Resensi Buku
Menilik Motif Ideologis di Balik Wacana yang Tersembunyi

Menilik Motif Ideologis di Balik Wacana yang Tersembunyi

Judul Buku     : Sihir Rocky Gerung Analisis Wacana Kritis, Metafora dan Propaganda
Penulis           : Achmad San
Penerbit         : Cantrik Pustaka
Tahun Terbit  : Cetakan 1, Februari 2022
ISBN              : 978-623-6063-52-1

Siapa yang tak kenal dengan Rocky Gerung. Rocky Gerung mulai menampakkan dirinya dan menjadi perbincangan publik khususnya di jagad politik dunia maya ataupun nyata. Kurang lebih tiga tahun lalu di mana pada saat itu, tepatnya saat momen pilpres 2019 dan sampai saat ini Rocky Gerung secara konsisten terus menyuarakan suaranya dengan kemasan retorika yang membuat kuping pemerintah memerah.

Mengapa saya mengatakan demikian? Kehadiran Rocky Gerung di dunia politik khususnya dengan posisinya sebagai pengamat politik. Ia seakan menjadi penyihir atau sebut saja pesulap dadakan di kancah politik dewasa ini. Dengan bekal retorikanya yang sangat teratur secara filosofis sehingga orang yang mendengarkannya akan tepuk tangan secara serentak.

Orang akan mendengarkan perkataan yang dibumbui dengan satire, sarkasme yang begitu terang dan ditambah lagi dengan diksi-diksinya yang bertabur metafora. Banyak orang dekat dari pihak lawan menganggap bahwa dia adalah perwujudan kaum sofis Athena di negeri ini.

Membaca buku–yang di tulis oleh sarjana Pendidikan Bahasa sekaligus seorang editor bahasa yang terus ditekuninya sampai saat ini—Sihir Rocky Gerung Analisis Wacana Krirtis, Metafora dan Propaganda kita diperkenalkan kepada teori Teun A. Van Dijk dengan pendekatan Analisis Wacana Kritisnya (AWK). Dengan pendekatan ini kita bisa membongkar Bahasa politik yang digunakan Rocky Gerung khususnya meme-meme yang bertebaran di media sosial, khususnya Instagram. (AWK) termasuk kajian mutakhir dari ilmu Bahasa dan linguistik dengan demikian semakin menarik jika disandingkan dengan agitasi dan propaganda politik.

Dalam buku ini, Achmad San lebih memfokuskan pada teori tersebut. Sehingga di bagian bab tiga dalam buku ini Achmad San hanya mengkhususkan kepada meme Rocky Gerung yang di unggah mulai sejak awal 2019, khususnya pada kurun Januari sampai April. Di mana ia temukan meme-meme Rocky Gerung di akun resminya @rockygerungofficial. Dari 80 unggahan, Achmad San hanya mengambil 50 data saja. Di mana meme-meme Rocky Gerung tersebut yang dianggap sesuai dan/ atau relevan dengan penelitian, metafora politik tersebut jika dikaji dengan teori (AWK) Teun A. Van Djik akan dibagi menjadi empat kategori.

Pertama, agitasi politik Rocky Gerung kategori metafora nominatif dengan 19 data. Kedua, agitasi politik Rocky Gerunng kategori metafora predikatif yang mengandung 6 data. Ketiga, agitasi politik rocky gerung kategori metafora kalimat sebanyak 8 data. Dan Keempat, agitasi politik Rocky Gerung kategori metafora campuran yang terdiri atas 17 data. (hal. 63)

Setelah data dikumpulkan kemudian Achmad San mencoba menguraikan satu-persatu data yang sesuai dengan kategori yang sudah disebutkan di atas secara terperinci. Dengan mengambil kalimat pokok yang masuk pada kajian Analisis Wacana Kritis (AWK). Dan tidak lupa dalam buku ini Achmad San juga menampilkan screenshot (SS) unggahan meme Rocky Gerung di Instagram.

Dalam metafora nominatif masih terbagi menjadi dua bagian yaitu, metafora nominatif subjektif, disebutkan dalam buku ini lambang kias hanya saja muncul dalam pokok kalimat, sedangkan metafora nominatif objektif yaitu lambang kiasnya hanya muncul dalam objek kalimat dan komponennya. Maka dengan demikian dalam buku ini Achmad San memilih untuk memukul rata (gebyah-uyah) dengan menggunakan metafora nominatif saja. Sebab keduanya tersebut terkadang unsur kalimatnya sering tidak terpenuhi.

Di sini Achmad San memilih judul meme Rocky Gerung yang terbit pada tanggal 1 januari 2019 dengan judul Pergantian. Adapun kutipan aslinya sebagai berikut, “Pergantian tahun itu sudah biasa, pun pergantian presiden” dalam teori analisis wacana kritis Van Djik di sini Rocky Gerung didasari pada elemen koherensi. Sebab, pada kalimat pertama dan kedua ada semacam keterkaitan. Yaitu dengan partikel Pun, dua kalimat yang jelas berbeda tampak seakan koheren. (Hal. 65)

Dengan begitu, Rocky Gerung lewat frasa pergantian presiden menganggap sama dengan pergantian tahun, bulan, dan hari. Secara tidak langsung Rocky Gerung menganggap pergantian presiden adalah suatu hal yang lumrah dan wajar.

Pada pilihan metafora predikatif yang bermunculan dalam meme Rocky Gerung cukup begitu signifikan, dengan tema agama, Rocky Gerung pada pilihan metafora ini memilih kalimat menuntut keadilan dalam metafora predikatif disebutkan bisa memberikan gambaran tentang dimensi ideologis dalam wacana politik Indonesia. Dalam metafora predikatif ini ada beberapa verba metaforis misalkan, menuntut, mengultuskan, sumbat membekap dan sebagainya. Rocky Gerung memilih kata menuntut yang memiliki makna untuk dipenuhi, karena kondisi pada pemerintahan presiden Jokowi Rocky Gerung menganggapnya sangat abai terhadap keadilan utamanya di bidang keagamaan.

Dalam metafora kalimat dan metafora campuran di dalam buku ini juga dijelaskan. Di dalam metafora kalimat dalam wacana politik Indonesia khususnya, acap kali digunakan oleh para aktor politik, tidak hanya digunakan oleh Rocky Gerung saja, namun di sini dalam meme-meme Rocky Gerung yang diunggah di media instagramnya pada 6 januari 2019 terdapat metafora kalimat leksikon dalam judul Selfie “Ngapain dia selfie melulu? Dipotret dari sudut manapun, tetap otaknya tak terlihat” yang termasuk kategori metafora kalimat pada meme Rocky Gerung di sini; pada kalimat otaknya tak terlihat dengan demikian jika dikaji dengan teori Van Djik itu termasuk pada agitasi sara baru.

Sedangkan dalam metafora campuran, antara metafora nominatif, predikatif dan kalimat tercampur sekaligus. Di sini ditemukan dalam judul meme Rocky Gerung berjudul kisi-kisi “Sudah dikasih kisi-kisi masih kelihatan membaca itu buruk” jika ditilik dari teori AWK ditemukan semacam koherensi dari kata kata ganti penunjuk itu. Ditilik dari aspek agitasi kata itu merujuk pada agitasi sindiran dengan memiliki makna pertentangan ideologi politik dengan menyebut lawan politik itu buruk.

Buku ini hadir hanya saja untuk menjadi petunjuk ringkas dengan tujuan untuk menyingkap kabut ideologis yang membungkus kalimat dan pertanyaan seseorang. Kalimat yang digunakan dalam buku ini tidak begitu melangit sehingga mudah dipahami.


Penulis:

Iwanus Surur, Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY) dan Sering Meneliti pada Institute for Humankind and Politcal Studies UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *