Cerpen
Dia Mencuri Celana Dalamku

Dia Mencuri Celana Dalamku

“TERLALU gelap,” katanya setelah membaca tulisanku.

“Tidak ada cahaya?” balasku datar.

“Ada, tapi ini terlalu gelap,” katanya lagi. “Hidup orang-orang sudah gelap dan susah, jangan sampai mereka bertambah susah karena baca tulisan yang gelap.”

“Jadi, maksudmu tulisan yang baik itu seperti apa?”

“Tulisan yang membuat pembacanya mendapatkan cahaya.”

“Bolehkah itu dijadikan kredo penulisanku?”

“Oh, tentu. Boleh-boleh saja.”

Aku senang seseorang mau membaca tulisanku. Seperti hari itu, aku menyodorkan tulisanku kepada Mas El, lalu ia membacanya, lalu ia mengomentari tulisanku. Mas El adalah penulis senior. Ia pernah berpacaran dengan Wa Ode Wulan Ratna, penulis Cari Aku di Canti yang kini seolah sudah lenyap ditelan bumi.

Apakah Mbak Wulan sudah berhenti menulis? Ah, mungkin tidak. Seorang penulis sejati tidak pernah punya rencana pensiun di kepalanya, kecuali kalau mati. Ernest Hemingway pun berhenti menulis hanya karena ia mati bunuh diri. Sylvia Plath juga demikian. J.D. Salinger, penulis novel The Catcher in the Rye itu juga tidak pensiun menulis sampai akhirnya ia meninggal dunia pada tahun 2010.

“Menulis itu hobi. Menulis itu kerja. Menulis itu meditasi. Menulis itu terapi. Menulis itu relaksasi,” lanjut Mas El seperti berceramah. “Apa pun itu sebutannya, kau sendiri merasa cocok yang mana?”

“Menulis itu relaksasi.”

“Alasannya?”                    

“Dengan menulis, aku merasa seperti sedang bertamasya, jadinya rileks.”

“Karena itu, buatlah pembacamu rileks, seolah-olah mereka sedang bertamasya.”

“Seperti bertamasya di dunia nyata?”

“Ya.”

Bertahun-tahun sejak hari itu aku mencari dan mencari seperti apa tulisan yang baik, seperti apa tulisan yang membuat pembaca mendapatkan cahaya, juga seperti apa tulisan yang membuat pembaca rileks seolah-olah bertamasya di dunia nyata. Ketika itulah aku vakum menulis. Ternyata menulis itu tidak mudah seperti bayangan orang.

Hari ini aku pergi ke makam ayahnya ayah nenekku. Ditemani saudara nenek yang masih hidup, aku diantarkannya ke makam eyang. Makam itu tak bernisan.

“Persis letaknya di mana aku tidak tahu,” katanya tersenyum. “Namun, eyang kamu dimakamkan di daerah sini.” Tangannya menunjuk ke tanah. Lalu, ia mendekati satu pohon melinjo. “Pohon ini bisa menjadi patokannya.”

“Patokan?” tanyaku.

“Ya, patokan. Penanda.”

Mendadak aku seperti mengerti. Kata-kata itu menyihirku: penanda.

Sepulang dari makam eyang, aku menyalakan komputer dan mulai mengetik dan mengetik. Kata-kata pertama meloncat dari kepalaku: terlalu gelap. Dari sanalah aku melanjutkan tulisanku. Terus dan terus aku mengetik dan mengetik. Setiap kata-kata yang muncul dari dalam benakku aku bubuhkan ke layar komputer. Terus dan terus!

Secangkir kopi menemaniku menulis. Aku perlu istirahat sejenak, menyeruput kopi dan merokok. Aku perlu mencurahkan isi hatiku. Aku perlu membuat pembacaku jadi rileks dan terhibur. Bisakah aku menulis sesuai kredo penulisan yang aku pilih?

Lalu, tiba-tiba ponselku berbunyi. Sebuah nomor tak bernama. Siapakah dia?

“Hei, kau tahu di mana pacarku?” Terdengar suara seorang perempuan dari ujung telepon. “Aku menghubunginya berkali-kali, tapi nomornya tidak aktif.”

“Maaf, kau siapa? Apa aku mengenalmu?”

“Namaku Mira, pacarku bernama Rendi.”

“Oh, Rendi. Aku tahu nama itu.”

“Syukurlah kalau kau tahu. Apa kau sedang sibuk?”

Di ujung sana kudengar napasnya terburu-buru. Ia seperti habis lari saja.

“Mmm, sebenarnya aku sedang menulis. Tapi, tiba-tiba kau menelepon.”

“Maaf kalau aku mengganggumu.”

“Tidak apa-apa kok. Saat ini aku sedang merokok sebentar. Seseorang tidak bisa menulis terus-terusan tanpa istirahat, bukan? Seperti, kalau kau bekerja berjam-jam seharian tanpa istirahat, pasti akan capek juga pada akhirnya. Kita butuh istirahat, kita butuh relaksasi, kita butuh tamasya dari kesibukan hidup sehari-hari.”

“Kau benar. Boleh aku minta waktumu sebentar selagi kau istirahat?”

“Kau perlu apa? Kalau aku bisa bantu, aku akan membantumu.”

“Kau tahu Rendi kan? Kau kenal Rendi? Kau sahabat Rendi kan?”

“Orangnya jarang mandi si Rendi itu. Benar? Dia agak bau dan kau tetap mau jadi pacarnya? Sekarang Rendi pergi karena dia mencuri sesuatu darimu. Sesuatu yang menurutmu sangat penting dan kau ingin sesuatu itu kembali kepadamu. Benar?”

“Tepat sekali. Bagaimana kau bisa tahu?”

“Aku ini penulis. Yah, kadang-kadang aku tahu sesuatu semacam itulah. Meski jauh lebih sering aku tidak tahu apa-apa. Begitulah nasib penulis sepertiku.”

“Kalau kau tahu di mana Rendi sekarang, tolong katakan pada Rendi untuk datang ke rumahku hari ini juga. Aku tunggu di rumah.”

“Kalau aku katakan di mana Rendi sekarang, kau tidak ingin menemuinya sendiri?”

“Aku takut terjerat dan tidak bisa kembali.”

“Apa maksudmu dengan terjerat?”

“Dia mencuri celana dalamku,” akhirnya perempuan di seberang telepon membuka rahasia. “Kabarnya dia punya ilmu dukun untuk menjerat wanita. Dengan celana dalamku ada di tangannya, aku jadi takut menemuinya. Pasti dia akan jampi-jampi.”

“Hei, Mira, kau sudah terjerat jampi-jampinya?”

“Aku sudah terjerat?”

“Tentu saja kau sudah terjerat.”

“Bagaimana kau tahu kalau aku sudah terjerat?”

“Dari suaramu, dari kata-katamu, dari ketakutanmu, dari kekhawatiranmu.”

“Apa aku terdengar seperti orang yang sedang khawatir?”

Telepon ditutup. Sengaja aku memencet tombol OFF di layar. Biarlah Mira berpikir sendiri. Seorang perempuan seperti Mira, di zaman modern seperti ini, terasa aneh kalau masih percaya sesuatu yang berbau dukun maupun takhayul. Kalau percaya, ia terjerat, bukan terjerat jampi-jampi ilmu dukun, tetapi terjerat pikirannya sendiri.

Kini sudah waktunya aku melanjutkan tulisanku. Maka, aku pun kembali menyalakan komputerku dan bersiap untuk mulai mengetik. Namun, kata-kata yang hendak aku tulis serupa jalan raya yang macet.

Bayangkan kau sedang duduk di belakang setir mobil, tepat di jalan raya di depanmu mobil-mobil berderet-deret berkilo-kilometer. Di titik itu kau tidak bisa apa-apa selain hanya menunggu di dalam mobil. Padahal kau ada rapat penting di kantormu dan kau lihat jam tangan, waktu pun semakin melaju dan melaju. Kau tahu, kau pasti terlambat, tetapi kau tidak bisa apa-apa. Kau seperti terjebak. Begitulah yang aku rasakan saat ini ketika hendak melanjutkan tulisanku.

Akhirnya, aku pun menghubungi nomor itu kembali. Aku hanya ingin mengatakan sesuatu kepadanya. Aku tidak ingin ia terjerat dan terjebak. Aku ingin ia tersenyum bebas dan tertawa. Aku ingin ia bahagia dan hari-harinya semakin cerah bercahaya.

“Mira, dengarkan aku,” ucapku pelan. “Kau tidak perlu khawatir apa-apa. Jangan percaya dan jangan mau terjerat. Maka, kau pun akan selalu baik-baik saja.”

Begitulah aku melanjutkan tulisanku, yang diawali dan diakhiri dengan: terlalu gelap.(*)


Penulis:

Khaswandi, adalah penggemar senja yang suka menulis. Saat ini tinggal di Kebumen, Jawa Tengah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *