Esai
Lokalitas Sastra dan Silang Budaya

Lokalitas Sastra dan Silang Budaya

Buku lawas Linus Suryadi AG berjudul lengkap Pengakuan Pariyem (Dunia Batin Seorang Wanita Jawa), dipersembahkan kepada begawan kebudayaan berlatar Jawa—prosa lirik untuk: Umar Kayamjustru diberi komentar oleh dua orang laki-laki Batak, Ashadi Siregar dan Hotman M. Siahaan. Di backcover buku terbitan 1981 itu, Ashadi mengibaratkan Linus pujangga Jawa Lama, dengan kekuatan lirik mengungkap kisah dan pikiran Jawa. Senada, Hotman menyebut karya ini bicara banyak tentang gejala sosial, kultur dan manusia yang diwarnai pola kultur tersebut.

Bahkan bahan ceramah Hotman di Unair Surabaya, “Pengakuan Pariyem, Sebuah Pengakuan Kultur yang Lugu” dijadikan pengantar buku. Lebih karena sosok Maria Magdalena Pariyem yang memang lugu, Linus dianggap berhasil menggambarkan kultur tokoh yang tidak neko-neko: tegar dalam kelembutan, nrimo dalam konsep manunggaling kawula Gusti. Berkat meresepsi karya ini, Hotman tak ragu menyatakan bahwa memahami kehidupan masyarakat lewat karya sastra, jauh memberi kedalaman daripada setumpuk kepustakaan ilmiah!

Sebaliknya, sebuah novel berlatar dunia Batak, Penakluk Ujung Dunia (1988) karya Bokor Hutasuhut, diberi pengantar oleh seorang Jawa, W.S. Rendra. Seturut Rendra, Bokor sangat sadar sedang menyelami dan melukiskan kehidupan masyarakat Batak yang unik tradisional kepada pembaca sastra modern. Hasilnya bukanlah laporan antropologis-akademis, tetapi karya sastra segar dalam latar belakang pengaruh tradisi kebudayaan Batak.

Sementara itu, novel Korrie Layun Rampan tentang dunia Dayak, Upacara (1978), diberi pengantar oleh seorang Sunda, Dodong Djiwapradja. Ada pun kritikus berlatar budaya Manggarai, Flores, Dami N. Toda, dalam bukunya Hamba-Hamba Kebudayaan (1984), meresepsi puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri yang bertolak dari lokalitas Melayu-Riau.

Pastilah banyak fenomena kepustakaan serupa. Ini hanya sedikit contoh betapa kritikus dan apresian sastra ditantang untuk mengenali kultur berbeda yang awalnya mungkin semacam tera-incognita baginya. Termasuk membangun upaya “teknis” seperti memberi pengantar dan testimoni sebuah buku. Semua itu niscaya dapat menjadi jembatan lintas budaya.

Terlepas bahwa Hotman adalah seorang antropolog yang bisa masuk ke etnografis mana pun; Ashadi ahli komunikasi, Rendra dan Dodong adalah penyair yang diasumsikan apresiatif di segala lini; atau Dami N. Toda sebagai kritikus yang memang kudu mahir di segala medan teks. Dan di atas semua itu mereka adalah orang Indonesia yang membaca karya sastra Indonesia. Toh fenomena ini tetap menunjukkan satu keunikan (jika boleh disebut begitu) di jagad literasi Tanah Air, di mana terjadi saling-silang resepsi atas karya sastra berwarna lokal(-itas).

Silang Budaya
Jika keragaman dilihat sebagai suatu fakta, situasi dan prinsip, maka silang budaya dianggap sebagai metode atau jalan untuk mengomunikasikan keragaman, tulis Taufik Rahzen di Jurnal MSPI (1999: viii). Menurut Rahzen, istilah lain yang berhampiran dengan silang budaya adalah intra-kultural, multikultural, cross cultural, hibrida budaya dan inter-kultural. Kesemuanya merujuk pada proses kerjasama, interaksi dan persilangan antar kelompok budaya. 

Bila demikian halnya, maka silang budaya dapat menjadi modal untuk merawat sikap keberagaman kita. Sikap ini menyadari bahwa negara multikultur seperti Indonesia terbentuk dari kesatuan visi dan orientasi bersama. Inilah dasar nasionalisme yang diikat dan diikrarkan lewat Proklamasi Kemerdekaan. Dan sastra merupakan salah satu medium penting untuk menjaga dan merawat marwah kasadaran  ini.

Ben Anderson bahkan melihat proses terbentuknya negara-bangsa modern melalui apa yang disebut komunitas terbayangkan (imajiner). Medium yang berperan dalam proses pembayangan itu adalah surat kabar (jurnalisme) dan novel (sastra). Keduanya sama-sama menggunakan tulisan dan mesin cetak untuk penggandaannya.

Itu pula sebabnya, untuk melihat Jawa yang arkais dan modern, Denys Lombard dalam karya babonnya, Nusa Jawa: Silang Budaya (1996), tak meluputkan sastra sebagai landasan pembicaraan. Ia mengulik mulai bunga rampai susunan E. du Perron, Max Havelaar Multatuli berlatar Lebak, Banten; novel Rumah Terakhir di Dunia Beb Vuyk berlatar Pulau Buru, hingga karya pengarang Italia, Emilio Salgari dan Joseph Conrad, penyair Inggris asal Polandia, yang berpetualang di utara Borneo. Tak lupa catatan perjalanan Marcopolo yang pernah singgah di Sumatera dan bahkan cerita dari brosur-brosur pariwisata Hindia Belanda.

Apakah artinya ini? Berbicara subjek Jawa, tak bisa bicara langsung tentang Jawa. Ada hal-hal lain berkait-kelindan saling hubung, itulah silang budaya. Silang budaya mempertemukan nusa Jawa dengan nusa-nusa lain sepanjang Nusantara dan kawasan lebih luas. Jadi bicara Jawa tak bisa lepas dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan seterusnya, bahkan nusa kecil seperti Banda. Begitu pula sebaliknya.

Jika seorang Indonesianis menemukan keutuhan dalam silang budaya, tentu sangat layak membayangkan orang Indonesia sendiri mencari dan menemukan keutuhan itu dalam medium dan akses yang tersedia. Salah satu yang penting, tapi kerap terlupa, ialah sastra bercontens lokalitas.

Meski kita tahu, sastra dalam latar dan tema apa pun, tetap akan bicara tentang manusia. Namun apa dan bagaimana manusia itu dapat dilihat dalam kehidupan komunitas, puak atau masyarakatnya. Pada gilirannya, manusia dengan segala wataknya itu akan muncul, istilah Geertz, “di panggung opera historis” bangsa dan negaranya. 

Tantangan Lokalitas
Salah satu sumber lokalitas penting dan utama dalam sastra memang adalah etnisitas. Selain karya-karya tahun 80-an yang disebutkan di awal tulisan ini, tema lokalitas tetap diminati lintas generasi. Sebutlah novel Hanna Rambe berlatar Maluku, Mirah dari Banda (1986), Tambo (2000) Gus tf Sakai tentang dunia “datuk” Minangkabau, Namaku Teweraut (2000) Ani Sekarningsih, Tanah Tabu (2009) Aninditya S. Thyaif dan Isinga (2015) Dorothea Rosa Herliany, ketiganya berwarna Papua.

Hampir seluruh karya Oka Rusmini bermuatan lokal Bali, seperti Tarian Bumi (2000). Malam Buta Yin (2009), Sunlie TA berwarna lokal Tionghoa atau novel Lampau (2013) Sandi Firly berlatar Dayak Loksado. Hingga karya terkini semisal Puya ke Puya (2015) Faisal Odang tentang Toraja dan Burung Kayu (2020) Niduparas Erlang tentang Mentawai.

Jelas, lokalitas menyumbang silang budaya dan menyegarkan imajinasi kebangsaan kita, jauh melampaui pengetahuan ensiklopedis. Ia memberi lebih: pergulatan manusia-manusia etnik. Dari sana kita dapat gambaran utuh bahwa sebuah negara-bangsa tidak lahir dari ruang kosong-hampa, tapi punya jejak historis, ritus, kultus, wisdom. Itu sebabnya, tak aneh pemancangan ibukota negara baru (IKN), misalnya, memerlukan ritual tertentu.   

Beruntung, lokalitas sudah lama menjadi basis penciptaan sejumlah sastrawan kita. Hanya sejauh ini, lokalitas masih berdiri dalam kulturnya sendiri. Belum melintas ke kultur lain. Dalam arti, belum memaksimalkan potensi silang-budaya.

Sebutlah novel Bako (1980) Darman Moenir yang berwarna Minangkabau. Sekalipun tokoh Ayah pernah merantau jadi guru di Riau yang menyebabkan terganggunya kejiwaan tokoh Ibu, tapi lebih karena jarak. Bukan lantaran konflik besar, katakanlah si ayah menikah lagi dengan gadis Melayu, lalu menimbulkan gesekan antar-budaya. Si ayah memang menikah lagi, tapi dengan gadis kampungnya sendiri, yang memulangkan novel ini pada etnosentris Minangkabau.

Sementara itu, novel Umar Kayam, Para Priayi (1992), sudah memperlihatkan satu interaksi dengan kultur lain. Ini terlihat dari pilihan Lantip, salah seorang anggota keluarga besar Sastrodarsono, yang bertunangan dengan gadis Minang bernama Halimah. Sayang itu baru muncul di bagian akhir. Sehingga tak ada pengaruh apa-apa pada plot dan muatan cerita, kecuali pemanis suasana penutup dengan lagulah laruik sanjo…nya.

Namun itu ternyata “taktik” Kayam untuk masuk ke sekuel “Para Priayi” berikutnya, yakni novel Jalan Menikung (1999). Dalam novel ini, Halimah dengan kultur asalnya mulai memberi warna pada cerita. Bahkan cerita berkembang dalam silang budaya yang kian kompleks. Bukan hanya budaya Minang, juga diwarnai budaya barat, muslim-Yahudi, melalui Claire Levin yang berhubungan dengan Eko, anak Harimurti yang sekolah di luar negeri. Masuk juga budaya Cina melalui laki-laki Tionghoa pasangan anak Tommy, sepupu Harimurti. Tapi sejauh mana aneka warna kebudayaan itu berpengaruh pada struktur dan muatan novel, perlu kajian tersendiri.

Sebagai bandingan, pada zaman Balai Pustaka roman Salah Asuhan (1928) karya Abdul Muis membaurkan kultur pribumi dengan kultur Eropa. Meski temanya bukanlah soal lokalitas, melainkan pertentangan kebudayaan timur-barat dan lebih luas lagi tentang kolonialitas, namun unsur-unsur lokal tak dapat diabaikan. Dalam era mutakhir ada novel Cau-Bau-Kan (1999) karya Remy Sylado yang mempertemukan kultur Tionghoa, Betawi dan Belanda. Pertemuan budaya asal (India) dengan budaya global juga dilakukan para penulis diaspora Amerika semisal Jhumpa Lahire, Anita Desai, Kiran Desai atau Arundhati Roy.

Memang, Bako atau Para Priayi adalah novel yang berfokus pada kultur masing-masing. Akan tetapi, sebagai peluang dan tantangan, ke depan, tidak ada salahnya seorang sastrawan yang memiliki basis pencarian di ranah lokalitas mencoba mempertemukan lebih dari satu kultur etnik dalam sebuah karyanya. Melebur the native dan the other, menjadi subject-matter polifonik!

Dari sana niscaya para pembaca sastra, mungkin dapat lebih merasakan proses “menjadi Indonesia”yang multikultural dan beraneka suara.


Penulis

Raudal Tanjung Banua, tinggal di Bantul. Bukunya Kota-Kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai (2018) dan Cerita-Cerita Kecil yang Sedih dan Menakjubkan (2020).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *