Esai
Lapisan-Lapisan Makna dalam Sesudu Senyum-Senyum

Lapisan-Lapisan Makna dalam Sesudu Senyum-Senyum

Sebenarnya tidak ada yang baru dari cerpen Sesudu Senyum-Senyum karya Sasti Gotama yang terbit di Kompas (3/4/22). Jika kita buang setting dan gaya tutur yang membuat nuansa Maluku begitu terasa, cerita dalam cerpen ini semata adalah cerita cinta. Lebih spesifik lagi cerita cinta yang berakhir tragedi. Sudah terlalu banyak kisah cinta antara dua insan beda jenis kelamin yang ditutup dengan akhir yang tragis. Formula kisah ini bahkan bisa ditemukan di kisah fenomenal Khosrov dan Shirin, Romeo dan Juliet, Mingke dan Annelies, dan masih banyak lainnya. Formula cerita-cerita ini sebenarnya tidak terlalu berbeda, gerak plotnya pun agak mirip-mirip, hanya saja latar dan setting dan motif dari konflik cerita yang menjadi pembeda.

Itu dari ceritanya, lalu dari wacana yang muncul dalam teks pun juga sebenarnya bukan pula sesuatu yang baru. Terlihat betul ada upaya pengarang melakukan praktek dekonstruksi wacana.  Dalam kebanyakan konflik yang muncul pada masyarakat yang heterogen, di mana perbedaan agama dan ras dituduh sebagai biang kerok dari konflik yang terjadi. Namun, tidak selalu kedua hal ini yang menjadi biang kerok konflik. Hal ini ditunjukkan dengan upaya pengarang untuk melukiskan bahwa latar belakang konflik dari tragedi dalam cerpen ini bukanlah permasalahan agama, melainkan urusan tanah.

Cerpen ini berupaya mendekonstruksi wacana yang berkembang bahwa konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat heterogen itu dipicu oleh agama. Tidak, agama bukan pemicu konflik, kalau pun di kemudian hari berkembang menjadi permasalahan agama, pemulanya tidaklah masalah agama. Kira-kira itu yang ingin disuarakan dalam cerpen ini. Latar belakang konflik dalam cerpen ini adalah urusan tanah.

Apakah ini pengetahuan baru? Sebenarnya tidak. Telah banyak pihak-pihak yang meneliti dan menuliskannya. Saya bahkan punya teman yang dulu mengambil Cross Cultural and Religion Study (CRCS) di Sekolah Pascasarjana UGM menemukan permasalahan serupa yang menjadi biang kerok konflik. Namun, terlepas dari cerita dan wacana dalam cerpen ini yang bisa dikatakan belum menawarkan kebaruan, cerpen ini terasa begitu segar. Gaya tutur dalam cerpen ini memperlihatkan bahwa riset itu tidak semata tempelan untuk mendapatkan materi cerita seperti yang kebanyakan dilakukan pengarang yang menulis tentang masyarakat yang bukan dari latar belakang mereka. Banyak pengarang yang menulis tema dari masyarakat di luar latar belakang mereka, tetapi gagal dalam meniru gaya bahasa dan cara berpikir masyarakat yang menjadi objek penciptaan. Di sini, pengarang sukses bersuara seperti laiknya penutur lokal, dan pengarang sukses meniru gaya tutur masyarakat yang menjadi objek penciptaannya. Jadi bisa dibilang bahasa merupakan pertaruhan pengarang, dan dia tidak salah memilih bahasa sebagai pertaruhan.     

Cerpen ini tidak hanya sukses meniru gaya tutur dari masyarakat yang menjadi objek penciptaannya, cerpen ini memiliki Bahasa yang sangat puitik. Ada begitu banyak kata-kata arkaik dalam cerpen ini, seperti kata dedar, sesudu, dan sabur. Namun, kata-kata itu tidak digunakan secara berlebihan dan memang untuk keperluan cerita. Selain itu banyak metafora yang segar dan tidak mubazir dalam cerpen ini. Artinya, metafora-metafora hadir demi kebutuhan cerita. Misalnya metafora langit yang mewakili nilai spiritual.

Secara konseptual, langit adalah tuhan dalam cerpen ini. Bisa dilihat dari kalimat pembuka cerpen ini:

“Moi Sulur merah dedar ini berasal dari Langit. Bumi hitam ini pun berasal dari Langit. Merah kental asin di lengan saya juga milik Langit. Ada ribuan nama Langit, yang diucap lidah saya, lidah kamu, dan lidah siapa saja. Namun, kita tahu hanya ada satu Langit….”

Ada beberapa hal yang membuat saya yakin secara konseptual langit adalah metafora untuk Tuhan. Pertama kata langit menggunakan huruf kapital, itu berarti kata Langit merujuk pada proper name. Dalam semua kebudayaan agama samawi, langit adalah tempat berdiamnya tuhan. Surga ada di langit. Lalu langit sebagai representasi tuhan dalam cerpen ini semakin ditegaskan dengan apa yang dikatakan salah satu tokoh dalam cerita ini:

“Orang-orang kota bikin surat. Aturan baru katanya. Tanah-tanah katong digabung tanah sana. Padahal sumpah leluhur berkata tanah ini harus jadi satu. Ini bukan sekadar tanah. Ini adalah tanah dari langit. Tanah tempat kita tumbuh dan mengakar, dan kelak jadi tempat tubuh kita dipendam.”

Dalam agama-agama samawi dikatakan bahwa kita semua adalah milik Tuhan dan akan kembali kepadanya, dan semua agama samawi pun sepakat, hanya ada satu Tuhan. Itu membuat saya yakin bahwa referen dari langit adalah tuhan dalam cerpen ini.

Penegasan bahwa langit adalah representasi dari tuhan semakin dikuatkan dengan metafora bumi sebagai pembanding. Metafora Bumi merujuk pada segala permasalahan duniawi, dalam konteks cerpen ini adalah permasalahan tanah. Perbandingan antara langit dan bumi adalah perbandingan antara urusan surga dan urusan dunia (tanah).

Selain kata-kata arkaik, kalimat-kalimat dalam cerpen ini juga sangat puitik. Ada satu hal yang saya perhatikan dari cerpen ini, yakni permainan lapisan makna. Misalnya ketika narator berkata, “Namun, kita tahu hanya ada satu langit.” Kata langit punya lapisan makna, baik secara metaforik maupun harfiah. Dalam agama samawi Tuhan hanya satu. Dan sebagai objek fisik yang memiliki referen konkret—bukan metaforik—langit juga hanya ada satu. Salah satu teknik untuk menghasilkan efek puitik Bahasa adalah dengan menyajikan kata yang punya lapisan makna dan bisa ditafsirkan secara harfiah maupun metaforik.

Selain pada kata langit, kata dengan lapisan makna metaforik dan harfiah hadir pada kata api. “Kamu bawa api di tanganmu,” kata narator ketika melihat sahabat lamanya datang menyerang desanya. Awalnya saya berpikir kata api di sana adalah metafora. Namun, pada kalimat selanjutnya Moi—sahabat narator—melempar obor yang membakar rumah narator. Dari sini saya tahu bahwa api adalah bentuk harfiah. Kata api itu punya makna ganda dan berlapis yang menimbulkan ketaksaan (ambiguitas) karena bisa dimaknai secara metaforik maupun harfiah. Api di sana bisa menjadi representasi dari kemarahan, bisa juga benar-benar api. Ini memperlihatkan kepiawaian pengarang dalam memainkan Bahasa.

Permainan Bahasa dengan lapisan makna ini juga muncul pada kata bau yang dikatakan Moi ketika dia rindu rumah. Bau itu adalah bau yang bisa ditafsir sebagai metaforik maupun secara harfiah. Bau bisa merujuk ke perasaan rindu. Bisa juga merujuk spesifik aroma rumah itu, yakni “cengkih dan pala”. Permainan lapisan makna ini semakin dipertegas dengan apa yang dikatakan narrator. Narator menyuruh Moi mencium bau ketiaknya supaya Moi bisa lupa bau rumah. Bau yang tadi merupakan bentuk abstrak dari representasi kerinduan Moi terhadap kampung halaman, direduksi menjadi bentuk konkret—bau secara harfiah. Lalu kata dengan makna berlapis juga muncul pada kata rumah yang bisa dimaknai secara harfiah, yakni bangunan fisik yang konkret, dan rumah secara metaforik, yakni kampung halaman.

Dari sini bisa dilihat bahwa pengarang bisa dikatakan berhasil menyajikan cerita yang sebelumnya sudah ada dalam bentuk lain (laporan jurnalistik, riset, esai, dsb) dengan tema yang bisa dikatakan sudah banal: cinta. Tidak mudah membuat cerita yang sudah dieskplor secara berlebih, dan pengarang ini sukses menyampaikan cerita ini dengan kepiawaiannya dalam memainkan Bahasa. (*)  


Penulis:

Aliurridha. Penerjemah dan pengajar penerjemahan di suatu perguruan tinggi. Ia menulis esai, opini, dan cerpen. Karyanya tersebar di berbagai media. Ia bergiat di komunitas Akarpohon.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *