Puisi
Puisi Moh. Rofqil Bazikh

Puisi Moh. Rofqil Bazikh

Di Kelas Bahasa, Iva

di kelas bahasa, Iva, orangorang bertanya dari mana muasal kata. bahasa kerap
menciptakan jalannya di tangan penyair yang setiap pekan menunggu kabar baik koran.
seseorang—seorang lelaki barangkali—menjawab; bahasa bermula dari tepuk bibir,
bahasa ditemukan setengah detik setelah Adam melangkah dari pintu keluar taman Eden.
ia ditemukan dan mungkin juga diciptakan untuk mengungkapkan kesedihan kita
dengan lugas, Iva, dengan tangkas. 

aku dipaksa untuk terbiasa menelan kata yang tidak nentu bentuknya
menghafal rumus-rumus yang sejujurnya tidak begitu penting, seandainya
‘kau duduk di sampingku menenangkan kecamuk kepala dari amukan katakata
merapikan degup dada yang sudah tidak beraturan selama bermingguminggu
tetapi semua hanya seumpama, Iva, kau tidak pernah datang ke sini
sedang aku senantiasa bangun pagi dan bertahan dari amukan bahasa setiap hari

di kelas bahasa, seseorang datang dan pergi
aku bertahan di tengah kesendirian yang sudah mulai kacau bentuknya
melesatlah doadoa ke haribaan langit yang tinggi semampai
kau tak kunjung datang, sementara aku sudah melangkah menuju pulang
“beginilah kesedihan diungkapkan, Iva!”

[2022]

Kediri, Pagi Hari

ia datang sepuluh juni, Kediri pagi hari, udara yang lembab di dalam
dompet. seorang pengemudi motor menawarkan jasa dengan harga
duakali lipat dari biasanya, ia tolak dengan perasaan sungkan
amuk udara dan lebam suara kereta pertama di stasiun
menggantikan bau rambutmu yang membusuk.

ia berbisik di telinganya sendiri—alangkah lancang suhu pagi ini!
tangannya menggigil, di pergelangan kiri terikat sebuah rosario
atas nama iman ia menyebutnya tasbih, pemberian terakhir kekasih.
Kediri pagi hari, matahari tidak pernah sesekali mengetuk jendela mobil
udara makin lembap disertai deru-deru kendaran yang makin ke sini
makin sering beradu nyaring.

ia datang sepuluh Juni, di dadanya harapan diraut berminggu(minggu)
tiada seorang yang mengantarnya dan mengucap selamat pulang
—kisaran jam dua tiga tengah malam
waktu itu kira-kira kau sudah tertidur, seseorang
[seorang lelaki barangkali]
pergi dari mimpimu menjelang dini hari

[2022]

Menatap Sedayu dari Jauh

tidak pernah kubayangkan kecuali tanah pekat perkampungan
dan ketenangan dianyam diam-diam seorang perempuan
kubayangkan berkali-kali rumah kita yang sebelumnya telah
tersusun di ruangan kepala, sebuah rumah yang menghadap utara
katamu, di hari minggu kita akan bebas mendengarkan
seorang mengumandangkan lagulagu kerohanian 

sekali-duakali di Sedayu tidak pernah kuinjakkan kaki
namun senantiasa kurasakan belikat angin yang dengan
kencangnya berembus menembus tulang rusuk
“suara anak-anak di  teras rumah, kelak akan
sama kerasnya dengan lonceng di gereja”

masih kutatap dari jauh,
seseorang telah berani menginjak pekarangan kita
semestinya tak terberkati siapa saja yang dengan lancang
menginjak bunga-bunga di halaman orang

menatap Sedayu yang tak pernah kusentuh,
sesuatu dari kedalaman dada bergemuruh, runtuh

[2022]

Berpulang

tiada bunga tujuh rupa, tiada pemandian terakhir
di halaman rumahmu lelaki itu meninggalkan
sebentuk angin yang telah diraut
“sebutlah namaku jika sewaktu-waktu kau butuh”
tidakkah kau melihat gerimis di kelopak matanya
seumpama air di punggung daun talas
yang menolak untuk jatuh?

terakhir kali, ia menghadap ke barat
mendongkakkan kepala kepada langit, mestinya
ia menatap doadoa yang melayang juga melata
tanpa henti—doadoa yang belakangan nyaris tumpul!
ia akan senantiasa melupakan bau rambutmu
sebagaimana kau tolak bau rambutnya yang apak

lelaki itu tidak mendapati sebentuk pelukan
paling sederhana sekalipun, dipeluknya lutut sendiri
diratapinya luka lebam di bagian kiri dadanya
—ia berpulang mengucap selamat tinggal
pada kesendirian

[2022]

Laut Terakhir

perempuan yang kuhapus namanya dengan sengaja

tataplah laut, sulur ombak menyentuh mata kakimu
sementara ekornya mengibas-ngibas mengenai celanaku
itu kali terakhir kita bepelesir dan pulang berkejaran
dengan hujan sepanjang jalan, kita tidak pernah menduga
bulan berikutnya dengan seksama mengucapkan ‘pisah’

itu laut terakhir, hari-hari di mana kepalamu jarang
mendarat di bahuku, sementara nada suara kita makin
meninggi setiap hari — di bawah rumbai cemara yang kalau
berdiri kepala kita nyaris menyentuh rantingnya

hari sebelumnya kita senang menertawakan apapun, seolah
kita adalah manusia paling waras dan orang sekitar
[yang juga duduk di bawah rumbai cemara lain]
hanya orang gila yang tidak tahu untuk apa
kepedihan diciptakan di rumpang dada
kita menolak sadar, nasib begitu sukar dipahami

—itu laut terakhir sebelum akhirnya melindap
dan menolak menghaturkan ombak


Penulis:

Moh. Rofqil Bazikh Penuli cerpen, puisi, esai, yang sekarang bermukim di Sleman, Yogyakarta. Tulisan-tulisannya telah dipublikasikan di media cetak dan online.  

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *