Cerpen
Rumah Mungil di Kampung Terpencil

Rumah Mungil di Kampung Terpencil

Ibu memberiku rumah mungil di sebuah kampung terpencil. Rumah yang aku tinggali bersama Jimnun. Orang kampung hanya tahu, di rumah itu tinggal seorang perempuan perawan. Rumah yang lampunya selalu remang-remang dan beraroma wangi dupa. Aroma yang disukai Jimnun, kekasihku. Kekasih yang aku temui dari kesepian panjang dan berlarat-larat.

Kenangan perkenalanku dengannya berawal dari kesadaran bahwa ada yang aneh di dalam diriku. Sesuatu yang terus mendampingi, aku tak tahu itu apa. Maka ketika aku menemukan pamflet tentang pelatihan ruqyah aku berniat mengikutinya.

Di antara sekumpulan orang bersila dengan formasi melingkar di taman Bungkul ini, aku merasa terbang. Menjelma menjadi kupu-kupu kuning nan cantik mencari nektar bunga. Kupu-kupu kuning yang selalu datang dalam mimpi. Aku memonyongkan mulut mencari aroma madu manis di setiap tubuh yang aku hinggapi.

Bau harum madu yang paling menyengat berasal dari tubuh seseorang yang duduk di tengah lingkaran, dialah Master. Guru dari komunitas pelatihan Ruqyah yang sedang aku ikuti saat ini. Aku bergegas menghampirinya dan memanjangkan mulut kearah dahi Master, tempat segala kebijaksanaan tersimpan. Aku bersiap menghisap, Master membuka mata dan melayangkan tangannya menamparku. Seketika terjatuh dan pandangan mataku gelap. Aku tersungkur.

Saat tersadar, aku sudah berada di dalam kamar. Ibu duduk di samping ranjang dan kelihatan cemas, “Syukurlah sudah siuman, kamu kenapa? Mengapa bisa pingsan sepanjang hari? Apa yang terjadi dan siapa orang-orang itu yang membawamu pulang? Ibu memberondongku dengan pertanyaan yang tak kuasa dibendungnya.

Aku tak bisa menjawabnya satu persatu. Tubuhku terasa dingin dan ringan. Melihat aku bengong, ibu menyelimutiku dan berkata “Istirahatlah, hari menjelang tengah malam,” sambil beranjak menuju pintu kamar dan menutupnya pelan. Jam gandul di ruang tengah berdentang 12 kali, suaranya seperti menghipnotisku untuk kembali ke alam bawah sadar. Aku tertidur lagi.

Aku terbangun mendengar suara-suara gaduh seperti berasal dari persimpangan pasar, tak jelas pembicaraannya. Suara riuh itu kemudian menghilang, dan hanya ada suara desah napas memanggilku, “Nafisah.” Suara lelaki, lembut dan merdu.

Aku terhenyak, dari mana datangnya suara itu, di sekitar kamar tak ada siapa pun. Namun aneh, aku merasa tidak takut, suara itu tidak asing. Sering datang saat aku sendiri, dekat sangat dekat, bahkan seperti menempel dalam darahku. Terasa ada desir nyaman di hatiku.

“Siapa kamu?” aku menggeser duduk di bibir ranjang.

“Aku Jimnun, Kekasihmu,” suara itu menjawab dengan syahdu.

Kekasihku? Mana mungkin. Aku si kuper, tak punya teman apalagi kekasih, meski aku sangat menginginkannya. Aku penasaran, siapa Jimnun ini.

“Tampakkanlah rautmu, agar aku percaya jika kamu nyata….”

Tiba-tiba di sebelahku telah duduk seorang lelaki, berpostur jangkung, kulit putih dan memiliki mata kelabu dan sipit, serupa artis Korea. Sosok yang sangat aku impikan menjadi pacarku. Jimnun memeluk dan mencium keningku. Kami ngobrol dengan asyik, dalam hitungan menit aku telah jatuh cinta padanya.

Di luar kamar terdengar, “Nafisah, kamu sudah bangun? Dengan siapa kamu berbicara?” Ibu masuk dan memeriksa apakah ada seseorang di kamarku, “Ayo sarapan, kamu mau bekerja hari ini? Kelihatannya sudah segar kembali.”

Aku melirik Jimnun, dan memberi isyarat dengan bibirku seakan memberinya ciuman perpisahan. Aku bergegas turun dari kasur dan mengikuti ibu keluar kamar.

Sejak hari itu, aku tak pernah kesepian lagi, Jimnun selalu bersama. Dia muncul di tempat kerja, dapur, meja makan, teras bahkan di ranjang. Kami bercinta selayak sepasang kekasih. Tak mengenal tempat, bahkan peristiwa terakhir membuat heboh di kantorku. Jimnun mengajak berdansa saat aku tengah meeting bersama teman-teman kantor.

Keinginan Jimnun tak bisa ditolak, dia menarik tanganku dan berdansa sambil berbisik di telinga mengucapkan selamat ulang tahun. Hari itu memang hari miladku. Tentu saja rekan kerja menjadi terkejut dengan tingkahku yang menari-nari dan berbicara sendiri di ruangan itu. Aku melihat raut wajah mereka antara cemas dan takut. Perlahan namun pasti satu persatu meninggalkan ruangan. Hanya ada aku dan Jimnun, dan kami menari sampai puas.

Dampak dari peristiwa itu aku diberi cuti istirahat oleh management perusahaan karena dianggap overload. Berita ini kemudian menyebar kepada keluarga, terutama ibu. Beliau panik dan membenarkan keanehan-keanehan yang juga dia temui di rumah. Dan berdasarkan kesepakatan keluarga, maka aku dirujuk ke beberapa kiai. Meskipun begitu, mereka belum mampu memisahkanku dengan Jimnun. Aku dan Jimnun sudah menyatu, bagai sepasang kekasih yang sudah melayari lautan pantang kembali.

Ibu tidak putus asa, dan kemudian menghubungi orang-orang yang dulu pernah mengantarku pulang saat pingsan usai mengikuti pelatihan ruqyah. Dan yang datang adalah Master. Dia menemuiku di dalam kamar diiringi ibu. Duduk menghadap kepadaku, dengan suara tegas dia berbicara, “Lupakan dia, bukan untukmu, kalian dari alam yang berbeda. Kamu mau melepaskannya sendiri atau saya paksa?”

Aku meradang, punya hak apa dia menyuruh kami berpisah. Jelas aku menolaknya dan Jimnun bersamaku. Master memegang kepalaku, terasa ada yang mengalir hawa dingin di tengkuk. Kali ini aku melihat Jimnun bertarung dengan Master, dan kalah. Perlahan bayangan tubuhnya menghilang dari pandanganku. Aku berteriak histeris, menangis meraung-raung, tak mau putus dengan Jimnun. Sampai lemas terkulai dan aku ambruk.

Bagiku langit tak punya warna, hanya kelam. Hatiku dingin meruak, pucuk penumpuh menghilir lubuk, menunang kama pada Jimnun. Hari-hariku habis untuk memikirkan Jimnun. Setiap sore menjelang magrib aku pergi ke pelabuhan dekat rumah, berharap menemukan sosok Jimnun tersembul dari dalam laut.

Aku mendendangkan sajak-sajak yang aku buat untuknya: di kelompang waktu, tuan datang menenteng rinjing bunga sepatu, di ruang tunggu beranang merah, sentrum kalbu sampena hati Tuan, muasal sama , rengkuh bening acuan muka, berpeluk, alun ombak jemput perahu, gugus bintang larung di lautmu. Menjelang tengah malam, aku kembali ke rumah dan bathin kosong yang bertambah tambah.

Ibu sangat mencemaskanku, dan terus berkonsultasi dengan Master menggunakan berbagai cara untuk mengeluarkanku dari kondisi buruk. Jalan terakhir yang mereka tempuh, menikahkan aku dengan lelaki dari jenisku, manusia. Dan digelarlah pernikahanku dengan Abdullah, lelaki separuh baya yang istrinya telah meninggal alias duda.

Aku tetap tidak bergeming, menjalankan kebiasaanku ke pelabuhan setiap sore dan pulang menjelang tengah malam. Abdullah, suami ini baik, memperlakukanku dengan lembut. Namun, setiap kali dia menyentuhku pasti batuk dan dari tenggorokanya keluarlah darah. Muntah darah.  Aku tahu, ini dikarenakan kekuatan yang Jimnun tanamkan di sekujur tubuh hingga tak ada siapa pun yang bisa menjamahku. Begitu yang terjadi, hingga dia benar-benar sakit dan tidak bertahan lama. Abdullah meninggal dengan tubuh ringkih dan bibir menghitam akibat terlalu banyak memuntahkan darah.

Aku kembali kelompang. Kerinduanku pada Jimnun tak pernah padam, namun harapanku bersamanya nyaris tak menyala. Semakin putus asa dan tidak kuat lagi menanggung kesepian. Dengan tubuh yang hanya tergolek di ranjang seperti bayi, aku berkata “Ibu, aku sudah tidak tahan lagi. Tolong ijinkan aku bersama Jimnun, jika tidak aku akan mengakhiri hidup sekarang juga. Aku serius akan melakukannya.”

Ibu menangis dan memelukku, “Kenapa kamu tetap berkukuh seperti ini?”

Tak ada jawaban dariku, hanya tatapan hampa.

Ibu berdialog dengan Master dan terpaksa melepaskan dinding penghalang antara aku dan Jimnun. Betapa bahagianya kami.. Jimnun meraba bibirku, “Nafisah, bibir manismu obat segala samsara. Kalau aku bisa mengendarai ilalang yang ditiup angin, aku akan sampai didadamu, meletakkan kepala dan membaui aromamu yang menyengat gairah.”

Jimnun dan aku saling memeluk, menumpahkan segala rindu.

“Kamu adalah kebahagiaanku, memberiku laku hidup yang lebih bisa dipahami dengan kegembiraan, kebahagiaan, dan cinta kasih,” balasku dengan mesra.

Cinta, wilayah dalam diri yang dirasuki atau merasuki orang lain. Mencari dan menemukan kemungkinan-kemungkinannya sendiri. Ibu memberiku rumah mungil di sebuah kampung terpencil; rumah yang aku tinggali bersama Jimnun. Orang kampung hanya tahu, di rumah itu tinggal seorang perempuan sendiri. Rumah yang lampunya selalu remang-remang dan beraroma wangi dupa.(*)


Penulis:

Dewi Musdalifah, lahir di Gresik, 23 Juni 1974. Aktif di  Yayasan Seni dan Budaya Gang Sebelah.  Pendidik di SMA Muhammadiyah 1 Gresik. Menulis puisi, cerpen, esai di sejumlah media lokal. Puisinya terhimpun di sejumlah kumpulan bersama; Wasiat Malam (DKJT, 2013), Teruntuk Ibu (DKJT, 2014), Lelaki Kecil di Terowongan Maling (2014) Lek Giryadi (Blitar, 2018). Sementara itu buku puisi tunggalnya yang telah diterbitkan: Kembara (Pagan Press, 2013), Sakau (Pagan Press, 2018).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *