Puisi
Puisi Romzul Falah

Puisi Romzul Falah

beberapa jalan mati

i patthu mor laok

“mereka membunuhku dengan pesakitan yang dibuat
sendiri. mengarang cerita-cerita horor, meletakkan takir,
meyakini aku sekutu pembalela sang gusti.
betapa nisbi iman itu. betapa cangkat dan sempit
lubang surga yang mereka namai asal mula”

ia mendatangi mimpi bu hosi setelah bertahun-tahun
dirinya dikhotbahkan sebagai jalan jin,
tempat bala, agar anak-anak tak pergi ke langgar
melewati dirinya

“jangan lewat patthu mor laok,
agar tak dirok-torok

cebbing pak rt dilarikan ke dukun setelah melewati
setapak itu. tubuhnya sepanas wajan bekas pengolahan
dodol. kulitnya kering. matanya kuning.
ia sering terbangun dan menangis tengah malam”
kata seseorang di suatu kompolan

“bu asna juga muntaber setelah lewat patthu mor laok,
obat dari mantri tak manjur, lalu dibawa ke dukun”
kata seseorang yang lain

bu hosi tak pernah mewartakan mimpi itu,
ia tetap menuduhkan hal-hal buruk. hingga ketigakalinya
suara itu datang ke ladang tidurnya yang muncul

“mereka melupakan kencing, hajat, dan ludah yang
dibuang sembarang, bangkai kucing juga janin.
pohon-pohon itu bukan aku. mereka menakhlikkan pikiran
sendiri dan memujanya, menggelongsorkan keagungan
di hatinya

dukun tak cukup sakti untuk maujud manusiawi
dan sang gusti”

tapi tak ada yang percaya sekalipun bu hosi
bercerita di hari orang-orang saling bertukar kutu
dan aib yang liyan. mereka tak ingin bertubuh
wajan bekas pengolahan dodol atau keluar bubur
ke mulut dan dubur

“dukun seberang melarang siapapun melewati setapak itu
sekalipun untuk pergi mengaji”

ii berek deje

dulu ada pohon jati besar, bakal perkakas musala.
tak ada tuannya. dibiarkannya tumbuh sejak menjelang
soeharto lengser hingga supyan punya bini

darinya aku tahu tentang musabab kematian
berek deje. “ustad alpin mengumpulkan warga
di langgar rumahnya, beliau berdawuh ingin
membangun musala dan meminta kami menebang
jati itu”

dua bulan sebelum puasa,
delapan orang berkumpul di setapak berek deje
niat membuat rumah di surga dengan tambang, kapak
dan wadung
“kita bakal berumah di sisi yang maha kobesah

wajah dan mata bergairah
melayani perintah:
suara mulia dan telaga yang didambakan

“mereka seperti jati yang  tumbuh sendiri,
kokoh di angin kencang dan angin lirih”
kata supyan

satu jam kemudian, rantang tingkat para istri
dan perawan, menjatuhkan nasi dan kuah labu ke tanah,
jeritan dan tangisan menjadi doa yang terdengar
ke surga

“pohon jati rubuh, para penebang berhasil membangun
rumah di sisi yang maha kobesah. satu dari mereka
menempati rumah itu lebih dulu”

jati menimpa seorang yang bertugas menjaga
tambang, menarik ke tegal aman

hingga lebaran tiba, bahkan bertahun kemudian,
musala itu belum dibangun. pohon jati yang ditebang,
habis rayap di tempat ia meminta penebang merawat
rumah yang mereka damba

“lelaki-lelaki kampung menunggu
ustad alpin berdawuh kembali, sementara para istri
dan perawan bersaksi
melihat sosok seram di tempat jati telentang”
di berek deje

iii. temor tegghel

lelaki itu menaruh duri landak di tiap ujung setapak
dan menggantung botol air ke cabang-cabang
yang terbentang senar layangan

“tegal ini takkan terpisah lagi,” ucapnya,
“orang-orang pasti terusik pada duri dan bunyi”

2004, lelaki itu kehilangan satu hektar tegal
ia kalah di panggung negara atas nabi-nabi desa.
demikian orang-orang percaya
: gila tak hanya kehendak yang kobesah,
tetapi palu dan hakim

di jam pulang sekolah, seorang bocah madrasah
melipat ingatan di tas kresek merah dan memanggil-
manggil ibunya dari bibir emper

“orang itu seperti di pelajaran ppkn,
mencintai tanah air”

“tanah dan air milik siapa?” tanya ibunya
“milik indonesia,” jawab si bocah
“apakah jalan yang mati itu juga milik indonesia?”
wajah guru dan papan sekolah tertawa
di mata si bocah

hingga si bocah tumbuh dewasa, botol-botol air
dan duri landak itu dijaga cerita
: batu-batu yang melayang ke arahnya;
ceracau dini hari; orang-orang memutar jalan;
tegal yang tak pernah ditumbuhi jagung
atau kacang atau buncis; mayat lelaki yang mengirim
basah ke mata ibunya

“ia mati dengan mencintai tanah air”

“apakah matinya juga dicintai?”
tanya ibunya sambil membakar dupa

iv pao se raje

bersama jakarta
1995
dibelinya tegal dan rumah

dengan pengetahuan dan pakaian
yang ia sebut barat, orang-orang desa diburu
kain beludru, anak-anak mulai mengenal
wajahnya di jendela kijang innova
“mereka harus besar di jalan hitam”

bagi penduduk desa, barat ialah makkah
“seingatku, selama di sana tak memakai celana,”
bisik haji palah ke seorang kiaji di suatu tahlilan

mendengar kabar bahwa di kampung ini
orang-orang lebih mengenal kitab suci
daripada kitab negara
ia adakan perkumpulan bersama para guru ngaji
“pao se raje adalah keringat dan istiqamah
para warga” kata guru paling sepuh
“kita dibelas-asihi presiden soeharto, untuk warga”
ujarnya

setelah itu orang-orang bergotong royong
menebas alas, membakar belukar, meratakan tanah,
menata kumbung

anak-anak mulai membayangkan dirinya
mengendarai kijang innova
memikirkan cita-cita yang akan dibanggakan
lalu dipertengkarkan saat ke langgar

“seperti inilah makkah?” kata seorang warga
yang selalu berdoa dapat melihat ka’bah.
“tuan jakarta, ajarkan kami barat dan cara melempar
jumrah yang tepat”

v deje thuwek

sebelum seorang ustad datang ke dusun
menjelang muludan, 2009
deje thuwek yang tanah
dikelilingi pohon kalandingan
dilalui suara kaki dan sapi

“anom pernah mengejar pedet jantan
mingmingan ke sana, menjelang hari pasar sapi,”
ujar anom imam yang di lehernya
tergambar tampar dan tongar
“dan lik selalu menunggu penjual rujak
lontong keliling lewat deje thuwek,”
sambung lik ikma
sambil sibuk memilah kapang beras

tapi kini ingatan telah punya
bayangan dan suaranya sendiri

di langgar dan mimbar jumatan
ustad itu melaknat timur-barat
dan mengisahkan tahun-tahun saat
nabi muhammad belum wafat
“dengarlah, china menjajah dengan dalih
modern dan praktis.
dahulu tak ada kloset, alam raya
dicipta sebagai pelindung dari bidah”

selain sapi, tegal pun diluhurkan petani
meraka tidak sadari sedang pura-pura mengerti
: tentang yang lalu dan baru, ribet dan praktis,
nabi, china, dan bidah
mereka hanya menginginkan surga
dan kebahagiaan
“orang-orang buang hajat di deje thuwek.
setelah subuh dan menjelang maghrib. membawa
air segentong kecil,” desis anom

“tak ada yang marah, deje thuwek bukan
milik mereka. mereka, hanya punya
sapi, tegal, juga akhirat”

pascasubuh,
di seberang pekarangan, cahaya senter
menyerupai damar korong
mereka diam sambil membandingkan
kenikmatan buang hajat dan kebahagian
setelah malak al mawt

“apakah ustad itu juga di sana?”

anom tertawa, “ceramahnya bagian dari wujud.”
“malam nanti, di masjid, perayaan muludan
dan ceramah tentang sunah, amerika, dan sby-
boediono,” lik ikma menimpali
sambil mengembalikan dua gentong kecil
ke lolompong

vi kosambhi

tiap malam, durahman menunggu para pejalan
di bawah pohon nangka, duduk di  tanah lempung
tanpa berkedip

“ia telah mengetahui siapa musuhnya”
pungkas tuan haji di kompolan daging kurban

seorang bocah dijemput kakeknya sepulang
mengaji, pukul 20.14. “kita bertemu lelaki itu
sejak empat malam yang lalu. kenapa
kakek tidak menyapanya dan kenapa ia
tak menjawab pangapora?”

sebelas hari yang lalu, kampung digegerkan
mayat tergantung di pohon
yang cabangnya menjulur ke jalan kosambhi
“dulatip yang melihat pertama kali”
“kukira karung, ternyata durahman”
saut dulatip tanpa gugup

itu kali keempat orang mati gantung diri
setelah juragan sapi, penari topeng,
dan ketua grub tandak

malam kelima, bocah itu menunggu kakeknya
hingga pukul sepuluh. “inap di sini saja,
sekalian belajar azan subuh,” kata tuan guru

tak lama, dilihatnya seseorang berlari dari timur
melambaikan senter dan berteriak bahwa kakeknya
menjadi durahman di pohon nangka
yang cabangnya menjulur ke jalan kosambhi

sejak itulah, jalan kosambhi tak lagi dilalui
dan bocah itu bersikukuh punya musuh

vii. deje somor

deje somor persis di timur tegal
tempat maling dibakar
“halal hukumnya api menghabisi pencuri harga diri”

setelah penutupan pasar malam
jalan dan parit disisir senter, arit, cambuk,
tombak, dan kumbung bekas
“sapi sonok tak mampu berjalan cepat”
“truk atau pikap tak bisa masuk kampung ini”
“ada yang menuju balai desa”

hiburan telah berganti dendam
gelak tawa berganti napsu semerah
ludah kinang

orang-orang berpencar
setelah dua jam mengikuti jejak kokot
yang acak dan hampir tergenang air.
seorang muda, 17 tahun, menemukan jejak
menuju dam kering

di sana, sepasang sapi sonok dipangger
kelompok pencari di arah timur menangkap
maling itu lalu ditelanjangi dan diarak
ke tengah-tengah kampung:
tegal luas dan alas. “ia sembunyi di dam,”
kata ketua rt kepada yang palang

pagi harinya orang-orang berkumpul seperti melihat
bianglala. dendam dan senang mengelilingi
tumpukan kayu, berliter-liter bensin,
maling yang telanjang dan terikat ke tiang
“api ini tak sepanas api sang gusti,” ucap ketua rt
sebelum udara bau arang manusia

“aku tak akan lagi lewat sini, biarlah arwah
maling itu menderita,” kata perempuan tua yang
bukan warga kampung sana

Keterangan:

Landak            : sejenis duri
Jalan hitam     : sebutan jalan aspal
Muludan         : maulid nabi
Mingmingan   : penyakit yang disebabkan jin sehingga sapi lari tak tentu arah
Tampar           : tambang untuk sapi
Tongar            : tali di bagian hidung sapi
Damar korong : lentera terbang
Lolompong      : bagian kecil (ruangan) rumah untuk menyimpan barang
Kompolan       : perkumpulan, arisan, salawatan, tahlilan, dsb.
Dipangger       : diikat ke batang kayu atau pohon
Palang            : (dalam puisi ini) terkena musibah


Penulis:

Romzul Falah, lahir di Sumenep, Juni 2000. Alumni pondok pesantren Aqidah Usymuni. Sekarang tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Wiraraja, Madura. Bergiat di Komunitas Tarebung Cangka dan Kelas Puisi Bekasi (KPB). Buku kumpulan puisi terbarunya “Sebuah Kota Yang Menculik Kita” (Penerbit Basabasi, 2022). Persahabatan melalui Instragram @romzulfalah atau Twitter @sukukatacinta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *