sini dan nanti keluar sekaligus lulus dengan gelar doktor humoris causa.” (Noor, 2017: 123).

Bukannya merasa malu akibat melakukan korupsi dan divonis lama di penjara tapi malah bangga. Setelah masuk penjara kalau korupsinya masih sedikit akan dikucilkan dan dianggap rendah. Seorang koruptor yang usianya tua tetapi korupsinya hanya ratusan juta akan dianggap bawahan oleh koruptor muda yang jumlah korupsinya miliaran. Hal ini tidak sesuai dengan norma atau sopan santun di masyarakat kita, anak mudah akan menghormati yang tua. Kemudian bagi para tahanan koruptor martabatnya ditentukan dari seberapa banyak duit yang dikorupsi dan lama masa tahanan. Berikut kutipannya:

“Kemudian ia memahami, soal masa hukuman itu termasuk hal penting yang harus dihormati. Makin lama masa hukuman, akan makin tinggi kehormatannya. Yang lebih rendah vonis hukumannya harus menghormati yang lebih lama di atasnya. Bila lebih dari 15 tahun penjara, ibaratnya berpangkat setingkat jendral. Yang dihukum seumur hidup langsung dapat gelar jendral Bintang Lima Anumerta. Kalau Cuma dua tiga tahun, itu kelas kopral.”
“Jumlah yang dikorupsi juga menentukan martabat. Bung Jayus, pegawai pajak yang masih muda, tetapi menilap miliaran, dipandang lebih terhormat ketimbang Pak Muad Arim, bupati yang sudah berumur 70 tahun, tetapi hanya kesandung uang recehan ratusan juta. “Makin banyak uang, makin terpandang dan disayang. Setidaknya, makin disayang para sipir penjara” (Noor, 2017: 129).

Penjara bagi para koruptor bukanlah tempat yang akan menghilangkan kebebasannya tapi hanya berpindah tempat tinggal saja. Kita sering menyaksikan di televisi kamar tahanan koruptor sangat mewah, bisa liburan keluar negeri, dan apa pun yang diinginkannya selalu tersedia. Cerpen Lelucon Para Koruptor menjadikan penjara sebagai tempat bermain lelucon. Pertemuan malam lelucon sudah setahun lebih diadakan di penjara semua tahanan yang hadir pernah menjadi pemenang, hanya Otok yang belum pernah terpilih sebagai pemenang. Kesulitan para koruptor di penjara hanyalah memikirkan lelucon, sebab lebih sakit hukuman orang yang tak bisa membuat lelucon lucu dibanding hukuman masuk penjara itu sendiri.

Paradoks Oposisi Biner Cerpen Lelucon Para Koruptor
Ada beberapa oposisi biner dalam cerpen Lelucon Para Koruptor yang sangat paradoks dengan kehidupan di dunia nyata. Pertama, penjara beroposisi dengan apartemen. Penjara sangat paradoks dengan tempat yang sering kita ketahui dan lihat langsung dalam kehidupan sehari-hari. Biasanya ketika orang masuk penjara akan kehilangan kebebasan karena terkurung di ruangan 3 kali 3 meter, tidur berdempet-dempetan dengan tahanan lain, dan makan apa adanya. Namun, dalam cerpen ini tidaklah demikian, koruptor yang dipenjara masih hidup bebas, bisa menjalankan bisnis, tempat tidur yang nyaman, dan bisa menikmati semua yang diinginkan.

Tempat tidur yang disiapkan sama dengan apartemen lengkap dengan perabotannya. Dalam pertemuan lelucon seminggu sekali kadang diadakan di apartemen (sebutan penjara yang mewah) tahanan yang sedang ulang tahun akan dirayakan dengan berbagai macam makanan dan minuman, seperti, “wedang jahe, teh poci gula batu, kopi tubruk atau bahkan berbotol-botol wine. Gorengan kacang rebus, martabak, mie, juga pizza. Dan pernah juga kambing guling. Semua bisa pesan makanan kesukaannya” (Noor, 2017: 125).

Makanan tahanan koruptor sangat lengkap seakan sedang bukan berada di dalam penjara.

Kedua, oposisi biner lucu dan tidak lucu. Oposisi ini sangat kontradiksi di dalam penjara yang nyata. Di penjara seorang tahanan akan dipandang baik kalau ia mengubah kelakuannya agar setelah keluar tidak melakukan kriminal. Tetapi cerpen ini untuk menentukan harga diri seseorang itu tinggi kalau dia bisa membuat lelucon yang paling lucu setiap datang ke tadarus lelucon yang diadakan di dalam penjara seminggu sekali. Setiap tahanan harus berpikir extra tiap hari untuk menciptakan lelucon agar menaikkan martabatnya. Karena di akhir pertemuan tadarus lelucon ditentukan siapa yang dianggap paling lucu dialah pemenang lalu kehidupannya selama seminggu akan dilayani orang yang kalah.

Ketiga, oposisi biner kaya dan miskin. Oposisi biner ini sebenarnya tidak ada yang salah, dalam kehidupan pasti ada yang miskin dan ada yang kaya. Menjadi orang kaya sangat sulit terkadang orang sudah bekerja siang-malam tidak juga kaya, sehingga orang kaya di negeri kita ini sangat sedikit, sedangkan untuk menjadi miskin sangatlah mudah. Koruptor yang masuk penjara setelah bebas tidak akan menjadi miskin karena uang yang dikorupsinya banyak belum lagi usahanya ada di mana-mana. Pengarang justru berpandangan sebaliknya ia menggambarkan di dalam cerpen bahwa, “di negeri ini  lebih gampang menjadi orang kaya ketimbang jadi orang miskin. Kalau mau jadi orang miskin, harus bersaing dengan 100 juta orang. Tapi kalau mau jadi orang terkaya, saingannya hanya 10 orang. Artinya kalau nanti kita keluar, kita masih tetap punya harapan untuk makin kaya karena hanya bersaing dengan 10 orang itu.” (Noor, 2017: 131). Pendapat ini terlihat sangat bertentangan dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat.

Membongkar Paradoks Oposisi Biner Cerpen Lelucon Para Koruptor
Cerpen Lelucon Para Koruptor merupakan salah satu teks yang memiliki intertekstualitas dengan dunia nyata. Apabila dilihat pada fakta-fakta cerita, baik fakta tokoh dan karakter serta masalah dan peristiwa, maka akan sampai pada kenyataan yang terjadi dalam kehidupan di penjara. Hanya saja pengarang menghadirkan beberapa oposisi biner yang dianggap janggal dalam dunia nyata.

Seseorang dimasukan ke dalam penjara agar menjalankan masa hukuman atas perbuatan yang sudah dilakukan, penjara berbeda dengan di rumah karena ruangannya kecil, tidur berdempetan dengan tahanan lain, makan seadanya kecuali di antarkan oleh si keluarga tahanan, dan kehilangan kebebasan karena hanya berada di lingkungan lembaga pemasyarakatan (lapas). Dalam kenyataannya penjara yang digambarkan dalam cerpen Lelucon Para Koruptor terjadi tidak sesuai seperti yang disaksikan, penjara bagi para koruptor justru sama dengan apartemen tidak kehilangan kebebasan, apa pun yang diinginkan juga tersedia. Melalui oposisi biner antara penjara dan apartemen, pengarang ingin menyatakan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat  penjara tidak selalu menjadi tempat untuk menghukum orang tetapi hanya menjadikan penjara sebagai tempat liburan atau berpindah rumah saja terlebih seorang koruptor. Ini terbukti ketika tokoh dalam cerpen bernama Otok baru dimasukan ke penjara akibat korupsi tetapi tidak kehilangan kebebasan masih bisa menjalankan bisnisnya dan makan enak.

Pada oposisi biner kedua, penulis juga ingin membongkar kenyataan yang ada di masyarakat antara orang lucu dan tidak lucu. Dalam cerpen ini, para tokoh dituntut untuk membuat cerita lucu setiap minggu agar tidak mendapat hukuman karena lelucon paling lucu menentukan martabat seseorang. Otok selama setahun lebih mengikuti tadarus lelucon belum pernah sekalipun menang, lelucon yang disampaikan tidak lucu, ia juga tidak kreatif terkadang hanya menceritakan ulang lelucon yang sudah disampaikan tahanan lain pada minggu sebelumnya. Dengan kenyataan itu, hal yang ingin ditegaskan melalui oposisi ini yakni kalau seseorang tidak kreatif dalam membuat sesuatu atau hanya meniru yang sudah dikerjakan orang lain, orang tersebut tidak akan mengalami kemajuan.

Oposisi biner terakhir yang ingin dibongkar dalam cerpen ini, mengenai kaya dan miskin. Orang kaya di negeri ini sangat sedikit dibanding dengan orang miskin, jadi semua orang bisa menjadi kaya dan bisa jadi miskin tergantung yang menjalaninya. Berhubung orang kaya sangat sedikit seharusnya kita termotivasi menjadi kaya untuk bisa masuk daftar orang yang sedikit. Kita harus memakai cara pandang terbalik seperti yang sudah disampaikan pengarang. Oposisi biner yang digambarkan seolah-olah bertentangan dengan pendapat umum dan tidak masuk akal. Namun, dibalik keanehan yang diceritakan, terdapat kebenaran.  []

Sumber bacaan:
Noor, Agus. 2017. Lelucon Para Koruptor. Yogyakarta: Diva Press.


Penulis:

Syamsir Marangga, lahir di Ambon, 24 Februari 1996. Menyelesaikan SD sampai SMA di Pasarwajo, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Lulus Sarjana Sastra, di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Mulawarman (2019). Saat ini, melanjutkan studi Kajian Sastra dan Budaya, di Universitas Airlangga, Surabaya. Buku kumpulan puisinya yang sudah terbit: Aspal, Batu Bara, dan Puisi yang Marah (2019), Menjahit Kepergian (2020). Beberapa tulisannya tersebar di berbagai media cetak dan online. Bisa dihubungi melalui Instagram: @syamsir_marangga atau Facebook: Syamsir Marangga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *