Cerpen
Pesan Peringatan

Pesan Peringatan

Pada rutinitas lari berkeliling kompleks Minggu pagi  itu, Rewin menemukan sebuah tas kecil hitam. Ia menemukannya tergeletak di balai pos tempatnya rehat. Setelah menenggak botol air minum yang dibawanya dari rumah, ia menengok ke samping, mengambil tas tersebut, membukanya, dan mendapati sebuah pesan peringatan di dalam selembar kertas yang teronggok di dalam secarik amplop di dalam tas itu.

Gempa bumi akan terjadi tak lama lagi.

Begitu bunyi pesan tersebut. Tak ada nama dan alamat pengirim. Hanya sebuah pesan peringatan dengan huruf-huruf tebal seolah ditulis menggunakan spidol hitam dengan tinta berlebihan.

Rewin adalah kepala kelurahan di tempatnya tinggal. Ia menjadi gampang khawatir, panik, dan merasa harus memiliki tingkat kepedulian beberapa derajat lebih tinggi kepada lingkungan sekitarnya.

Sebenarnya ia masih punya waktu beberapa menit untuk melanjutkan olahraga paginya. Keringatnya belum banyak. Jarum panjang di jam tangannya berada di angka sepuluh. Masih ada waktu sepuluh menit menuju jam delapan, waktu di mana Rewin biasanya menyelesaikan ritual mingguan lari pagi dan kembali ke rumahnya.

Namun Rewin tak menunggu jam delapan. Ia menjinjing tas misterius itu dengan kecemasan menggumpal di dadanya. Ia berjalan terburu-buru menuju rumah. Sepatu olahraganya tampak mengilat disapu cahaya pagi. Bunyi ketukan tak teratur berderak dari balik telapak sepatu.

Setibanya di rumah dan bersalin pakaian, Rewin segera mengumumkan kabar peringatan dari tas misterius bak seorang nabi menyampaikan wahyu. Tiga orang pertama yang diberitahunya adalah istri dan dua anak lelakinya yang berusia remaja. Mereka pada awalnya terlihat biasa-biasa saja. Namun, begitu melihat ekspresi ayah mereka yang suram, mereka jadi ikut panik dan cemas. Kepanikan dan kecemasan memang mudah menyebar dan menular seperti wabah.

“Peringatan-peringatan! Diharapkan bagi seluruh warga agar segera mengungsi dari rumah masing-masing. Sebab tak lama lagi akan terjadi gempa.”

Selain dirinya sendiri, istri dan anak-anak Rewinlah mula-mula menyebar peringatan tersebut kepada para warga. Mereka mengumumkannya dengan napas terengah-engah dan suara terdengar mencekam. Seolah-olah tiap kabar peringatan akan datangnya suatu musibah harus diumumkan dengan cara segenting itu.

Lantaran Rewin adalah kepala kelurahan dan tiap warga harus menghormati dan menaruh kepercayaan kepada pimpinan tertinggi sekelurahan itu, mereka menganggap serius semua kata-kata Rewin.

Mulanya satu, lalu dua, tiga, hingga akhirnya seluruh warga menerima kabar tersebut dan meresponnya cepat. Para warga yang sedang bersantai di ruang tamu bercengkerama bersama keluarga dan menyaksikan siaran televisi berhamburan panik. Mereka mematikan televisi, menghimpun barang-barang berharga, dan tergesa-gesa keluar dari rumah.

Anak-anak sekolah yang terbiasa bangun kesiangan pada hari Minggu dibangunkan paksa. Ibu-ibu muda yang berjalan-jalan di sekitaran kompleks bersama balita mereka dengan kereta dorong bersicepat berbalik ke rumah. Singkatnya seluruh warga yang semula tenang menjadi tak keruan. Melalui toa-toa dan mulut-mulut peringatan itu telah tersiarkan.

Dengan menumpangi sejumlah kendaraan besar dan kecil, para warga termasuk Rewin telah mengungsikan diri ke sebuah tanah lapang yang berada cukup jauh dari kompleks perumahan. Jika gempa benar-benar terjadi, setidaknya tempat itu cukup aman untuk berlindung dari guncangan gempa atau bangunan-bangunan runtuh.

Waktu berjalan lebih lekas pada waktu-waktu penuh cemas. Malam tanpa rembulan menggayuti langit di atas tanah lapang itu. Para warga yang sebelumnya tinggal di rumah lumayan mewah dan beratap tinggi dan bagus, malam itu hanya tinggal di suatu tenda pengungsian beratap dan berdinding terpal.

Kendati kebanyakan warga—terutama perempuan dan anak-anak—mengeluh dan meratap sepanjang malam, mereka pada akhirnya tertidur dengan pulas di tempat yang mungkin tak pernah mereka pikirkan akan mereka tinggali. Sebangun dari tidur, para warga memperoleh berita yang membuat mereka panik sekaligus lega. Rewin yang menyampaikan kabar itu pada mereka. Ketika embun mengalir lembut di helai daun dan burung-burung terbang mencericit.

“Gempa betul-betul terjadi dinihari tadi. Bukan di kelurahan kita. Tapi di suatu daerah tak jauh dari kelurahan kita. Tepatnya di Kota Sunyi.”

Usai Rewin menyampaikan kabar itu, beberapa orang yang bergadang semalaman mengaku merasakan getaran. “Seperti tersengat listrik bertegangan rendah,” begitu ucap salah seorang mereka.

Setelah hari itu, kabar-kabar soal terjadinya gempa kian santer. Gempa-gempa dengan kekuatan guncangan bervariasi itu terjadi di berbagai tempat. Tempat-tempat yang secara geografis tak begitu jauh dari kelurahan yang dikepalai Rewin. Namun, di kelurahan Rewin sendiri gempa tidak terjadi. Paling jauh daerah itu hanya terkena dampak getaran-getaran bumi dalam batas wajar.

Media-media massa mengabarkan, kendati gempa tak begitu besar dan  tak memakan korban jiwa, namun telah banyak mengakibatkan kerugian material. Sejumlah jalan besar retak, tiang-tiang jalan oleng, dan tak terhitung berapa banyak rumah yang menjadi doyong dan tinggal menunggu waktu bakal rubuh. Dampak yang juga tak boleh diremehkan adalah dampak psikologis dan trauma. Anak-anak menjadi takut tinggal di rumah mereka sendiri, meskipun sesekali juga rindu bermain dan bersekolah.

Sementara itu, warga kelurahan Rewin masih baik-baik saja di tenda pengungsian. Meski sebagian dari mereka masih suka mengeluh, toh pasokan makanan dan kebutuhan primer macam pakaian dan air bersih masih tersedia dengan lancar. Lagi pula, berada di tenda pengungsian memperbesar peluang keselamatan mereka. Sebab kian hari wilayah terjadinya gempa kian mendekati keluarahan mereka bermukim.

Beberapa hari sesudahnya kabar perihal gempa tidak terdengar lagi. Para warga dari kota-kota tetangga yang terkena gempa pun mulai kembali ke rumah masing-masing. Kondisi sudah mulai stabil dan dalam batas aman, begitu kata Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Sebagaimana para warga kelurahan Rewin percaya pada Rewin, orang-orang di kota-kota tetangga pun percaya pada BMKG.

Lambat laun para warga kelurahan Rewin meminta pulang. Mereka sudah rindu pada rumah. Para perempuan merajuk-rajuk. Anak-anak merengek-rengek. Pula, mereka beralasan, gempa yang dikhawatirkan tidak pernah terjadi di kelurahan mereka. Hanya di kota-kota tetangga.

Sebetulnya Rewin masih khawatir gempa akan terjadi di wilayah mereka. Tapi apa boleh buat. Para warga kian mendesak meminta pulang. Rewin pun luluh. Pada sore itu, dengan paras ceria karena rindu tak melihat rumah selama lebih dari sepekan, para warga bersiap pulang. Mobil-mobil bak membawa mereka pulang.

Seraya memperhatikan warga-warga yang mempersiapkan bekal kembali ke rumah, di tendanya Rewin menatap lekat pada seonggok tas. Seonggok tas misterius yang entah datang dari mana. Ia membuka tas itu dan membaca isi lembaran kertas berisi peringatan akan datangnya gempa. Pada waktu ia merasa heran dan teramat tolol karena mudah percaya pada pesan tak jelas tersebut. Meskipun gempa memang terjadi, tapi gempa-gempa itu terjadi bukan di daerah tempat ia dan warganya tinggal.

Rewin berpikir untuk membuang tas itu jauh-jauh atau membakarnya saja. Tapi, sebelum pikiran itu sungguh-sungguh ia jalankan, istri dan dua anaknya sudah berdiri di depannya.

“Ayo, Ayah, kita pulang.”

Rewin memasukkan tas kecil itu ke dalam tas besar berisi pakaian. Ia, bersama istri dan anak-anaknya, pulang ke rumah dalam rombongan kendaraan terakhir.

Rumah-rumah para warga tidak berubah. Masih sama baiknya dengan terakhir kali ditinggalkan. Para warga membuka pintu rumah dan memasukinya dengan gembira. Malam itu mereka kembali bisa tertidur di atas kasur empuk dengan atap-atap tinggi dan ruangan harum.

Ketika seluruh warga sudah terlelap, Rewin masih terjaga. Ia berdiri tegak di depan jendela ruang depan. Rembulan terpampang gagah di langit serupa lukisan jeruk. Semilir udara dingin menjalari kulit. Ia menatap langit dengan tangan menggenggam lembaran kertas.

Gempa bumi akan terjadi tak lama lagi

Sebelum beranjak ke kamar dan tidur, Rewin membaca pesan peringatan itu sekali lagi.

Keesokan paginya, rumah-rumah di kelurahan Rewin rata dengan tanah. Gempa besar telah terjadi. Di rumah Rewin, seonggok tubuh yang telah jadi mayat menggenggam erat selembar kertas dengan mata melotot. Mata yang menggambarkan penyesalan teramat sangat. (*)

Bandung, Agustus 2018


Penulis:

Erwin Setia lahir pada 14 September 1998. Penulis lepas. Aktif menulis cerpen dan esai. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di berbagai media seperti Koran Tempo, Jawa Pos, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, dan detik.com. Cerpennya terkumpul antara lain dalam antologi bersama Dosa di Hutan Terlarang (2018) dan Berita Kehilangan (2021) Bisa dihubungi di Instagram @erwinsetia14 atau melalui surel: [email protected].

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *